Lebih dari tiga puluh ribu hadirin memadati kompleks Pondok Pesantren Al-Hamidy, Banyuanyar, Pamekasan, pada Kamis (23/5), atau 18 Ramadan, persis sebulan yang lalu. Pelbagai rombongan dari Jawa, mulai Banyuwangi, Jember, Probolinggo hingga Kudus bahkan datang sejak sehari sebelumnya, 17 Ramadhan. Ribuan ulama, dan juga Wagub Jawa Timur Emil Dardak hadir dalam rangka haul ke-88 KH R. Abdul Hamid bin Itsbat, ulama Madura yang wafat di Mekah.
KH Abdul Hamid adalah putra kelima Kiai Itsbat, pendiri pondok pesantren Banyuanyar sekitar tahun 1204 H/1787 M. Nama ‘Banyuanyar’ sendiri pun berasal-muasal dari karamahnya. Dari kedelapan bersaudara, beliau satu-satunya yang wafat di Mekah, dan dimakamkan di pemakaman Ma’la, Mekah. Beliau wafat tahun 1352 H/1931 M, enam tahun setelah wafatnya Syaichona Kholil, atau lima tahun setelah berdirinya Nahdhatul Ulama (NU).
Secara nasab, Kiai Abdul Hamid bersambung hingga Rasulullah. Beliau merupakan keturunan ketujuh Kiai Muhammad Khatib bin Qasim, putra Sunan Ampel. Sedang Kiai Muhammad Khatib adalah suami Nyai Gede Kedaton, putri Panembahan Kulon, cucu Sunan Giri. Dengan demikian, Kiai Abdul Hamid memiliki dua jalur nasab kewalian Nusantara; Sunan Ampel dan Sunan Giri. Ia adalah satu dari sedikit waliyullah dari kota Pamekasan.
Kiai Abdul Hamid memiliki tujuh putra/i, yang tersebar di beberapa pesantren, yaitu Nyai Salma, Nyai Ruqayyah, Nyai Syafi‘ah, Kiai Abdul Majid, Kiai Baidhawi, Kiai Abdul Aziz, dan Nyai Juwairiyah. Dua terakhir berdomisili di Jember, tepatnya di Temporan dan Bulugading, Bangsalsari. Sementara Kiai Baidhawi menjadi pengasuh Pesantren Banyuanyar, Kiai Abdul Majid adhuko (hijrah) dan mendirikan Pesantren Mambaul Ulum, Bata-Bata.
Hari ini, Banyuanyar menjadi dua pesantren; Al-Hamidy, alias dhâlem tèmor, diasuh oleh Kiai Rofi‘i bin Baidhawi, serta Darul Ulum alias dhâlem bârâ’, yang sekarang diasuh Kiai Muhammad Syamsul Arifin, menantu Kiai Abdul Hamid Baqir bin Abdul Majid. Kiai Baqir ini merupakan salah satu ulama pejuang dalam jajaran NU, yang pernah mengasuh dua pesantren sesepuhnya sekaligus; Banyuanyar dan Bata-Bata, ketika Bata-Bata mengalami kekosongan kepemimpinan.
Alumni kedua pesantren sudah lebih dari lima puluh ribu, yang berasal dari pelbagai daerah, yang rata-rata datang sebab kekagumannya kepada Kiai Abdul Hamid. Itu di samping kenyataan bahwa beliau tidak hanya terkenal di Madura, tetapi juga di Mekah. Pesantren Banyuanyar dan Pesantren Bata-Bata menjadi ikon kekeramatan Kiai Abdul Hamid. Beberapa kisah hidupnya diceritakan kembali oleh pengasuh kedua pesantren.
Gus Thohir, putra Kiai Abdul Hamid Mahfuzh, pengasuh Pesantren Bata-Bata menceritakan, Kiai Abdul Hamid memiliki ketakwaan yang luar biasa. Tirakat berpuasa selama 45 tahun ditujukan untuk dua hal; kemuliaan keturunan dan santrinya. Saking takutnya kepada Allah, seorang santri yang pernah bermimpi beliau hanya dipesan satu hal, “Sènga’ sènga’, patako’ ka Allah (Ingat, ingat, takutlah kepada Allah).”
Pernah suatu kejadian, kata Gus Thohir, Kiai Abdul Hamid hendak melakukan tawaf. Sebagaimana lumrah, melakukan ibadah nusuk di tanah suci butuh perjuangan, harus rela berdesakan. Istimewanya, semua jemaah haji ketika itu menepikan diri, memberi jalan untuk Kiai Abdul Hamid bertawaf. Ketika wafat, semua toko di Mekah juga tutup, dan jenazahnya dihantarkan oleh semua penduduk Mekah ketika itu. Padahal mereka tidak mengenalnya.
Ketika telah lama wafat, kuburannya hendak dibongkar. Merupakan kebiasaan di Arab, setiap delapan bulan, kuburan digali dan diganti jenazah baru. Itu dilakukan karena di sana mengalami keterbatasan area pemakaman. Tak terkecuali kuburan Kiai Abdul Hamid di Ma’la. Namun sayangnya, ketika giliran kuburan beliau dibongkar, jenazahnya ditemukan bersujud. Penggaliannya pun tidak dilanjutkan, demi menghormati kewaliannya.
Pernah juga, Gus Thohir bercerita. Ketika Kiai Abdul Majid, pendiri Pesantren Bata-Bata, putra Kiai Abdul Hamid, menuntut ilmu di Mekah, seseorang bertanya, “Kamu anaknya Kiai Abdul Hamid?”
“Èngghi, lerres (Iya, benar),” jawab Kiai Abdul Majid.
“Kamu tidak pantas jadi anaknya!” sahut orang tersebut.
Atas kejadian itu, konon Kiai Majid bersumpah di depan Ka‘bah, “Wallahi, sèngko’ ta’ bhâkal molè lamon ta’ kala bisa morok orèng sa-Madhurâ (Wallahi, saya tidak akan pulang sebelum mampu mengajari orang se-Madura).”
Sumpah tersebut menjadi nyata. Kiai Abdul Majid menjadi pakar ilmu fikih, dan menjadi rujukan setiap permasalahan orang Madura. Maka dikenallah dawuh Kiai Majid yang berbahasa Arab:“Al-hamd li Allâh. Kullu masâ’il al-fiqh fî Madûrâ yarji‘u ilaynâ (Segala puji bagi Allah. Segala persoalan fikih di Madura kembali kepada kami).”
Selain itu, Kiai Rofi‘i Baidhawi, pengasuh Pesantren Al-Hamidy saat ini, cucu Kiai Abdul Hamid, pernah juga bercerita sambil terisak. Itu disampaikan dalam haul tahun lalu. Agar lebih mudah, saya sampaikan langsung dalam bahasa Indonesia, tanpa bahasa Madura.
“Ada seorang ulama bertanya kepada saya di Mekah,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca. “Saya melihat orang sudah sepuh bertawaf setiap sore di Ka‘bah. Itu siapa? Dia pun memberitahu ciri-cirinya. Lalu saya bilang ke orang tersebut, ‘Benar, itu kakek saya’ (Kiai Abdul Hamid, red.).”
Kiai Abdul Hamid wafat dan dimakamkan di Ma’la, Mekah, tetapi kisahnya selalu hidup di mata para santrinya. Cerita hidup sang waliyullah tersebut tidak pernah mati, dan diceritakan kembali setiap haul di Banyuanyar. Setiap tahun, yang menghadiri haul beliau tidak pernah surut, menjadi ikon kekeramatannya. Sedangkan haul putra beliau, Kiai Majid, di Bata-Bata, selisih 25 hari, yakni 7 Syawal, setelah lebaran ketupat.
Setelah Kiai Zaini Zuhri, pengasuh Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo memimpin pembacaan Yasin dan dan Kiai Abdussalam Mujib dari Pesantren Al-Khozini Sidoarjo memimpin tahlil, haul ke-88 Kiai Abdul Hamid ditutup dengan doa dari beberapa ulama; Kiai Ahmad Asnawi, pengasuh Pesantren Qudsiyyah Kudus, Kiai Kholil As‘ad, pengasuh Pesantren Walisongo Situbondo, dan Habib Ubaidillah al-Habsy, Surabaya.