Kebijakan Meningkatkan Ketahanan Keluarga Terdampak Kasus Terorisme
Terorisme menjadi sebuah isu yang masih terus menyita atensi dan kepedulian masyarakat dunia pada dua dekade terakhir. Tidak terkecuali dalam konteks di Indonesia. Sebagai negara keempat dengan penduduk terbanyak, serta sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia menghadapi berbagai kasus kekerasan terorisme.
Dalam konteks keluarga pelaku terorisme menjalani kehidupan dan aktivitas sehari-hari, menjadi penting dan relevan untuk ditelusuri dan dieksplorasi bagaimana gambaran resiliensi (ketahanan) anggota keluarga pelaku terorisme. Sebagai kejahatan luar biasa dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terorisme di Indonesia menjadi sebuah tindak kriminal yang sangat kuat pelabelan stigma negatifnya.
Sehingga secara langsung ataupun tidak langsung, hal tersebut juga berdampak pada keluarga pelaku. Di mana stigma, prasangka dan stereotip yang diberikan masyarakat terhadap keluarga pelaku terorisme, akan sangat mungkin membuat keluarga pelaku terkucil dari lingkungan masyarakat sekitar dan mendapatkan diskriminasi dalam aktivitas kehidupan sosial.
Penelusuran tentang bagaimana keluarga tersangka teroris menjalani kehidupan juga menjadi sebuah kajian yang perlu dikembangkan mengingat program preventif dan kuratif tindak pidana terorisme perlu disinergikan dari hulu ke hilir. Penelitian terbaru mendalami kebutuhan keluarga teroris dalam membangun ketahanan keluarganya berupa kebutuhan pendampingan psikologis secara continue.
Usaha kuratif dan preventif perlu memasukkan program pendampingan psikologis bagi anggota-anggota keluarga yang terdampak kasus teroris, terkhusus keluarga yang tidak tahu menahu namun akibat salah satu anggota keluarganya menjadi pelaku teror maka merekalah yang menerima stigma, stereotip, prejudice dan diskriminasi. Keluarga memiliki kerentanan tinggi untuk mengalami stres dan depresi, sehingga butuh pendampingan psikologis yang seyogyanya diinisiasi oleh dinas terkait serta lembaga pemerintahan yang terlibat.
Berangkat dari latar belakang di atas, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada 2020 melakukan penelitian berjudul “Kebijakan Meningkatkan Resiliensi/Ketahanan Keluarga Terdampak Kasus Terorisme”.
Objek Penelitian
Terdapat dua keluarga teroris yang diteliti yaitu keluarga A dan keluarga X. Subjek penelitian atau informan dalam penelitian ini ditentukan dengan prosedur purposive sampling dengan mengamati dan mencari subjek yang kredibel sesuai dengan objek kajian yang akan diteliti.
Temuan Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga teroris A memiliki proses cukup lama membangun resiliensi. Beberapa faktor menjadi penyebab fase keterpurukan berlangsung cukup lama sebelum pada akhirnya tingkat resiliensi keluarga mereka menguat. Di antaranya adalah karena faktor komposisi anggota keluarga yang terdiri dari Ibu sebagai single parent dan anak-anak perempuan yang masih berusia muda dan beberapa di antaranya tidak tinggal bersama karena bekerja menjadi pekerja migran di luar negeri.
Dimensi resiliensi keluarga yang terbentuk baik di antaranya adalah sistem keyakinan terkait sisi transenden dan spiritualitas yang dibangun dengan lebih mendekatkan diri dengan Tuhan melalui aktivitas beribadah dan berguru pada ustadz. Kemudian mereka juga memiliki pandangan positif dengan memiliki ketekunan dan inisiatif untuk bangkit dari situasi sulit.
Dengan dukungan sosial dari tetangga sekitar dan pemerintah desa setempat, keluarga A mampu merespons situasi yang sulit dan membuat tujuan untuk ke depannya. Lebih lanjut ketahanan keluarga A terbentuk dalam dimensi pola hubungan keluarga di mana ada sisi keterhubungan.
Masing-masing anggota keluarga memberikan dukungan, saling bekerja sama, dan menyelesaikan secara bersama. Hal ini termanifestasikan dalam pola kerja sama dalam bekerja untuk menghasilkan peningkatan ekonomi keluarga dan menghadapi persoalan bersama.
Adapun proses pembangunan resiliensi di masa awal cukup sulit karena keluarga A cenderung menutup diri, tidak berinteraksi dengan warga sekitar dan berhenti melakukan aktivitas sosial kemasyarakatan. Keluarga A menerima beberapa stigma dan stereotip berupa celaan dan gunjingan pada masa awal sehingga itu membuat mereka menutup diri.
Keluarga besar A juga kurang memberi dukungan dan rangkulan. Namun dengan dukungan sosial yang terbentuk lambat laun keluarga A perlahan mampu bangkit, berusaha adaptif dan melakukan aktivitas sehari hari untuk keberlangsungan hidup terkait kebutuhan interaksi sosial dan kebutuhan ekonomi. Karena keterbatasan waktu penelitian mempersulit pembentukan rapor secara kontinu, pendalaman dinamika ketahanan keluarga A tidak dapat dilanjutkan secara lebih intens, sehingga peneliti mencukupkan pada tataran observasi dan pencarian informasi dari informan tahu (tetangga).
Hasil kedua terkait keluarga teroris X menunjukkan bahwa Ayah, Ibu dan kakak perempuan terduga teroris memiliki tingkat resiliensi keluarga yang kuat dalam menghadapi dinamika kehidupan saat salah satu anggota keluarganya tertangkap dan didakwa sebagai anggota jaringan teroris, mencakup pengelolaan yang baik pada dimensi-dimensi resiliensi keluarga yaitu dimensi sistem keyakinan, dimensi pola hubungan keluarga dan dimensi proses komunikasi.
Secara keseluruhan dari dua permasalahan tersebut di atas diperlukan solusi dalam hal penanganan masalah keluarga khususnya keluarga teroris. Pertama untuk kasus keluarga A akan lebih banyak mendorong instansi yang bergerak di bidang sosial dan kesejahteraan keluarga untuk lebih memperhatikan masalah kesejahteraan psikologis dari pendampingan psikologis oleh profesional secara kontinu.
Kedua kebijakan preventif perlu adanya pemberdayaan keluarga dan masyarakat untuk pencegahan kelompok-kelompok teroris baru dalam proses perekrutan anggota-anggota dan maraknya temuan-temuan jaringan teroris di Batang. (mzn)
Baca penelitian selengkapnya: Puslitbang Kemenag