Kisah tentang turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad di Goa Hira merupakan persoalan akidah yang penting. Nilai pentingnya persoalan ini setidaknya bisa dilihat dari perhatian Bukhari yang menempatkan masalah ini di bab pertama dari kitab Sahih-nya tentang keimanan. Ketika meriwayatkan kisah ini, baik Bukhari maupun Muslim sama-sama menyandarkan riwayat mereka pada satu sumber, yakni Aisyah ra., istri Nabi.
Dalam kisah itu disebutkan secara lugas bahwa Nabi merasa galau ketika mendapatkan wahyu pertama setelah menyepi dan melakukan perenungan selama beberapa malam di Goa Hira, karena ia mendengar seseorang berbisik kepadanya. Orang itu memperkenalkan diri sebagai Jibril, ruh yang dapat dipercaya (ruhul al-Amin). Nabi pun tak percaya dengan pengalamannya itu.
Maka sesampainya di rumah, ia mengadu kepada istrinya, Khadijah, dan menceritakan semua apa yang dialami. Karena pengertian dan kepercayaan yang ditunjukkan oleh Khadijah terhadap kejujuran Nabi, maka secara perlahan-lahan tumbuh keyakinan dalam diri Nabi sendiri bahwa bisikan yang di dengarnya itu adalah Jibril.
Melalui cerita ini, Khadijah adalah satu-satunya orang yang dipercaya Nabi Muhammad untuk berbagi pengalaman yang luar biasa itu. Khadijah pula satu-satunya yang berhasil menghalau kegalauan Nabi Muhammad sekaligus meyakinkan kebenaran pengalaman itu seraya menyebutkan keunggulan-keunggulan pribadi Nabi Muhammad yang membuatnya pantas menerima wahyu.
Khadijah ini pula yang berinisiatif untuk mengkonfirmasikan pengalaman keagamaan tersebut kepada sepupunya, seorang ahli kitab terpandang di lingkungan masyarakat Mekkah, Waraqah bin Naufal, yang kemudian secara meyakinkan berhasil membawa Nabi Muhammad kepada kebenaran wahyu yang diterimanya.
Dalam penuturan Aisyah, istri Nabi yang menggantikan peran Khadijah di kemudian hari, kesungguhan Khadijah untuk meyakinkan Nabi dan pada saat yang sama meyakini kejujuran
dari pengalaman Nabi Muhammad ini di kemudian hari menjadi kekuatan yang sangat berarti bagi Muhammad dalam mengemban tugas-tugas kenabiannya. Menurut Aisyah pula, secara jujur, Nabi Muhammad merasakan bahwa peran Khadijah pada saat-saat penting tidak dapat dilupakan seumur hidupnya, bahkan ketika Khadijah telah bertahun-tahun meninggal.
Kisah mengenai hubungan antara Nabi Muhammad dan Khadijah dalam pengalaman pewahyuan untuk pertama kalinya ini menyiratkan suatu arti penting, bahwa perempuan bisa bertindak arif, rasional, tenang, dan sekaligus memberikan keteduhan dalam situasi yang sangat kritis. Yaitu, pada saat laki-laki membutuhkan legitimasi dari luar dirinya atas sesuatu yang dialaminya dan sesuatu yang harus diperbuatnya. Kisah ini juga mengisyaratkan suatu bukti yang menepis streotip perempuan sebagai manusia yang selalu bertindak secara emosional dan berpikiran pendek,
Sumber: diambil dari tulisan Badriyah Fayumi dan Alai Najib, dalam buku “Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, Penerbit Gramedia, Jakarta, 2002, hlm. 63-65