Aku dan barangkali kamu, bahkan mereka yang tak dikenal, sudah tersadarkan bahwa saat ini, kita (merasa) mengalami krisis rasa ketulusan. Kita yang hidup dan hidupi “ruh” ketulusan dalam sejarah panjang hidup manusia, untuk bergerak melaju di titian keimanan, tak ada lain, hanya disuruh melukis di atas kanvas mahkota ciptaannya dengan melewati jalur-jalur yang terilahiahkan.
Pada masa-masa ini, kita ingin memburu langit makrifat, sambil dengan kencang menjejal di jalan-jalan dengan tinggalan kata-kata suci, sekaligus ingin membingkai hakikat, dan kalau bisa dengan cepat jiwa terseret pada kemabukan spiritual.
Dengan penuh getar, menggemuruhkan suara Tuhan sambil mengucapkan irisan bait wahyu, tetapi pada saat yang sama dengan kandasnya, kebudayaan kita dirundung surplus kegaduhan, defisit kesunyian. Agama diekspresikan dalam kerumanan dan kebisingan, tak hendak (mengatakan “demontrasi agama”), tetapi akan sudikah mempertanyakan sejauh mana, bahkan dimana renungan dan penghayatan itu kita rayakan.
Ruh kebudayaan tersingkir, melipat, meninggalkan permukaan tanpa kedalaman. Jalan sunyi pengorbanan, pemaafan dan keikhlasan dianggap semacam kesia-siaan. Barangkali, sikap dan perilaku itulah, yang “bakal” menentukan kedamaian maha indah. Pijar kedamaian bisa didekati dengan keramahtulusan dan begitu jugalah rahmat ilahi. Kesucian dalam maaf, dan kebeningan dalam niat, mengantarkan kepada keimanan yang agung.
Gairah menyelam ke kesunyian spiritual, menumbuhkan gelombang abdian kepada sang maha abadi. Tanpa abdian di kedalaman spiritual, keberagamaan menjadi ketidakpastian dan menghadirkan keraguan. Tetapi, barangkali yang kita tahu, ketulusan bakti kepada Tuhan tak mungkin tercapai tanpa mengabdi kepada sesama manusia dan kepada kemanusiaan. Inilah yang hilang, dari senjakala kehidupan kita, karena menipisnya jalinan daya kasih kepada sesama dan gerak ragawi kita sebagai umat manusia.
Kita ingat kisah Miranda dalam buku Mencari Islam (Mizan, 1993). Miranda beragama Kristen. Miranda sangat mencintai gereja. Ia sangat menghormati ajarannya, bahkan menurutnya bangunannya mampu menggetarkan, dengan paduan suara-suara yang setiap saat mengiris perasaan, dan dengan semangat kasihnya cukup membelai banyak penderitaan orang. Baginya, Kristiani khususnya Protestan adalah agama yanga amat romantis. Ia bahkan sering terkesan sentimenta. Menurutnya itulah kelebihan sekaligus kekurangannya.
Tetapi, Miranda mengalami hal-hal yang “lain”. Ia mempunyai kejeniusan akan kepercayaan dan penyuka hal-hal kejutan. Bahkan, saat mencari identitas agamanya, saat mabuk terharukan pada ajaran-keyakinan yang dibuatnya, ia mengalami dentuman alamiah: keragu-raguan atas kepercayaannya yang selama ini ia bangun.
Gadis itu masih kecil, tapi penyuka buku. Setiap apa yang dibaca, membayangkan adalah dirinya. Miranda selalu menciptakan ilusi, bahkan badai sendiri. Dengan begitu, ia merasa lega, karena sudah bisa menghukum dirinya dari perilaku bodoh, dosa dan ketakutan-ketakutannya.
Saat remaja, Miranda mendapati keadaan yang lebih realistis. Ia ingin mencari yang selama ini menganjal tentang ke-Islam-an dan ke-Tuhan-an, meski ia binasa pada lingkungan keadaan keluarga yang semuanya sangat taat pada ajaran luhurnya.
Tepat bulan Ramadan, Miranda dengan keharuan hati, untuk pertama kali mendengarkan azan magrib di teras masjid, ia menyentuh lubang gembira. Seperti ada yang masuk menyusup ke suatu daerah yang penuh warna asing bertuan purba. Ia seperti mengusik iman Miranda yang sekian lama tidur karena bingungnya. Dan pada waktu itu, ia mencoba berbusana Muslim, berpikiran Muslim, sambil mempertanyakan: mungkinkah saya dapat masuk Islam seorang diri?
Pada suatu kesempatan Miranda menemui seseorang di Jawa Tengah. Orang itu tinggal di gubuk sederhana—dikelilingi empat pesantren tardisional, di Desa Sekerjalak, pinggiran kota, di Pati. Miranda sampai, sekitar pukul sebelas malam—disambut orang dengan pakaian sarung, baju takwa putih, kopiah hitam, dan senyum. Obrolan pun tak bisa ditunda.
Di tengah kepulan asap rokok, Miranda tak cukup berani bertanya banyak. Tetapi ia menemukan kharisma sejati seorang manusia, yang merupakan perpaduan dari ketajaman logika, kepekaan rasa dan sikap rendah hati. Dialah guru yang sesungguhnya, yang mengajar tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan sikap dan kesederhanaanya.
Hanya semalam di sana, Miranda merasa ada secercah cahaya terserap masuk dalam situasi internalnya, seperti oksigen murni, ia masuk ke dalam paru-paru idealnya. Dan, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Miranda lantas memahami arti dari sebuah kebeningan rasa. Ia mendapat pelajaran tentang kekuatan zikir, dan do’a. Setelah ia merasakan cekcok antar diri melalui proses keraguan yang melalahkan, akhirnya Miranda sampai kepada kepasrahan. Pada malam pertama bulan Ramadan 1989, Miranda mengakui bahwa dirinya tidak dapat mengingkari yang ada dalam dirinya untuk memulai secara total dengan pilihannya. Dengan gerbang itu hanya dua kata untuk dirinya: syahadat dan jilbab.
Menurutnya, dengan cara-cara itu, dengan berjilbab, terhijablah pilihan-pilihan menggiurkan. Terhijab privilese-privilese, yang dapat menyeret menjadi penindas bagi sesamanya. Terhijab jugalah tari-tarian yang mengesplorasi estetika daging. Terhijab jugalah jalan mulus menjadi aparat yang seringkali tergiurkan kepada (oligarki) keserekahan hingga terjerembap dalam struktur korup yang penuh eufumisme.
Dengan titian-tian itu, Miranda mendapati hikmah bahwa sesungguhnya kunci atas semua sikap yang sering silir dan kadang keculasan datang bergilir itu, raib dengan sikap-sikap tulus dan kerendahatian terhadap perbedaan yang datang dari luar. Perasaan silir yang menjadi sihir dalam penerjemahan hidup, fana jika ada daya mengkhidmati perbedaan.
Karena tidak mungkin bisa berlari dari perbedaan, karena Tuhan mengomfimasi lewat ayat-ayatnya bahwa makhluk diciptakan berbeda-beda—dan untuk itu ia dijadikan sebagai energi rahmat pencarian ketakwaan, kemahaesaan Tuhan. Dan dengan membangun ketulusan ukhuwah, bunga kedamaian mekar dalam hidup sementara. Kendati berat, tetapi jiwa harus rela menantang ketidakpasian meterial demi kepastian Ilahiah.
Sampai di sini, barangkali kita merasa, yang kita butuhkan adalah kisah-kisah kecil dan ketatihannya mencari kearifan, seperti Miranda, bukan kisah-kisah besar dan orang agung se-Tanah Air sekalipun. Miranda menerikkan rongga-jiwa kita kepada embun spiritualitas dalam pencarian: kepada kebenaran Tuhan lewat kesunyian, kepada manusia lewat kemanusiaan, dan kealaman lewat perawatan.
Dan semoga, kita dalam menjelajahi hidup, terbingkai dalam ketulusan persaudaraan umat Islam, bangsa, alam semesta, dalam jalinan kebijakan luhur.