Ada sebuah pertanyaan yang terdengar sepele tetapi sensitif, yaitu bertanya soal perbedaan mazhab dan akidah. Di Indonesia sendiri bukan lagi bertanya soal paham mazhab dan akidah, tetapi lebih mengkrucut, contohnya: “Nahdatul Ulama atau Muhammadiyah?” Bahkan pertanyaan ini tidak jarang diajukan kepada guru ngaji di pesantren.

“Afwan Ustad, apakah Ustadz Nahdatul Ulama?” tanya salah satu santri. Tidak menunggu lama langsung keluar jawaban tak terduga, “saya tidak Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, ataupun HTI, tetapi amaliah saya lebih kepada NU,” begitu jawaban Ustad yang terdengar oleh penulis di sela-sela pengajian.

Pertanyaan itu mewakili perasaan penulis, sebab sempat ingin bertanya demikian, tapi selalu urung. Akan tetapi, mendengar jawaban ustad tadi membuat penulis atau bahkan santri yang lainnya merasa kecewa, karena tidak mengucapkan “saya Nahdatul Ulama atau Muhammadiyah”. Ada kepuasan tersendiri jika seseorang yang kita hormati satu frekuensi.

Di dunia akademik/kampus banyak mahasiswa yang suka mengkelompokkan dirinya masing-masing. Tentu saja ini karena identitas yang dibangun sejak awal melalui kultur atau doktrin dari orangtua, dan ketika memasuki dunia kampus akan dihadapkan dengan banyaknya organisasi sehingga ia tinggal memilih organisasi apa yang cocok dengan dirinya.

Banyaknya perdebatan membuat penulis mengatakan bahwa itu hal yang biasa, bahkan dalam satu hadis mengatakan umatnya akan terpecah menjadi 73 kelompok, kemudian Alquran sumber tertinggi umat Islam juga menyebutkan dalam satu ayatnya, yang intinya “Allah menciptakan perbedaan untuk saling mengenal satu sama lain”.

Akan tetapi, setelah penulis membaca dua buku karya Ahmad Syafii Maarif dengan judul Membumikan Islam, dan Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam membuat pemikiran tercerahkan dan memiliki sudut pandang lain dalam menilai perbedaan, bahkan dua buku ini memuat kritik pedas soal perdedaan yang membuat Islam tidak pernah bersatu dan maju.

Buya Syafi’i Ma’arif menyebut istilah yang unik dalam bukunya yaitu “Islam kotak-kotak”, ya, Islam sekarang terpecah menjadi banyak dan dari masing-masing kelompok saling membenarkan ajarannya satu sama lain, bahkan tidak jarang karena perbedaan pendapat berujung pada perang yang banyak mengorbankan nyawa. (Ahmad Syafii Maarif, 2019: 119).

Buya Syafii Maarif mendeskripsikan sejarah Perang Jamal dan Perang Siffin awal mula terbentuknya Islam kotak-kotak sepeninggal 25 tahun Rasulullah saw. wafat. Padahal Ali bin Abi Thalib dan Aisyah r.a adalah seorang yang akan dijamin masuk surga dan mereka dekat dengan nabi, mereka tahu agama lebih dalam sebab langsung dari sumbernya.

Tidak lama setelah usai Perang Jamal antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah r.a, dilanjutkan dengan Perang Siffin antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, dan dari sinilah munculnya awal mula kelompok Islam yaitu Khawarij.

Kelompok ini adalah barisan yang kecewa atas arbitrase dan memusuhi orang yang terlibat secara langsung yaitu Ali bin Abi Thalib, Abu Musa Asy’ari, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash. Menurut kelompok ini Khawarij, keempat orang itu wajib dibunuh.

Khawarij terbagi lagi menjadi beberapa kelompok ada yang lebih ekstrim dari sekedar membunuh orang yang terlibat dalam arbitrase yaitu di luar dari kelompok mereka wajib dibunuh, ini adalah Khawarij Azariqah, (Harun Nasution, 2012: 17) belum lagi yang lainnya, yaitu: Al-Muhakkimah, Al-Najdat, Al-Ajaridah, Al-Sufriah, dan Al-Ibadiah. Dari semua kelompok tersebut memiliki perbedaan satu sama lain.

Tidak lama lahir lagi kelompok yang cinta dan mengkultuskan diri sebagai pengikut setia Ali bin Abi Thalib yaitu Syi’ah—kelompok ini juga terbagi menjadi banyak pula, dan memiliki pemahaman kebencian kepada para sahabat, bahkan ada suatu pemahaman bahwa malaikat Jibril diutus Allah untuk Ali bin Ali Thalib ra. Namun, mereka menilai malaikat Jibril keliru dan berkhianat sehingga menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad.

Belum cukup Khawarij dan Syi’ah saja, muncul lagi kelompok yang menganggap dirinya benar di antaranya Qadariah, Jabariah, Murji’ah, Muktazilah, dan Ahlussunah Wal Jama’ah. Tentu saja, masing-masing dari kelompok ini mencomot ayat Alquran sebagai penguat atas terbentuknya kelompok mereka dan memiliki pandangan lain terhadap Islam itu sendiri.

Menurut Buya Syafii Maarif, dengan adanya Islam kotak-kotak, baik itu “Sunisme maupun Syi’isme, seperti telah disebut terdahulu, tidak ada kaitannya dengan Alquran dan misi kenabian, kecuali jika dipaksakan secara ahistoris. Kotak-kotak ini amat bertanggung jawab bagi lumpuhnya persaudaraan umat beriman.

Maka, jika umat Islam di muka bumi memang mau punya hari depan yang diperhitungkan manusia lain, jalan satu-satunya adalah agar keluar dari kotak Sunni dan kotak Syi’i itu karena semuanya adalah hasil dari pabrik sejarah sekitar 25 tahun sesudah Nabi wafat”. (Ahmad Syafii Maarif, 2018: 40).

Sebuah kesimpulan yang sangat kritis dan memukul kepada umat Islam yang selalu mengkotak-kotakkan kelompok. Tentu saja penulis berpikir, apakah bisa umat Islam bersatu tanpa ada sekat sedikit pun sebab adanya perbedaan itu sendiri?

Bagi penulis, kesimpulan Buya Syafii Maarif itu terkait Islam kotak-kotak yang terjadi saat ini adalah sebuah kemustahilan. Sudah terlanjur jauh ulama berkreasi dengan menciptakan kotak-kotak. Kalau ikut ormas ini maka amaliahnya itu, dan kalau ikut itu maka amaliahnya ini. Misalnya, warga NU maka fiqhnya pakai 4 mazhab tetapi lebih utama Syafi’i, akidahnya Asy’ariah, dan tasawufnya Junaid al-Baghdadi atau Imam Al-Ghazali.

Hemat penulis, tidak perlu keluar dari kotak Syi’i ataupun Sunni, tetapi kita harus keluar dari rasa kebencian hasil dari warisan sejarah dan tidak ada lagi satu kelompok yang merasa paling benar, tentu saja harus saling memaafkan atau mungkin mengambil pendapat dari guru penulis, yaitu tidak masuk dalam Islam kategori apa pun melainkan secara amaliahnya saja yang diambil. Jika bisa keluar dari itu semua maka tinggal memiliki rasa persaudaraan, di sinilah Islam akan memiliki hari depan yang diperhitungkan.

Quraish Shihab dalam bukunya Islam yang Saya Anut, mengutip buku al-Muwafaqat karya Abu Ishaq asy-Syathibi (w. 790 H -1388 M): “Setiap masalah yang terjadi dalam (ajaran) Islam, lalu terjadi perbedaan sesama (muslim) tapi perbedaan ini tak mengakibatkan permusuhan, kebencian atau perceraiberaian maka kita ketahui perbedaan tersebut bagian dari (ajaran) Islam;

Setiap masalah yang muncul lalu mengakibatkan permusuhan, ketidakharmonisan, caci-maki, atau pemutusan silaturahmi maka kita mengetahui bahwa sedikit pun ia bukanlah bagian dari agama karena perbedaan adalah keniscayaan, pertemuan dan persatuan tetap harus dapat terwujud/diwujudkan.”  (Quraish Shihab, 2019: 12).

Sebagai kalimat penutup ada perkataan Nabi Muhammad saw., yaitu “Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat”. Tentu saja, adanya rasa toleransi terhadap sesama muslim harus dijunjung tinggi, dan ini adalah Ukhuwah Islamiah yang sesungguhnya. [*]

Wallahu alam.

 

Daftar Rujukan

Syafii Maarif, Ahmad. Membumikan Islam dari Romantisme Masa Silam Menuju Islam Depan,    Yogyakarta: IRCisoD, 2019.

Syafii Maarif, Ahmad. Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, Bandung: Buyan, 2018.

Shihab, Quraish, Islam yang Saya Anut Dasar-dasar Ajaran Islam, Tangerang: Lentera Hati,         2019.

Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Pres,     2012.

Leave a Response