Masih generasi murid Syaikh Nawawi Banten, terdapat karya ulama Nusantara lainnya dalam bidang fikih yang penting untuk disinggung. Salah satunya, yaitu kitab “Hâsyiah al-Tarmasî” karya Syaikh Mahfuzh Tremas (w. 1920).
Syaikh Mahfuzh Tremas adalah guru utama bagi Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (w. 1947). Kitab “Hâsyiah al-Tarmasî” boleh dikatakan sebagai karya fikih madzhab Syafi’i terbaik dan terlengkap yang ditulis sepanjang abad XX. Hingga saat ini masih dijadikan rujukan di pelbagai belahan negara Muslim yang secara fikih bermadzhab Syafi’i.
Selain menulis “Hâsyiah al-Tarmasî”, Syaikh Mahfuzh Tremas juga menulis sejumlah karya monumental lainnya dalam pelbagai bidang disiplin keilmuan Islam. Seperti “Hâsyiah Nail al-Ma’mûl” dalam bidang ushul fikih, “Fath al-Khabîr” dalam bidang ilmu tafsir, “Manhaj Dzaw al-Nazhar” dalam bidang ilmu hadits, “Ghunyah al-Thalabah” dalam bidang ilmu qira’at Al-Qur’an, dan lain sebagainya.
Kita bisa juga menyebut nama Syaikh Ihsan Dahlan Jampes (w. 1951). Beliau adalah kawan dekat KH. Hasyim Asy’ari sekaligus kakak dari KH. Marzuqi Dahlan Lirboyo. Kiyai Ihsan Dahlan Jampes ini menulis karya monumental dalam bidang ilmu tasawuf, berjudul “Sirâj al-Thâlibîn”. Kitab ini sebagai syarah atas teks “Minhâj al-‘Âbidîn” karya Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazzali (w. 1111).
Hingga saat ini, kitab tersebut, yang dikarang oleh ulama dari desa Jampes Kediri Jawa Timur itu, masih dibaca dan dijadikan buku pelajaran di Jami’ al-Azhar Mesir.
Tak hanya itu, hal yang paling menarik untuk kita simak, renungkan, telaah, dan kaji secara mendalam adalah karya-karya ulama Nusantara dalam bidang ilmu tata bahasa Arab. Di antara sekian banyak literatur rujukan dunia terkait ilmu tata bahasa Arab, adalah karya-karya ulama Nusantara.
Bisa kita bayangkan, ada orang Nusantara, menulis karya dalam bidang ilmu tata bahasa Arab, dalam bahasa Arab yang sempurna. Bahkan, dijadikan rujukan studi gramatika Arab oleh orang Arab dan orang-orang Timur Tengah lainnya (Persia, Turki, Kurdi, dll).
Contohnya, ada Syaikh Ahmad Pattani yang menulis kitab “Tashîl Nail al-Amânî” sebagai syarah atas teks “’Awâmil al-Jurjânî” karya Abdul Qahir al-Jurjani. Ada Kiyai Ma’shum Salim Semarang yang menulis kitab “Hâsyiah Tasywîq al-Khallân” sebagai komentar atas kitab “Mukhtashar Jiddan” karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.
Ada Syaikh Abdul Haq Banten, cucu Syaikh Nawawi Banten, yang mengarang kitab “Hâsyiah Tafrîj al-Adânî” sebagai komentar atas kitab “Syarh al-Taftâzânî fî al-Sharf”. Ada juga Kiyai Abu Fadhol Senori Tuban, murid Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari sekaligus guru Mbah Yai Maimoen Zubair Sarang yang mengarang kitab “Tashîl al-Masâlik” sebagai syarah atas teks “Alfiyyah Ibn Malik” yang monumental.
Ada pula Kiyai Ma’shum Ali Jombang, menantu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari yang menulis kitab kecil namun telah menuntun entah berapa juta orang memahahami ilmu morfologi Arab (sharaf), yaitu kitab “al-Amtsilah al-Tashrifiyyah”. Dan masih banyak lagi selain judul-judul kitab tersebut.
Hal menarik lainnya dari pesantren sebagai penjaga peradaban aksara adalah lahir dan berkembangnya rumpun teks-teks literatur yang berkesinambungan antar satu sama lain.
Contohnya, satu buah teks (kitab) kecil dalam bidang yurisprudensi Islam atau fikih, yang sangat populer dikaji di hampir semua pesantren, yaitu “Safînah al-Najâ”.
Teks ini dikarang oleh seorang Hadramaut (Yaman) yang kemudian menghabiskan sisa usianya hingga wafat di Batavia (1857). Satu buah teks kecil dan sederhana ini (Safînah al-Najâ) lalu melahirkan sekian banyak literatur yurisprudensi Islam yang ditulis oleh para cendikiawan generasi setelahnya.
Ada Syaikh Nawawi Banten yang menulis “Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ”. Ada Syaikh Usman Tungkal Jambi yang menulis “Sullam al-Rajâ syarah Safînah al-Najâ”. Ada Kiyai Ahmad Qusyairi Pasuruan yang menulis “Tanwîr al-Hijâ nazhom Safînah al-Najâ”.
Ada Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki al-Makki yang menulis “Inârah al-Dujâ syarah Tanwîr al-Hijâ nazhom Safînah al-Najâ”. Ada Kiyai Ma’shum Siraj Gedongan Cirebon, paman Kiyai Said Aqil Siraj, yang menulis “Nail al-Rajâ nazhom Safinah al-Najâ”. Ada Kiyai Sahal Mahfuz Kajen, Pati, yang menulis “Faidh al-Hijâ syarah Nail al-Rajâ nazhom Safînah al-Najâ”.
Itu baru dari teks kecil bernama “safinah”. Belum lagi “Sullam al-Taufiq”, belum lagi “Fath al-Qarib”. Belum lagi “Fath al-Mu’in” dan teks-teks lainnya yang kalau kita telusuri satu persatu. Hal ini akan menjadikan kita sadar betapa kaya dan agungnya tradisi peradaban aksara, literasi, yang telah dibangun oleh ulama-ulama pesantren di Nusantara ini.
Kenyataan di atas menyadarkan kita, betapa kita ini adalah generasi yang naif, karena telah mengabaikan dan menyianyiakan kekayaan peradaban aksara, membiarkannya tertimbun, terkubur, tergerus oleh putaran zaman.
Inilah yang ingin kita sebut sebagai “ingatan kolektif masyarakat Muslim Nusantara yang abadi”, atau bahasa UNESCO-nya adalah “memory of the world”, atau dalam bahasa Arabnya “ذاكرة الشعوب الأبدية”.
Ada seorang cendikiawan Jerman bernama Carl Brockelman yang menulis “تاريخ الأدب العربي”. Di sana ia menginventarisir karya-karya intelektual, literatur keilmuan yang ditulis dalam bahasa Arab sepanjang sejarahnya dalam pelbagai bidang.
Ada juga muridnya Brockelman, yaitu Fuat Sezgin, orang Jerman-Turki. Beliau menulis “تاريخ التراث العربي” yang juga menyempurnakan karya gurunya itu. Menghimpun informasi karya-karya intelektual dalam pelbagai bidang yang ditulis dalam bahasa Arab.
Ada juga Edward Brown, yang menulis “تاريخ الأدب في إيران” yang menghimpun informasi karya-karya intelektual berbahasa Persia. Ada kitab “الشقائق النعمانية في تاريخ علماء الدولة العثمانية” karya Taskopruluzade yang menghimpun kamus biografi ulama-ulama Turki Ottoman beserta jaringan intelektual mereka dan karya-karya mereka.
Terkait “sejarah karya-karya intelektual” atau literatur Islam Nusantara ini, tampaknya kita harus bekerjakeras, bersinergi bersama-sama, untuk dapat melahirkan sebuah kitab “تاريخ التراث الإسلامي النوساننتاراوي”.