Kiai Muslih Mranggen tercatat pernah membacakan kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid di hadapan para santrinya. Kitab yang berisi pandangan-pandangan fiqhiyyah para ulama mazhab berikut istidlal mereka itu disampaikan oleh Kiai Muslih lengkap dengan makna gandulnya. Santri Kiai Muslih yang memiliki salinan makna gandul kitab Bidayatul Mujtahid dari Kiai Muslih adalah Kiai Shodiq Hamzah Kaligawe.
Kiai Muslih Mranggen mengkaji kitab fiqh perbandingan mazhab di lingkungan pesantren sebelum tahun 1980 tentu saja unik. Hal ini dikarenakan selama ini kitab-kitab fiqh yang diajarkan di pondok pesantren adalah kitab fiqh mazhab Syafiiyyah. Lebih menariknya lagi Kiai Muslih di dalam mengkaji kitab Bidayatul Mujtahid tidak dilakukan sepotong-potong melainkan dikaji dari awal juz satu sampai akhir juz dua.
Untuk mengkhatamkan kitab Bidayatul Mujtahid di Pondok Pesantren Futuhiyyah pada waktu itu memerlukan 2 tahun lamanya. Kiai Muslih mengajarkan kitab Bidayatul Mujtahid hanya sekali selama hayatnya dan itu pun dilakukan beliau saat mulai memasuki usia uzur.
Selama mengkhatamkan kitab Bidayatul Mujtahid beliau sempat jatuh sakit dan digantikan menantu beliau yang bernama Syekh Abdurrohman (Syekh Dur). Namun bagian kitab Bidayatul Mujtahid yang sempat dibacakan Syekh Dur itu diulang kembali oleh Kiai Muslih ketika beliau pulih dari sakit.
Inilah salah satu keistimewaan Kiai Muslih di dalam mengajarkan kitab kepada para santrinya. Supaya santrinya menerima transmisi ilmu langsung dari gurunya secara penuh, Kiai Muslih akan mengulang kembali pokok bahasan kitab kuning yang sudah disampaikan badal (pengganti) beliau. Tentu pengalaman seperti ini jarang ditemukan di tempat lain, di mana biasanya jika kiai sedang sakit diliburkan dan digantikan ngajinya oleh badalnya dan tidak diulang kembali oleh kiai utamanya.
Kiai Muslih terkenal sebagai ulama yang sangat hati-hati dan memiliki totalitas dalam mengajar. Sebagai ulama besar yang tentunya mampu membaca kitab tanpa arti kata (kosongan) Kiai Muslih tidak mau mengajarkan kitab terkecuali terlebih dulu ditelaah dengan memberi makna gandul pada kitab yang akan diajarkan kepada para santrinya. Termasuk sebelum beliau mengajarkan kitab Bidayatul Mujtahid.
Sebagaimana dituturkan salah satu santri beliau, Kiai Abdul Basyir Hamzah, sebelum Kitab Bidayatul Mujtahid dibalah di hadapan santrinya beliau meluangkan waktu khusus untuk memaknai kata per kata kitab perbandingan mazhab itu selama dua bulan lamanya. Kitab Bidayatul Mujtahid “dikeloni” Kiai Muslih dari bulan Syawal sampai Dzul Qa’dah dan baru diajarkan kepada santrinya terhitung mulai bulan Dzul Hijjah.
Kitab Bidayatul Mujtahid yang dikarang oleh Ibn Rusyd al-Qurthubi dan terkenal dengan gramatikal rumit mampu disampaikan oleh Kiai Muslih dengan mudah dan sempurna kepada santrinya. Kitab ini adalah salah satu dari dua kitab (satunya adalah kitab Uqudul Juman karya as-Suyuthi) yang diajarkan Kiai Muslih kepada santrinya tanpa ada sanadnya. Selebihnya kitab yang diajarkan Kiai Muslih merupakan kitab yang bersanad sampai kepada pengarangnya.
Kitab Bidayatul Mujtahid berhasil disampaikan tuntas dan khatam oleh Kiai Muslih tepat dua tahun sebelum beliau berangkat haji yang terakhir dan wafat di Makkah. Informasi ini dihimpun dari penjelasan Kiai Abdul Basyir Hamzah yang merupakan sang guru dari penulis sendiri.