Para sarjana berbeda pendapat tentang kapan pesantren pertama kali berdiri di Indonesia. Sebagian mengatakan pesantren sudah ada sejak awal abad ke-16, namun pada kenyataannya tidak ditemukan data yang menjelaskan bentuk pondok pesantren pada masa itu secara utuh.

Sebagian lagi, di antaranya Martin van Bruinessen, kemudian berpendapat bahwa pesantren tertua dalam artian ada bukti fisiknya adalah Pesantren Tegalsari Ponorogo yang didirikan oleh Kiai Agung Muhammad Besari pada 1742.

Kiai Agung Muhammad Besari adalah seorang ulama yang berasal dari Caruban Madiun. Ayahnya bernama Kiai Anom Besari. Kiai Agung Besari mempunyai sembilan orang anak dan salah satunya, Zainal Abidin, diambil menantu oleh Raja Selarong Malaysia.

Saat muda, beliau bersama adiknya, Nur Shadiq, berguru kepada Kiai Danapura, seorang ulama besar yang tinggal di sebelah tenggara kota Ponorogo. Nama yang terakhir disebut adalah salah satu keturunan Sunan Tembayat. Kepada Kiai Danapura Kiai Agung Besari belajar selama empat tahun.

Takdir membawa Kiai Agung Besari bertemu dengan salah seorang kiai bernama Nur Salim yang kemudian mengambilnya sebagai menantu. Setelah menikah beliau memboyong istrinya ke pesantren Kiai Danapura dan tinggal di sana selama satu tahun. Oleh Kiai Danapura mereka kemudian disarankan untuk membuka tanah di sebuah daerah yang kelak dikenal dengan nama “Tegalsari”.

Menurut kesaksian Fokkens, sebagaimana dituliskan Aziz Masyhuri (2020) pada tahun 1742 ketika Susuhunan Paku Buwono II menghadapi perang pemberontakan orang-orang China-Jawa dan perlawanan Mas Garendi, di Ponorogo, tepatnya di Tegalsari, tinggallah seorang ulama besar bernama Kiai Agung Muhammad Besari. Bertahun-tahun beliau tinggal menyendiri dan mengasingkan diri di daerah yang terletak di kaki Gunung Wilis tersebut.

Kiai Agung Besari dikenal sangat sakti karena berhasil mengalahkan semua ilmu mistik yang dikuasai para “warok”, pemimpin “Reog Ponorogo”. Sejak itu nama Kiai Agung Besari semakin masyhur. Dia mengajarkan cara membaca Al-Qur’an dan beberapa kitab kuning.  Lambat laun semakin banyak yang ingin belajar kepadanya sehingga tempat pertapaannya kemudian berkembang menjadi desa Tegalsari.

Sebuah masjid kemudian dibangun dikelilingi pondok-pondok kecil untuk tinggal sementara. Sejak itu pelajaran bahasa Arab mulai diajarkan di pesantren itu di bawah asuhan langsung Kiai Agung Muhammad Besari.

Ada beberapa kitab peninggalan yang masih tersisa di Tegalsari, yaitu tiga jilid fikih Syarh Fathul Muin karya Zainuddin Al-Malibari dan satu bendel kitab tua yang merupakan kumpulan dari kitab Al-Jauhar As-Samin li Ummu Al-Barahin, Al-Mimhati, Jauhar At-Tauhid dan kitab tajwid yang tidak lengkap.

Selain itu juga ada satu bendel kitab yang sampulnya terbuat dari kulit dan sudah hancur dengan memakai kertas gedok dari Tegalsari. Dalam kitab tersebut ditemukan kitab fikih yang tidak lengkap berjudul Al-Muharrar karya Abu Al-Qasim Ar-Rafi (w. 1226). Selain Al-Muharrar juga terdapat penggalan Fath Al-Wahhab karya Zakariya Al-Anshari (w. 1277).

Pondok Pesantren Tegalsari asuhan Kiai Agung Besari merupakan cikal bakal pesantren dengan sistem dan kurikulum pendidikan, serta pengelolaan pesantren seperti yang dikembangkan oleh pesantren-pesantren di tanah Jawa saat ini. “Hal ini,” kata Kiai Aziz Masyhuri “karena Pesantren Tegalsari pada dasarnya merupakan pondokan atau zawiyah untuk mempelajari tasawuf sekaligus sebagai basis pengembangan tarekat tertentu.”

Ketokohan Kiai Ageng Muhammad Besari bukan hanya diakui oleh kalangan masyarakat bawah, tetapi juga oleh para pembesar kerajaan. Pada saat kekuasaan Paku Buwono II yang bekerja sama dengan Belanda berhasil direbut Mas Garendi beserta para pengikutnya dan berhasil menguasai istana Kartasura, Solo, Paku Buwono II yang ditemani Tumenggung Wiratirta melarikan diri ke Madiun.

Di tengah pelarian itu, konon pada tengah malam Paku Buwono II mendengar suara gemuruh seperti lebah yang tengah terbang keliling. Ketika bertanya kepada Tumenggung Wiratirta apakah itu benar suara lebah, yang ditanya menjawab, “Itu bukan suara gerombolan lebah, melainkan suara Kiai Ageng Besari dan muridnya yang tengah berzikir.”

Paku Buwono II kemudian mengajak Tumenggung Wiratirta untuk menemui Kiai Ageng Muhammad Besari. Di sana ia meminta Kiai Ageng Besari untuk membantu merebut kembali kerajaannya yang telah dirampas.

Jika kelak Paku Buwono II berhasil merebut kembali tahta istana Kartasura, maka ia akan memberikan hadiah khusus kepada Kiai Agung Muhammad Besari yaitu menjadikan daerah Tegalsari sebagai daerah perdikan, yaitu daerah yang dibebaskan dari pajak.

Pakubowono II, menurut sumber “Babad Diponegoro”, bahkan menawarkan jabatan bupati di Ponorogo kepada Kiai Agung Muhammad Besari. Namun yang ditawari tidak berkenan dan lebih memilih tanah perdikan.

Pada akhirnya Tegalsari benar-benar menjadi tanah perdikan. Setelah menjadi tanah perdikan, Tegalsari menjadi daerah yang kian terkenal dan penduduknya menjadi semakin banyak.

Informasi lainnya juga menyebutkan bahwa Kiai Agung Muhammad Besari sempat diangkat menjadi seorang penghulu oleh Paku Buwono II.

Pada tahun 1773, ketika pesantren Tegalsari mulai berdiri kokoh, berkembang, dan banyak santri berdatangan dari berbagai daerah, Kiai Agung Muhammad Besari wafat. Pesantren diteruskan keturunannya dan konon mencapai puncak keemasannya pada masa Kiai Hasan Besari (1800-1862). Wallahu a’lam bis shawab wa al-khata’.

Leave a Response