Tidak terasa negara kita tercinta besok akan merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-76. Biasanya kampung-kampung menggelar lomba-lomba. Mulai dari lomba panjat pinang, lomba makan kerupuk, hingga lomba memecah air dengan mata ditutup. Lomba-lomba itu membuat kita ceria, dan beberapa di antaranya sering kali membuat kita tertawa.
Tahun ini kita disuruh puasa dari gegap gempita itu. Gusti Allah menakdirkan Covid-19 masih betah bersama kita, sehingga kita disuruh lebih banyak di rumah. Mungkin masih banyak yang menggelar lomba-lomba, utamanya di kampung-kampung, tetapi sudah pasti tidak sebanyak biasanya. Tidak semeriah biasanya.
Tidak mengapa bahwa kita tidak bisa Agustusan sebagaimana biasanya. Ulang tahun memang tidak harus dirayakan dengan penuh euforia. Kadang-kadang kita perlu menyepi dan berkontemplasi. Mengevaluasi apa yang selama ini kita kerjakan dan mematangkan rencana ke depan.
Saya sendiri selalu berusaha meningkatkan rasa syukur atas nikmat merdeka. Orang tua-orang tua saya berkisah bahwa hidup di masa penjajahan sungguh menderita. Saya, dan saya yakin juga kebanyakan kita, tidak pernah tahu semenderita apa mereka, tetapi saya sangat percaya.
Buku-buku sejarah juga bercerita demikian. Leluhur-leluhur kita bergerilya, jalan kaki melewati hutan, sungai, gunung. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan tidak sedikit di antara mereka yang gugur. Itu mereka lakukan demi kemerdekaan.
Kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan bersama. Perjuangan kaum muda, kaum tua, laki-laki, perempuan, orang Islam, Kristen, Hindu, Buda, dan seterusnya. Suku Jawa, Sunda, Madura, Batak, Minahasa, dan seterusnya.
Dan tanpa mengabaikan pejuang-pejuang lainnya, saya ingin mengenang nasionalisme kiai-kiai kita. Sebagaimana pejuang lainnya, jasa mereka dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat besar.
Mereka berjuang dari medan perang ke medan perang, mengungsi dari satu tempat ke tempat lain, hingga banyak yang gugur. Sebagian mereka, seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahid Hasyim, dan Kiai Abdul Wahab Hasbullah dikenang sebagai pahlawan nasional.
Sebagian lainnya, yang jumlahnya lebih banyak, tidak dikenal luas sebagai pahlawan. Bukan apa-apa, mereka sendiri memang tidak mau menerima penghargaan. Berperang melawan penjajah bagi mereka adalah panggilan hati. Landasannya adalah keikhlasan.
Setelah berjuang dan berhasil, mereka yang umumnya kiai pesantren dan pemimpin tarekat itu kembali ke pesantren mereka. Mengaji bersama santri-santrinya. Di mana-mana, khususnya di pesantren-pesantren yang sudah berdiri di zaman penjajahan, para kiainya umumnya adalah pejuang kemerdekaan.
Salah satu kiai pemilik semangat nasionalisme itu adalah Kiai Muslih Abdurrahman Mranggen. Tahun 1944 Kiai Muslih ikut latihan Hizbullah di Cibarusa bersama para ulama dari unsur Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, PSII, dan lai-lain. Ia waktu itu menjadi ketua regu yang salah satu anggotanya Kiai Abdullah Abbas Buntet.
Menurut Kiai Mustamid Abbas, kawan seperjuangan Kiai Muslih di Pesantren Tremas, wajah Kiai Muslih sangat mirip dengan Sentot Ali Basya, panglima perang Pangeran Diponegoro (Kiai Muslih Sang Penggerak dan Panutan Sejati, 2020: 95).
Sekembalinya dari Cibarusa, Kiai Muslih mengonsolidasikan Hizbullah Mranggen. Mranggen pada saat meletusnya pertempuran lima hari di Semarang masuk dalam koordinasi Markas Medan Tenggara (MMTG) Semarang menghubungkan Purwodadi dan sekitarnya. Menurut berbagai sumber, Pesantren Futuhiyyah asuhan Kiai Muslih waktu itu menjadi dapur umum para pejuang.
Suatu hari, cerita Kiai Cholil Luthfi Patebon Kendal, sekelompok tentara sowan kepada Kiai Muslih. “Mereka meminta doa kepada Kiai Muslih karena ada perempuan mata-mata Belanda yang kebal,” tutur Kiai Cholil. “Setelah didoakan oleh Kiai Muslih,” lanjutnya, “atas izin Allah perempuan itu dapat dilumpuhkan.”
Saat meletus peristiwa G30S/PKI tahun 1965, Kiai Muslih sering mengijazahkan amalan-amalan khusus kepada para santrinya. Menurut salah satu santrinya, Kiai Shodiq Hamzah, di antara khasiat doa-doa itu adalah bisa mengelabui penglihatan lawan serta melumpuhkan lawan dengan sekali pukulan. Para santri pun menjadi percaya diri dan tidak takut.
Selain Kiai Muslih, juga ada Kiai Subeki Parakan Temanggung. Mengenai Kiai Subeki ini, kita bisa membaca otobiografi KH. Saifuddin Zuhri, “Guruku Orang-Orang Dari Pesantren”. Diceritakan dengan sangat mengagumkan bahwa saat terjadi pertempuran antara rakyat Semarang melawan Sekutu (Inggris), Kiai Subeki memberi bekal berupa doa kepada pasukan Hizbullah dan Sabilillah.
“Sebelum mereka berangkat ke pertempuran, sambil berbaris dengan bambu runcingnya masing-masing, mereka diberkahi Kiai Subeki dengan doanya: Bismi Allahi, Ya Hafidzu, Allahu Akbar,” demikian tulis KH. Saifuddin Zuhri (2008: 337). Setelah mendapat doa dari Kiai Subeki, mereka memiliki kebulatan hati tak tergoyahkan dalam menuju pertempuran.
Lama-lama laskar dan TKR lain daerah yang hendak menuju pertempuran terlebih dahulu singgah ke Parakan untuk meminta doa kepada Kiai Subeki. Termasuk Panglima Besar Jenderal Sudirman. Kiai Subeki menangis karena merasa tidak pantas dimintai doa oleh begitu banyak orang, namun Kiai Wahid Hasyim membesarkan hatinya.
Tulisan ini mungkin akan menjadi sangat panjang bila saya tambah lagi dengan keteladanan-keteladanan dari Kiai Hasyim Asyari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Abbas Buntet, Kiai Zainal Mustafa, dan lain-lain. Memang ada banyak sekali kiai yang berjuang mewujudkan kemerdekaan.
Saya tidak ingin membuat tulisan ini menjadi panjang. Tetapi satu hal yang penting kita garis bawahi adalah bahwa kiai-kiai kita memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Dan nasionalisme mereka adalah nasionalisme yang tulus, berangkat dari hati, dan tanpa pamrih.
Kemerdekaan Indonesia yang kita peringati ini adalah buah dari perjuangan mereka setelah melalui tirakat panjang. Sekarang tinggal kita: Bagaimana mensyukurinya?