Jauh sebelum kita mengampanyekan pentingnya literasi, para ulama kita sebenarnya sudah melakukannya berabad-abad yang lalu. Terutama sejak abad 15/16, masa di mana Islamisasi Nusantara sudah semakin masif, para ulama kita sudah menuliskan karya-karya, baik berupa fiksi maupun non fiksi.

Kita tentu sangat familiar dengan Hamzah Fansuri, ulama yang hidup pada abad 16. Ia merupakan ulama kelahiran Fansur (disebut juga Barus) di pantai barat Sumatera yang syair-syair dan puisinya sangat menakjubkan dan sangat mempengaruhi jagat kesusastraan Indonesia. Menurut Abdul Hadi WM (2016: 193) Hamzah Fansuri adalah “Bapak Bahasa dan Sastra Melayu”.

Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang, dalam pandangan Martin van Bruinessen (2012: 229),  menggunakan bentuk sajak syair (disusun dalam empat baris dengan jumlah suku kata dan timbangan irama tertentu) dalam bahasa Melayu. Keahliannya dalam menggunakan bentuk pengungkapan tersebut, menurut Martin, belum pernah tertandingi.

Berikut adalah salah satu petikan syair Hamzah Fansuri:

Hamzah nin asalnya Fansuri

Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi

Beroleh khilafat ilmu yang’ali

Daripada Abdul Qadir Jilani

Ulama-ulama setelah Hamzah Fansuri juga sangat menekankan arti penting literasi. Kita mengenal Syamsuddin Sumtrani, murid Hamzah Fansuri yang menulis sejumlah kitab, seperti Jawhar al-Haqaiq, Mira’at al-Mu’minin, dan lain-lain.

Kita juga mengenal Nuruddin Ar-Raniri (w. 1658), ulama yang menulis Al-Shirath Al-Mustaqim, kitab fikih mazhab Syafii yang pertama kali ditulis menggunakan bahasa Jawi (Melayu). Kitab itu disusun atas permintaan Sultan Iskandar Tsani (Ahmad Ginanjar Sya’ban, 2017: 11).

Karya Ar-Raniri lainnya, Bustan Al-Salatin, adalah salah satu buku terpenting tentang sejarah awal Melayu-Indonesia. Azyumardi Azra (2018: 237) menyebut kitab ini sebagai sumber yang tidak tergantikan untuk rekonstruksi sejarah awal Islam di wilayah Melayu-Indonesia.

Menurutnya, karya-karya Ar-Raniri dalam bahasa melayu memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan bahasa Melayu sebagai bahasa ilmu pengetahuan.

Tidak lama setelah Ar-Raniri kita mengenal Abdurrauf Al-Singkili Singkel (w. 1693) dan Muhmmad Yusuf Al-Maqassari (w. 1699), dan pada abad berikutnya muncul ulama dari Palembang, Abdus Shamad Al-Falimbani (w. 1789) dan Kalimantan, Muhammad Arsyad Al-Banjari (w. 1812). Ulama-ulama tersebut semuanya mewariskan karya-karya yang sangat menunjang penguatan literasi masyarakat waktu itu bahkan sampai sekarang.

Karya-karya bernuansa sastra yang berisi kisah-kisah naik haji para ulama atau pejabat kerajaan di masa silam yang ditulis dalam bentuk hikayat juga tidak bisa diabaikan peranannya dalam menumbuhkembangkan literasi kita.

Kisah itu bukan hanya mengingatkan pentingnya catatan perjalanan, tetapi juga sangat bermanfaat bagi generasi setelahnya untuk mengetahui sejarah mengenai pelaksanaan ibadah haji beserta konteks sosial yang terjadi pada saat itu, baik dari aspek ekonomi, politik, maupun teknologi yang berkembang.

Henri Chambert-Loir telah mengumpulkan catatan-catatan tentang haji mulai dari abad 15 sampai paruh pertama abad 20 dan menyusunnya dalam buku Naik Haji di Masa Silam sebanyak 3 jilid. Dari catatan itu diperoleh informasi penting mengenai tokoh yang dikisahkan, seperti bagaimana Laksamana Melaka naik haji pada tahun 1482, Sunan Gunung Jati naik haji pada sekitar 1520, dan seterusnya.

Apabila sekarang kita mengenal buku-buku tentang kisah perjalanan atau pengalaman hidup di luar negeri, itu pada dasarnya sudah dimulai para pendahulu kita berabad-abad yang lalu. Tidak mengherankan kalau nyaris setiap daerah memiliki sejarahnya sendiri yang ditulis dalam babad-babad. Tulisan-tulisan itulah yang menjadi acuan kita dalam memahami sejarah Nusantara.

Kita belum lagi berbicara tentang naskah atau karya ulama kita yang ditulis pada abad 19. Inilah abad keemasan ulama Nusantara di Hijaz. Muncul banyak ulama yang sumbangsih dan peranannya bukan hanya pada skala lokal, tetapi sudah skala global. Ulama-ulama tersebut, antara lain Syekh Nawawi Banten (w. 1897), Syekh Soleh Darat Semarang (w. 1903), Syekh Mahfudz Termas (w. 1920), dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1916)

Syekh Nawawi Banten adalah salah satu maha guru literasi kita di mana karya-karyanya hingga hari ini masih dibaca dan dikaji baik di pesantren maupun di kampus-kampus. Tulisan-tulisannya mencapai berbagai bidang keilmuan seperti tafsir, fikih, dan akhlak. Tafsir Marah Labid, Nasaih al-Ibad, Qami al-Tughyan, dan Maraqi al-Ubudiyah adalah sedikit di antara karya Syekh Nawawi yang dipelajari di pesantren.

Demikian pula dengan Syekh Khatib Minangkabau yang karya-karyanya mencapai 45 buah. Mulai dari ilmu agama sampai matematika (Amirul Ulum, 2017: 98). Juga Syekh Mahfudz Termas, “Imam Bukhari Abad 19” yang berkat karya dan kemahirannya di bidang hadis menjadikan ilmu itu ramai dipelajari di Nusantara.

Setali tiga uang dengan Syekh Nawawi, Syekh Mahfudz Termas, dan Syekh Khatib Minangkabau, Syekh Soleh Darat juga ulama yang produktif menulis. Ia bahkan dianggap sebagai ulama yang mula-mula menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa, terutama setelah perjumpannya dengan RA Kartini yang merasa kesulitan memahami Bahasa Arab.

Dari sini bisa dikatakan sekali lagi bahwa tradisi literasi sebenarnya sudah dilakukan oleh ulama-ulama kita sejak berabad-abad lalu. Apabila hari ini kita membaca puisi-puisi para sastrawan, kita juga bisa membaca syair-syair karya Hamzah Fansuri abad 16 lalu. Demikian pula dengan karya-karya lainnya, baik berupa fiksi maupun non fiksi.

Pada mulanya para ulama kita mempunyai kecenderungan menulis dengan Bahasa Arab, (hal ini wajar karena kebanyakan mereka belajar di tanah Arab). Namun, diawali Ar-Raniri, para ulama itu banyak yang kemudian menulis dengan bahasa Melayu.

Boleh dikatakan, salah satu faktor dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan kita adalah karena banyaknya naskah para ulama yang ditulis dalam bahasa Melayu.

Walhasil, sumbangsih naskah klasik ulama Nusantara dalam penguatan literasi kita sangat besar. Naskah-naskah itulah yang menjadikan kita tahu sejarah nenek moyang kita. Naskah-naskah itu jugalah yang membuat kita terinspirasi untuk menulis, sebagai warisan untuk anak cucu kita kelak.

Leave a Response