Usai subuh, saya punya kebiasaan “ngaji” dengan Kiai Aniq Muhammadun. Beliau memiliki “balahan” (kitab yang dibaca secara rutin) setiap pagi, yaitu Syarah Ibn ‘Aqil. Ini adalah kitab yang amat populer di seluruh dunia Islam, tidak saja di Indonesia. Kitab yang merupakan syarah atau komentar/penjelasan atas kitab Alfiyyah Ibn Malik ini banyak diajarkan di pesantren-pesantren tradisional NU di seluruh Jawa dan luar Jawa.
Kiai Aniq membaca kitab ini setiap pagi, mulai pukul 5 pagi hingga kira-kira pukul 6. Saya beruntung sekali karena pengajiaj Kiai Aniq ini disiarkan secara online melalui kanal Pondok Pondok Pesantren Mamba’ul Ulum di Facebook.
Dulu, ketika masih di kampung, saya pernah ngaji kitab ini dengan ayah saya, Kiai Abdullah Rifa’i. Ketika ngaji kembali kitab ini dengan Kiai Aniq, saya selalu teringat ayah saya dulu. Kiai Aniq adalah adik ipar ayah saya. Mereka berguru kepada kiai yang sama, yaitu kakek saya bernama Kiai Muhammadun, seorang yang amat alim dari desa Pondohan, Tayu, Pati. Ketika Syekh Yasin al-Fadani (ulama ahli hadis yang masyhur dari Mekah) menghadiri Muktamar NU di Semarang pada 1979, beliau menyempatkan mampir di rumah kakek saya itu.
Siapakah Kiai Aniq Muhammadun? Beliau adalah salah satu putera dari Kiai Muhammadun yang sudah saya sebut di atas. Kiai Muhammadun memiliki sejumlah putera-puteri (sepuluh jumlahnya); salah satunya adalah Nyai Salamah, yaitu ibu atau “emak” saya. Kiai Aniq adalah adik kandung Nyai Salamah. Dengan kata lain, Kiai Aniq adalah paman saya dari pihak ibu. Sementara itu, ayah saya, yaitu Kiai Abdullah Rifa’i (ia berasal dari desa Bugel, Pecangaan, Jepara, dan pendiri Pondok Mansajul Ulum) adalah salah satu santri dari Kiai Muhammadun.
Salah satu tradisi yang umum di kalangan para kiai adalah menjadikan salah satu santri yang dianggap “alim” sebagai menantu. Ini juga terjadi pada ayahanda Gus Mus, yaitu Kiai Bisri Mustofa yang diambil sebagai menantu oleh gurunya, yaitu Kiai Kholil Kasingan, Rembang. Sekedar informasi sampingan: Kiai Kholil adalah salah satu guru dari Kiai Aqil Kempek, Cirebon, ayahanda dari Kiai Said Aqil Siradj (Ketum PBNU yang lalu).
Saya menganggap bahwa selain para santri lain yang jumlahnya ribuan, salah satu pewaris ilmu Kiai Muhammadun adalah dua sosok yang sangat dekat dengan saya, yaitu ayah sendiri dan Kiai Aniq. Ketika ayah saya sudah wafat, kini hanya tersisa Kiai Aniq sebagai pelanjut “warisan intelektual” Kiai Muhammadun. Ketika “ngaji” dengan Kiai Aniq secara online, saya meniatkannya sebagai cara untuk mengenang dan menghormati ayah saya, sekaligus sebagai upaya saya untuk mengikatkan kembali dengan warisan Kiai Muhammadun.
Selain Syarah Ibn Aqil, saya juga mengikuti pengajian kitab Ihya’ yang dibaca oleh Kiai Aniq setiap sore, dari pukul 5 hingga menjelang Maghrib. Ada kitab-kitab lain yang dibaca oleh Kiai Aniq, seperti Shahih Bukhari, Fathul Mu’in, Tafsir Munir, Kanz al-Raghibin (syarah atas Minhaj al-Thalibin karya Imam Nawawi), Rawa’i’ al-Bayan karya al-Shabuni, dll. Semunya saya ikuti, walau “dang-thek” (tidak rutin). Tetapi untuk Syarah Ibn Aqil dan Ihya’, saya berusaha sebisa mungkin mengikutinya secara rutin.
Jika ketinggalan karena suagu kesibukan, biasanya saya akan mendengarkan ulang di kesempatan lain. Dalam istilah santri, kegiatan ngaji ulang ini disebut “nembel”, seperti menembel ban yang bocor. Sebab, saat seorang santri ketinggalan ngaji, sejatinya ia seperti ban yang bocor.
Salah satu keunggulan ngaji dengan Kiai Aniq adalah penguasannya yang amat mendalam atas ilmu nahwu dan sharaf (Arabic grammar). Ini adalah takhassus atau spesialisasi yang merupakan warisan dari Kiai Muhammadun. Warisan ini juga diteruskan, dulu, oleh ayah saya, Kiai Abdullah Rifa’i.
Kecintaan saya atas ilmu nahwu dan sharaf, dan bahasa Arab secara umum, saya peroleh dari ayah saya; ayah saya dari kakek saya. Yang menarik, baik kakek saya menimba keahlian dalam ilmu nahwu ini dari Kiai Kholil Kasingan, kakek dari Gus Mus. Memang, ilmu para kiai cenderung “muter-uwer-uwer” di sekitar sumber yang sama.
Kiai Aniq dikenal sebagai kiai yang amat amat disiplin. Walau beliau sibuk di NU dan kegiatan sosial yang lain, beliau berusaha untuk tetap rutin ngaji setiap hari. Ngaji dan mengajar adalah “passion” dan dedikasi yang tiada bandingannya bagi Kiai Aniq.
Sosok-sosok seperti Kiai Aniq Muhammadun inilah (umumnya mereka tinggal di kampung-kampung) yang memungkinkan NU dan tradisi Islam nusantara yang amat penuh rahmat itu tetap tegak. Mereka ini, bagi saya, juga tulang-punggung dan sekaligus soko-guru Indonesia. Melalui mereka inilah cinta tanah air dan NKRI disemai dengan adonan ajaran ahlussunnah wal jama’ah.
Sekian.