Seperti dikatakan Kiai Maimoen Zubair, corak Islam itu ada dua: “Islam Kurma” dan “Islam Padi”. Islam Kurma adalah Islam yang dijalankan dengan tegas, saklek, kokoh seperti pohon kurma. Ada warung yang buka di siang Ramadan harus di-sweaping, disuruh tutup untuk menghormati orang yang berpuasa dan Ramadan. Hukum Islam harus ditegakkan, NKRI bersyariah, dan kalau perlu negara Indonesia harus menjadi negara Islam.
Corak Islam Kurma tersebut dapat kita lihat, salah satunya pada sosok Habib Rizieq dan para pengikutnya. Maka jangan heran apabila beliau bereaksi keras terhadap hal-hal yang bagi beliau sudah masuk kategori kemungkaran. Sebab, jargon mereka adalah “amar ma’ruf nahy munkar”, (menyeru pada sesuatu yang baik, dan menumpas kemungkaran).
Adapun corak Islam Padi adalah Islam yang dipraktikkan dengan lentur, fleksibel, seperti pohon padi. Bagi mereka, warung buka di siang Ramadan bukanlah masalah. Sebab ada orang yang tidak wajib puasa, seperti perempuan haid, musafir, dan non-Muslim yang butuh makan. Hukum Islam tidak harus diformalkan, NKRI tidak harus bersyariah, dan Indonesia tidak harus menjadi negara Islam. Yang penting hak, kewajiban, dan kepentingan umat Islam tidak diganggu. Mau ibadah boleh, bikin pengajian silakan, dan lain-lain.
Dari dua corak Islam di atas, saya cenderung berada di kelompok Islam Padi. Saya memiliki setidaknya dua alasan mengapa lebih memilih Islam Padi ketimbang Islam Kurma.
Pertama, berdasarkan sejarah Islamisasi di Nusantara, dakwah Islam ternyata lebih efektif dilakukan dengan cara-cara yang lentur. Hampir semua sejarawan sepakat bahwa Islam diterima dan dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia karena jasa para sufi yang kelak dikenal dengan istilah “Walisongo”. Mereka berdakwah dengan cara yang lentur. Melalui budaya, kesenian, dan lain-lain.
Dulu orang begitu gandrung kepada wayang. Wayang yang bukan tradisi asli Islam, tidak langsung serta merta dibidahkan, dianggap sesat, dan lain-lain. Justru oleh Walisongo diubah kontennya, disesuaikan dengan nilai-nilai Islam, dan menjadi media dakwah yang sangat efektif. Begitu pula dengan tradisi-tradisi lainnya, seperti slametan, semua tidak diberangus dan dilenyapkan begitu saja hanya dengan alasan “tidak ada dalam Islam”.
Dengan kearifan dakwah semacam itu, Islam diterima dan bahkan sekarang kita saksikan sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Berabad-abad sebelum kedatangan Walisongo, Islam sudah didakwahkan, tetapi seperti laporan Marcopolo, Islam hanya dianut oleh segelintir orang.
Alasan kedua mengapa saya lebih memilih Islam Padi ketimbang Islam Kurma adalah karena kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara yang beragam. Di negeri ini ada enam agama resmi dan puluhan aliran kepercayaan yang, masing-masing punya sumbangsih di dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, Indonesia adalah “rumah bersama”.
Oleh karena Indonesia adalah rumah bersama, maka tidak bijak kalau aspirasi satu kelompok tertentu harus dijalankan oleh seluruh kelompok, dengan mengabaikan aspirasi kelompok lain. Misalnya, hukum yang diterapkan di Indonesia harus hukum Islam. Indonesia harus menjadi negara Islam, yang seluruhnya secara formal dijalankan dengan cara Islam. Dan lain sebagainya.
Lalu kalau bukan Islam, apa yang menjadi pedoman bersama? Pertanyaan ini sesungguhnya sudah dipikirkan dan didiskusikan oleh para pendiri bangsa. Jawabannya adalah “ya apa saja, yang penting disepakati oleh seluruh elemen bangsa Indonesia”.
Walhasil, para pendiri bangsa kita sudah mencapai titik temu (kalimatun sawa) yang menyatukan berbagai kelompok yang ada di Indonesia, yaitu Pancasila. Pancasila sebagai sebuah nama, sebagai suatu entitas, tentu bukanlah Islam. Tetapi secara substansi, adakah yang bilang bahwa Pancasila bukan Islam?
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, umpamanya. Bukankah itu senapas dengan ayat pertama Surat Al-Ikhlas “Qul huwa Allahu Ahad”? Demikian pula dengan sila-sila Pancasila lainnya.
Bahkan suri tauladan kita, Rasulullah, ketika membangun negara Madinah, mengeluarkan konstitusi yang sangat menghargai perbedaan, yaitu “Piagam Madinah”. Isi piagam itu mengatur agar masing-masing kelompok yang ada di Madinah harus saling membantu sama lain, harus hidup rukun. Tidak boleh ada yang melakukan kejahatan kepada orang lain karena berbeda agama, suku, dan lain-lain.
Artinya, membiarkan Indonesia sebagai rumah bersama yang menjamin keamanan dan kenyamanan seluruh penghuninya, merupakan bentuk meneladani Rasulullah. Oleh sebab itu, seruan agar hukum Islam ditegakkan secara formal di Indonesia, NKRI bersyariah, dan lain-lain, menurut saya tidak perlu. Itulah kenapa saya cenderung memilih Islam Padi.
Meski begitu saya sangat menghormati siapa pun yang memilih Islam Kurma. Diakui atau tidak, masing-masing memang punya perannya masing-masing. Selama itu dilakukan untuk izzul Islam wal Muslimin, untuk memuliakan Islam dan orang Islam, maka itu baik.
Yang tidak baik adalah merasa diri paling benar dan suka menyalahkan orang lain. Dan seperti perintah agama, jangan berhenti belajar. Sebab semakin banyak belajar dan banyak membaca, hati dan pikiran menjadi luas, sehingga mudah toleran dan memaafkan. Wallahu a’lam bis shawab.