Pada suatu malam, setelah rampung sholat maghrib, Abdullah bin Muhammad bin A’isyah kembali pulang ke rumahnya. Di tengah-tengah perjalanan, terdapat seorang anak muda dari kalangan suku Quraisy sedang mabuk.

Pemuda itu memegang tangan seorang gadis dan menariknya. Gadis itu lalu berteriak minta tolong. Orang-orang pun datang dan berkumpul lalu memukuli pemuda itu sampai babak-belur.

Melihat kejadian itu, Ibnu A’isyah memperhatikan pemuda itu dengan seksama. Ternyata, ia mengenali wajah pemuda Quraisy itu. Ia pun kemudian berteriak kepada orang-orang, “Menyingkirlah kalian dari putra saudaraku!” Setelah orang-orang pergi, lalu ia berkata kepada pemuda itu, “Kesinilah, keponakanku!”

Mendengar panggilan penuh kasih-sayang, pemuda itu menjadi malu. Ia tidak berani mendekat. Maka mendekatlah Syeikh Ibnu A’isyah. Sambil merapatkan tubuhnya pada pemuda itu, ia berujar, “Ikutlah bersamaku, nak.”

Seperti kerbau dicokok hidungnya, pemuda itu pun ikut saja bersama Syeikh Ibnu A’isyah. Sesampainya di rumah, Ibnu A’isyah memasukkan pemuda itu ke rumah dan menyerahkannya pada pelayan seraya berpesan, “Aku titipkan anak muda ini kepadamu malam ini. Jika ia telah sadar dari mabuknya, beritahukan apa yang telah terjadi padanya.”

“Jangan biarkan ia pergi hingga engkau datang kepadaku bersamanya”, tegas Syeikh Ibnu A’isyah.

Setelah pemuda itu siuman, pelayan menceritakan apa yang telah terjadi padanya. Pemuda itu menjadi malu dan menangis. Ia berniat hendak pulang begitu saja. Tetapi, pelayan itu mencegahnya dan berkata, “Syeikh Ibnu A’isyah telah memerintahkanku agar engkau menemuinya.”

Pelayan kemudian menyowankan pemuda Quraisy itu kepada Syeikh Ibnu A’isyah. Setelah mempersilahkan pemuda itu, Syeikh Ibnu A’isyah bertanya penuh selidik, “Tidakkah engkau malu terhadap dirimu, nak?”

“Engkau terlahir dari suku Quraisy. Tidakkah engkau malu pada kemuliaan nasabmu itu?”

“Tidakkah engkau tahu siapa yang melahirkanmu?”

“Takutlah engkau kepada Allah. Lepaskanlah dirimu dari kubangan lembah hitam yang selama ini engkau ada di dalamnya.”

Dicecar dengan pertanyaan yang datang bertubi-tubi, pemuda Quraisy itu hanya bisa menangis sambil merundukkan kepalanya. Baru beberapa saat kemudian, ia mengangkat kepalanya lalu berkata,

“Wahai Syeikh, Aku berjanji kepada Allah ta’ala yang akan menanyaiku di hari kiamat kelak. Aku sungguh tidak akan mengulangi lagi kebiasaan meminum minuman yang memabukkan. Dan tidak pula akan kembali pada lembah hitam yang selama ini aku ada di dalamnya.”

“Kini sungguh aku bertaubat”, tegasnya.

Setelah mendengar pertaubatan pemuda itu, Syeikh Ibnu A’isyah berkata penuh haru, “Mendekatlah kepadaku, nak.”

Dengan penuh kasih-sayang, Syeikh Ibnu A’isyah mencium kepala pemuda Quraisy itu seraya berucap, “Bagus, Anakku. Kamu telah mengambil keputusan yang cerdas”

Sejak saat itu, pemuda Quraisy tersebut tidak pernah meninggalkan majlis Syeikh Ibnu A’isyah. Ia senantiasa menulis hadits darinya. Semua itu berkat sikap welas-asih Syeikh Ibnu A’isyah. Syeikh kemudian berpesan kepada kita semua,

”Sesungguhnya semua orang mengajak kepada kebaikan (ma’ruf) dan mencegah kemungkaran, akan tetapi kebaikan yang mereka anjurkan itu justru diingkari. Oleh karena itu, berbelas-kasihlah dalam segala urusan kalian, niscaya kalian menperoleh apa yang kalian cari.”

Sumber: Diceritakan oleh Muhammad bin Zakariya al-Ghulabi (Ulama ahli Hadits dari Kota Bashrah) dalam “Ihya’ Ulumiddin” karya Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazaliy.

Artikel ini juga tersedia dalam Bahasa Inggris

Artikel ini juga tersedia dalam bahasa:
English

Leave a Response