Sebagai bangsa besar yang terdiri dari berbagai suku bangsa, Indonesia memiliki beragam, adat istiadat, tradisi dan budaya yang kaya akan nilai-nilai luhur yang bisa menjadi pedoman hidup dan kehidupan sehari-hari. Tradisi merupakan suatu adat kebiasaan, kepercayaan, kebiasaan, ajaran dan sebagainya yang turun temurun dari nenek moyang dan yang masih dijalankan dalam masyarakat, khususnya di Indonesia.
Di sisi lain, manuskrip merupakan teks tertulis yang mengandung berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat serta perilaku masyarakat masa lalu. Dibandingkan dengan bentuk-bentuk peninggalan budaya material non-tulisan di Indonesia, seperti candi, istana, masjid dan lain-lain, jumlah peninggalan budaya dalam bentuk manuskrip jauh lebih besar.
Penelitian yang dilakukan Balai Litbang Agama Kementerian Agama Jakarta ini menemukan bahwa antara tradisi keagamaan; tradisi palangkahan di Sumatera Barat, mamaca syekh di Banten, pembacaan Ratib Al-Haddad dan ratib Samman di Jakarta dan tradisi Nebus Weteng di Cirebon, dengan manuskrip memiliki hubungan yang saling berkaitan satu sama lain. Di mana tradisi keagamaan yang dilakukan masyarakat berbasiskan pada manuskrip. Hal ini sebagai bukti bahwa antara budaya dan agama saling berhubungan satu sama lainnya yang memberikan gambaran utuh tentang wujud Islam Indonesia sebagai topografi Islam lokal di Indonesia.
Uraian Temuan Penelitian
Risalah kebijakan ini berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di 4 (empat) propinsi yaitu; propinsi Sumatera Barat, propinsi Banten, propinsi DKI Jakarta dan propinsi Jawa Barat, tepatnya di Cirebon yang dikerjakan oleh 5 (lima) orang peneliti bersama peneliti lokal di masing-masing propinsi. Berdasarkan hasil temuan, ada 5 (lima) tradisi keagamaan yang menggunakan manuskrip sebagai sumber atau rujukan di dalam pelaksanaan tradisi keagamaan tersebut.
Tradisi palangkahan merupakan tradisi yang ada di masyarakat Sumatera Barat. Tradisi palangkahan merupakan warisan leluhur secara turun-temurun yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bersumber pada manuskrip yang dipegang oleh Buya atau Datuk seorang murid tarekat dengan berpedoman pada seorang guru. Istilah Palangkahan diambil dari kata langkah; seseorang yang akan berjalan ada langkah pertama dalam perjalanannya itu, orang yang akan mendirikan rumah juga terdapat langkah awal mengerjakannya, begitu juga yang akan melangsungkan pernikahan juga terdapat langkah prosesi pertama dalam rangkaian akad nikah dan kendurinya.
Langkah dimaknai kegiatan awal yang menentukan momen-momen setelahnya. Dalam sebuah maqalah (ungkapan agama) disebutkan, “langkah kaki pertama menentukan akhir kesudahannya.” Yang terdapat pada langkah pertama bisa jadi arahan memulai sesuatu, do’a-do’a dan harapan. Tradisi ini merupakan kearifan lokal masyarakat yang masih terus dilestarikan dan dilaksanakan oleh masyarakat di dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Kearifan lokal tersebut ternyata bersumber pada naskah atau teks-teks yang terdapat pada tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah dengan guru tarekat sebagai sumber rujukan atau tokoh sentral di dalam melakukan tradisi tersebut.
Tradisi ini berhubungan dengan hal-hal yang penting dalam kehidupan sehari hari, seperti; mendirikan rumah, menentukan calon pasangan hidup untuk menikah, mulai bersawah dan berladang, menanyakan perihal penyakit yang sedang diderita, batagak panghulu, taqwim khamsiyah, hingga kadar perjalanan seseorang ketika melawat atau merantau.
Tradisi ini masih dilestarikan dan dilaksanakan di masyarakat Nagari Pariangan – Tanah Datar, Ulakan – Padang Pariaman dan Belubus – Lima Puluh Kota Ada 4 (empat) nilai agama yang dapat diambil dari tradisi palangkahan tersebut, yaitu; Ulama atau tokoh agama sebagai pusat keilmuan dan bertanya mengenai persoalan kehidupan sehari-hari, ingat akan waktu, selalu berikhtiar dan tidak lupa untuk selalu berserah diri kepada Allah Swt melalui do’a.
Adapun nilai karakter yang dapat diambil yaitu; musyawarah, berpikir positif dan bersyukur, membaca tanda alam, jalinan sosial, cinta budaya dan berdisiplin.
Warga Betawi sebagai suku yang mendominasi di Jakarta, ternyata masih memiliki tradisi yang masih dikenal dan dilakukan oleh masyarakatnya. Salah satu tradisi yang masih dilakukan tersebut ialah ratiban. Al-Haddad merupakan salah satu ratib yang cukup banyak dibaca oleh warga Betawi di Jakarta. Pembacaan ratib ini salah satunya dilakukan oleh warga Centex, Ciracas, Jakarta Timur, oleh jamaah Majlis Rotib Ar-Ridho.
Hasil penelitian selengkapnya klik di sini
Gambar ilustrasi: