Para ulama Nusantara telah melahirkan sejumlah karya genuine berupa kitab dalam pelbagai bidang keilmuan Islam. Mulai dari tata negara, sains sosial, etika, filsafat, logika, teologi, yurisprudensi, sastra, tata bahasa, sains, pertanian, kedokteran, dan lain sebagainya. Kendati demikian, karya-karya tersebut hingga saat ini sampai kepada kita baru terlacak berasal dari abad ke-16 Masehi.

Dalam bidang tafsir Al-Qur’an, misalnya, kita mengenal sederet kitab karya ulama Nusantara yang ditulis dalam wilayah ini. Sebut saja, Tafsir “Turjumân al-Mustafîd” karya Syaikh Abdul Rauf Singkel pada abad ke XVII, lalu ada tafsir “Nûr al-Ihsân” karya Syaikh Said Qedah pada akhir abad XIX.

Ada juga tafsir Al-Qur’an “Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ Qur’ân Majîd” yang ditulis dalam bahasa Arab pada akhir abad XIX di Makkah, karya Syaikh Nawawi Banten. Dalam bahasa Jawa, terdapat tafsir “Faidh al-Rahmân” karya Kiai Soleh Darat Semarang. Disusul oleh tafsir “al-Ibriz” karya Kiai Bisri Musthofa Rembang.

Dalam bahasa Sunda, terdapat tafsir “Raudhah al-‘Irfân” karya Kiai Ahmad Sanusi Gunungpuyuh Sukabumi, juga tafsir “al-Tabyin al-Ajla” karya Kiai Ahmad Dimyathi Sukamiskin Bandung.

Syaikh Nawawi Banten mengatakan, mengapa beliau menamakan karya tafsirnya ini dengan “Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ Qur’ân Majîd”. Sebab, nama tersebut terdengar agak asing. Syaikh Nawawi mengatakan:

وسميته مع الموافقة لتاريخه مراح لبيد لكشف معنى قرآن مجيد

Aku menamakan kitab ini sesuai dengan titimangsa penulisannya, yaitu “Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ Qur’ân Majîd”.

Syaikh Nawawi menjelaskan, bahwa tahun penulisan karya tafsir tersebut adalah tahun yang jika dihitung dengan rumus hitungan Arab “Abajadun” atau “hisâb al-jumal”, maka jumlah tahun tersebut adalah nama judul kitab tafsir itu.

م = 40

ر = 200

ا = 1

ح = 8

Jumlah = 249

 

ل = 30

ب = 2

ي = 10

د = 4

Jumlah = 46

 

ل = 30

ك = 20

ش = 300

ف = 80

Jumlah = 430

 

م = 40

ع = 70

ن = 50

ى = 10

Jumlah = 170

 

ق = 100

ر = 200

آ = 1

ن = 50

Jumlah = 351

 

م = 40

ج = 3

ي = 10

د = 4

Jumlah = 57

 

Total jumlah hasil penghitungan judul “مراح لبيد لكشف معنى قرآن مجيد” dengan memakai rumus hitungan “Abajadun” (hisab al-jumal) adalah: 249+46+430+170+351+57 = 1303.

1303 (Hijri) adalah tahun di mana Syaikh Nawawi Banten mulai menulis karya tafsirnya ini. Beliau menyelesaikannya kira-kira dua tahun kemudian (1305). Syaikh Nawawi menulis:

وقد انتهى ما من الله به علينا من المعاني الميسرة والألفاظ المسهلة في خامس ربيع الآخر ليلة الأربعاء عام 1305 ألف وثلاثمائة وخمسة على يد الفقير الى الله تعالى محمد نووي

(Dan telah selesai hal [menyusun kitab tafsir ini] yang Allah berikan anugerah kepada kami atasnya, yaitu daripada makna-makna yang mudah, dan lafaz-lafaz yang lugas, pada tanggal 5 bulan Rabi’ul Awwal, malah Rabu, tahun 1305 Hijri. Dilakukan oleh seorang yang fakir kepada Allah Ta’ala, yaitu Muhammad Nawawi)

Selain karya-karya tafsir Al-Qur’an, kita juga bisa menyebut di sini beberapa karya ulama Nusantara dalam bidang fikih (yurisprudensi Islam). Ada kitab “Shirâth al-Mustaqîm” karya Syaikh Nuruddin Raniri pada pertengahan abad XVII. Kitab ini adalah kitab fikih madzhab Syafi’i terlengkap pertama yang ada di Nusantara.

Lalu dilanjutkan dengan adanya kitab “Mir’ât al-Thullâb” karya Syaikh Abdul Rauf Singkel pada abad yang sama. Kitab tersebut adalah kitab fikih mu’amalah terlengkap pertama di Nusantara. Setelahnya, pada abad ke XVIII, ada kitab “Sabîl al-Muhtadîn” karya Syaikh Arsyad Banjar. Kitab “Sabîl al-Muhtadîn” adalah penerus dari kitab “Shirâth al-Mustaqîm” yang ditulis seabad sebelumnya.

Pada awal abad XIX, ada kitab “Sullam al-Mubtadî” karya Syaikh Dawud Pattani dari Thailand Selatan. Kitab “Sullam al-Mubtadî” sendiri adalah ringkasan dari kitab “Sabîl al-Muhtadîn” karya Syaikh Arsyad Banjar sebelumnya. Semua kitab fikih yang disebutkan di atas merupakan karya yang ditulis dalam bahasa Melayu aksara Arab.

Periode berikutnya, generasi murid Syaikh Dawud Pattani, ada Syaikh Nawawi Banten yang menulis setidaknya 7 buah kitab fikih. Di antaranya: “Sullam al-Munâjât”, “Kâsyifah al-Sajâ”, “Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq”, “al-Tsamrah al-Yâni’ah”, “Qût al-Habîb al-Gharîb”, “Nihâyah al-Zain”, “al-Durr al-Tsamîn” dan lain-lain.

Generasi setelah Syaikh Nawawi, mulai banyak kitab-kitab karya ulama Nusantara yang ditulis dalam bahasa lokal, seperti Jawa, Sunda, Melayu-Betawi, Madura, Bugis. Dalam bahasa Jawa, ada kitab “Majmû’ah al-Syari’ah al-Kâfiyah” karya Kiai Soleh Darat Semarang.

Dalam bahasa Sunda ada kitab “Kifâyah al-Mubtadi’în” karya Syaikh Mukhtar Bogor, atau kitab “Sirojul Munir” karya Kiai Ahmad Syathibi Gentur. Dalam bahasa Melayu-Betawi, ada kitab “Irsyâd al-Anâm” karya Sayyid Usman bin Yahya mufti Batavia, atau kitab karya Guru Marzuqi Cipinang Muara. Dalam bahasa Madura, ada kitab “Fath al-Lathîf” karya Kiai Kholil Bangkalan.

(Bersambung)

Teks ini disampaikan pada acara Pidato Kebudayaan yang bertajuk “Pesantren sebagai Penjaga Peradaban Aksara” pada 15 Juli 2020 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pesantren (PSP) melalui akun fanspage Facebook @pusatstudipesantren

Leave a Response