Sari al-Saqthi adalah sufi besar yang hidup di Baghdad, meninggal pada 251 H. Dia adalah paman dan sekaligus guru dari sufi besar lain bernama Imam al-Junaid. Dia juga murid dari sufi agung, Ma’ruf Karkhi.

Nama lengkap dia adalah Sariyyuddin ibn al-Mughallas al-Saqthi. Nama ini mempunyai makna yang menarik: “sariyyuddin“, orang yang menjadi tawanan agama, “taken hostage to religion“. Tentu saja, kata “tawanan” di sini dalam pengertian yang positif: seperti ungkapan, “ditawan oleh cinta”.

Selingan sebentar: Jangan-jangan nama Saridin, sosok yang populer dalam lakon-lakon ketoprak di daerah saya, Pati, diilhami oleh nama Sariyyuddin al-Saqthi ini. Dalam Babad Pati, tokoh Saridin ditampilkan sebagai “murid nakal”, tetapi kreatif, dari Sunan Kudus.

Kembali ke pokok cerita. Sari al-Saqthi dulunya adalah seorang pedagang kain yang sukses. “Dukkan” atau tokonya terletak di sebuah pasar di tengah kota Baghdad. Tetapi kemudian dia meninggalkan profesinya itu gara-gara peristiwa “rohani” berikut ini.

Suatu hari sufi agung Ma’ruf al-Karkhi, mampir di tokonya dengan membawa seorang anak kecil. “Tolong beri baju anak ini,” kata tamu asing ini. Entah tersihir oleh apa, al-Saqthi segera menuruti permintaan tamu asing itu, dan memberi baju kepada anak tersebut.

Sejurus kemudian Ma’ruf al-Karkhi berlalu sambil mengucapkan doa berikut ini: بَغَّض اللّٰه اليكَ الدُّنْيا وَأراحَك ممَّا فيْه (Semoga Tuhan membuatmu benci pada dunia dan membebaskanmu dari profesi kamu ini).

Doa al-Karkhi itu ternyata membawa pengaruh mendalam pada diri al-Saqthi. Dia merenungi beberapa saat doa al-Karkhi itu, dan sejurus kemudian seperti mengalami “aha moment“, kasyaf, ketersingkapan batin.

Tak berselang lama, al-Saqthi kemudian menutup tokonya “for good”, untuk selamanya, dan mendedikasikan dirinya untuk kehidupan rohani, kepada “laku spiritual”, dan berguru kepada Ma’ruf al-Karkhi.

Belakangan, dia menjadi seorang sufi agung yang dicatat oleh buku-buku sejarah. Dalam kitab Ihya’ karya al-Ghazali, kita jumpai banyak sekali kisah dan kutipan dari kebijaksanaan al-Saqthi.

Suatu hari, saat al-Saqthi masih berprofesi sebagai pedagang, datang dengan tergopoh-gopoh seorang koleganya, mengkhabarkan bahwa telah terjadi kebakaran besar di pasar kota.

“Tetapi tokomu selamat, kawan,” kata sahabatnya itu. Dengan spontan al-Saqthi mengucapkan alhamdulillah, karena tokonya selamat.

Sejurus kemudian, al-Saqthi sadar, bahwa dia telah melakukan “dosa rohani” yang besar: gembira atas kemalangan orang lain. Untuk menebus dosanya itu, al-Saqthi ber-istighfar selama tiga puluh tahun, hanya untuk dosa yang satu itu.

Kisah ini, di mata sebagian orang sekarang, mungkin tampak aneh, “non-sense”, atau lebay. Tapi, di mata saya, ini kisah agung yang mengharukan. Kisah ini menandakan betapa mendalamnya kesadaran moral seseorang yang memiliki ketajaman mata rohani; “an acute moral awareness“.

Kesalahan yang mungkin tampak sepele dalam standar ilmu syariat lahir, di mata seorang pejalan rohani bisa memiliki dampak destruktif secara spiritual, dan karena itu harus di-istighfar-i dengan sungguh-sungguh.

Semoga Jumat kita “mberkahi”, manteman.

Leave a Response