Dalam cabang ilmu sastra dan tasawuf, Jalaluddin Rumi merupakan salah satu sufi dan sastrawan yang sangatlah terkenal di antero jagat dunia. Maklum, melalui beberapa masterpiece-nya yang dikemas dengan penuh sastra ia menjelaskan hakikat kehidupan manusia mulai dari alam arwah hingga alam baka dengan ringkas dan seksama.

Dengan banyaknya penjelasan kehidupan yang indah dan memanjakan jiwa, salah satu topik terpenting yang ada dalam karyanya adalah pemaknaan akan hakikat perempuan sesuai dengan ajaran agama.

Tidak bisa dimungkiri bahwa ajaran Jalaluddin Rumi sangatlah kental dengan nuansa cinta bahkan banyak dari cendekiawan lintas agama menyebut ajarannya dengan sebutan mazhab cinta. Selain itu, menurut sastrawan Persia Karim Zamani, ajaran yang telah lama dirintis Jalaluddin Rumi ini  sangatlah menjungjung tinggi nilai perempuan. Bahkan ajaran-ajaran tasawuf lainnya tidaklah seluas keterangannya dari apa yang telah Rumi katakan, mulai dari teori hingga amaliyah sehari-hari.

Semua itu wajar, jika Rumi benar-benar menjunjung tinggi nilai perempuan, karena Rumi terlahir dari keluarga yang sangat menghormati perempuan.

Alkisah, ayahnya, Bahauddin Walad adalah seorang muballigh tersohor agama di negara Persia yang sangatlah sayang dan belas kasih kepada istrinya. Hingga suatu hari Rumi kecil pun melihat dan belajar secara langsung bagimana ayahnya memperlakukan ibu dan para perempuan di masanya.

Dalam buku Matsnawi-nya, Rumi berkata;

Artinya:

“Sebagian mereka menjawab; Perempuan bukanlah siksa

Siksa adalah ketika jabang bayi tak berada di sisinya.”

(Rumi, Matsnawi Ma’nawi, Jilid 2, Bab 60, Penutup Nasihat Nabi)

Dalam baitnya di atas, Rumi menggambarkan kepada kita tentang adanya suatu kaum yang masih menganggap perempuan adalah siksa bagi mereka. Pada zaman jahiliyah, sebelum datangnya Islam, perempuan diperlakukan seperti hewan belantara, mereka dibunuh dan dianiaya dengan semena-mena.

Dan perspektif itu berubah ketika Nabi Muhammad Saw. membawa ajaran Islam yang sangat menghormati perempuan, hingga suatu ketika ada sebuah hadist yang menyebutkan betapa pentingnya perempuan dalam strata sosial; ibumu, ibumu, ibumu lalu bapakmu.

Namun karena dalam realitanya Rumi masih melihat perempuan dianggap sebagai siksa, maka dari itu ia kembali mengingatkan kepada kita semua bahwa perempuan adalah anugerah yang tak ada duanya.

Menurutnya, siksa yang sesungguhnya adalah ketika jabang bayi tak bisa berada di sisi ibunya. Contoh ini sebenarnya jika ditinjau dari segi ilmu logika merupakan taqrib azzihn yaitu sekadar memancing pemikiran pembaca untuk nantinya mereka perluas sendiri maknanya.

Lantas kenapa Rumi menyebut jabang bayi dalam baitnya? Jawabannya adalah karena jabang bayi merupakan contoh yang sangatlah relevan untuk menerangkan akan kebutuhan seseorang terhadap hadirnya sosok perempuan.

Dengan perempuan yang dibekali sifat lembut, pemurah serta penuh cinta dan kasih sayang, tak heran jika jabang bayi yang dilahirkannya sangatlah lekat dengannya. Bahkan dalam sya’ir lainnya, Rumi mengatkan bahwa perempuan adalah manifestasi Tuhan yang sempurna;

Artinya:

“Dia tajalli sempurna Tuhan, dia bukan hanya kekasih

Juga bukan makhluk, dia seakan Dzat Sang Pengasih.”

(Rumi, Matsnawi Ma’nawi, Jilid 1, Bab 118, Perilaku Istri Terhadap Suami)

Di sini Rumi sangat jelas mengatakan bahwa perempuan bukanlah makhluk biasa, ia adalah manifestasi sempurna Tuhan Yang Maha Sempurna. Maksud Rumi di sini bukanlah perempuan adalah Tuhan. Namun perempuan merupakan sosok yang sangatlah pas dengan sifat jamaliyah yang dimiliki oleh Tuhan. Sifat rahmaniyat yang ada dalam diri perempuan merupakan contoh konkret bahwa ia adalah manifestasi Tuhan yang sempurna.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa perempuan memiliki sifat belas kasih yang luar biasa, bahkan ketika anaknya mulai merengek menangis di hadapannya untuk meminta sesuatu misalnya, ia tak kuasa membendung rasa iba dalam dirinya. Dan sifat seperti inilah merupakan sifat jamaliyah sempurna Tuhan yang tidak dengan mudah dimiliki setiap insan manusia.

Artinya:

“Siapakah aku? siapakah aku?

Bukankah tanpa kasih sayangmu aku bukanlah sesuatu?”

(Rumi, Divan e Syams, Gazal, 2733)

Dan di bait ini Rumi kembali memberi isyarah kepada kita bahwa kita tidak akan pernah ada tanpa ada yang menciptakan. Melalui perempuan, Tuhan menciptakan kita dan mewujudkan kita ke alam dunia. Maka dari itu, tanpa adanya perempuan mustahil bagi kita untuk terlahir di dunia dan merasakan pahit manisnya kehidupan.

Jadi tak salah, jika Rumi menyebut perempuan sebagai manifestasi sempurna Tuhan, karena memang perempuan adalah sumber kehidupan. Wallahu ‘alam.

Leave a Response