Kitab al-Ajurumiyyah atau yang dikenal dengan kitab Jurumiyyah hampir dipastikan digunakan oleh pesantren di Indonesia kebanyakan menggunakan kitab tersebut. Kitab ini mempelajari kaidah-kaidah dasar ilmu Nahwu.

Untuk mempermudah dalam mempelajari kitab tersebut, Dr. KH. Ach. Muhyiddin Khatib, M.H.I. menyusun kitab yang berjudul al-Amtsilah `ala Syarh al-Ajurumiyyah (Contoh-contoh penjelasan kitab Al-Ajurumiyah/Jurumiyah). Ia merupakan seorang dosen pascasarjana universitas Ibrahimy dan Ma`had Aly Salafiyah Syafi`iyah Situbondo.

Kiai Muhyiddin menyusun kitab tersebut karena berlandaskan beberapa hal. Pertama, atas kepentingan pribadinya ngalap (mencari) berkah dari dua imam besar, yaitu Imam Ash-Shanhaji pengarang matan Al-Ajurumiyah dan Imam Ahmad Zaini Dahlan sebagai pengarang syarh Al-Ajurumiyah.

Kedua, terdapat kesimpulan bahwa kitab ini sangat besar manfaatnya dan diakui oleh dunia. Para santri dan orang-orang yang belajar bahasa Arab pada umumnya belum dirasa cukup jika tidak mempelajari kitab al-AAjurumiyyah ini. Berangkat dari pengalaman pribadi, Kiai Muhyiddin menyimpulkan bahwa kitab ini sangat miskin contohnya namun kaya teori dan kaidahnya.

Memang benar pernyataan beliau terkait kitab al-Ajurumiyyah yang sedikit sekali contohnya yang hanya mengungkapkan kata قام زيد جلس زيد ضرب زيد عمروا dan lain sebagainya. Ini membuat para pelajar khusunya yang mendalami ilmu nahwu terdoktrin dengan artis Nahwu seperti Zaid, `Amr, Bakar, Hindun.

Selain itu, Kiai Muhyidin juga ingin melakukan tadhhir (menampakkan) bahwa Al-Qur`an dan Hadits merupakan sumber gramatikal Arab. Di samping itu, ada dua metode dalam kitab karangannya yaitu metode al-bayan dan al-mahfudzat.

Kitab matan al-Ajurumiyyah yang di-syarahi pula oleh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dengan judul Mukhtasar Jiddan sudah cukup mudah untuk dipahami dan dipelajari. Apalagi masih diberikan tambahan penjelasan oleh KH. Ach. Muhyiddin Khatib.

Kata al-Amtsilah artinya beberapa contoh, sedangkan al-Ajurumiyyah adalah kitab nahwu yang sebagian besar banyak dikaji di beberapa pondok pesantren pada umumnya. Bahasa dan susunan redaksinya yang mudah, menjadi pilihan utama para santri untuk mendalami ilmu Nahwu dasar.

Di samping itu, pemahamannya tidak berbelit-belit, tidak ada perbedaan pendapat, dan langsung pada inti pembahasannya yaitu kaidah dan contoh. Wajar jika kitab ini menjadi tangga pertama para santri mendalami kitab kuning, sebab ini menjadi bukti nyata dari kisah Syekh Ahmad Ash-Shanhaji membuang karyanya.

Konon–ada beberapa versi pendapat—pada isaat Ash-Shanhaji membuang kitabnya ke laut. Ia mengatakan, “Kalau kitab ini nanti akan memberikan banyak manfaat, dia pasti akan kembali.” Masyaallah, ketika ia pulang, kitab itu sudah ada di meja belajarnya.

Versi lain mengatakan, Imam Ash-Shanhaji menulis kitab ini di hadapan Ka`bah dan ketika dilemparkan ke laut ia berkata, “Jika kitab ini saya tulis atas dasar keikhlasan dan mengharap ridha Allah SWT, maka tidak akan basah”. Pendapat ini diutarakan oleh Imam Ahmad Zaini Dahlan.

Perihal penamaan kitab al-Ajurumiyyah, masih silang pendapat, apakah beliau memberikan judul kitab itu atau tidak. Tapi, sudah maklum menisbatkannya kepada beliau dengan sebutan Matan al-Ajurumiyyah.

Menurut Hayif An-Nabhan yang melakukan tahqiq kitab al-Ajurumiyyah, judul itu merupakan serapan dari bahasa Inggris grammar (tata bahasa). Jalaluddin As-Suyuthi menyebutkan bahwa kitab ini disususn dengan metode madzhab Kufah, yaitu cirinya menggunakan istilah khafadh, bukan jar.

Setelah diamati, ternyata ada delapan metode Imam Ash-Shanhaji dalam mengarang kitab Al-Ajurumiyyah/Jurumiyyah, sehingga kitab ini mudah dipelajari oleh para pemula.

Pertama, pada setiap bab pembahasan, beliau selalu mendahulukan defisini.

Kedua, mengklasifikasin setiap bab-babnya, baru menjelaskan jenis-jenisnya.

Ketiga, memberikan contoh-contoh pada bagian-bagian yang telah disebutkan.

Keempat, salah satu keanehan kitab ini, tidak menyebutkan mukaddimah dan tujuan dari pada penulisan kitab.

Kelima, tidak mencantumkan bab-bab tertentu dengan maksud meringkas isi kitab.

Keenam, tidak ada dalil-dalil pendukung baik berupa syair maupun uraian secara gramatikal bahasa Arab.

Ketujuh, mengemukakan pendapat yang kuat tanpa menukil langsung dari suatu kitab maupun imam tertentu.

Kedelapan, penjelasan maupun pembahasannya sangat ringkas.

Banyak para ulama terkemuka yang mensyarahi kitab ini, baik dalam bentuk i`rab maupun menjadikannya syair. Kurang lebih jumlah syarah (penjelas) al-Ajurumiyyah mencapai seratus (100).

Adapun beberapa syarahnya yang masyhur, antara lain mukhtashar jiddan karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, al-`Asymawi `ala Matn al-Ajurumiyyah karya Imam Al-`asymawi, ad-Durrah an-Nahwiyyah fi Syarh al-Ajurumiyyah karya Imam Abu Ya`la, dan ad-Durrah al-Bahiyyah `ala Muqaddimah al-Ajurumiyyah karya Muhammad ibn Umar bin Abdul Qadir.

Sedangkan dalam bentuk i`rab, di antaranya ada I’rab al-Ajurumiyyah karya Khalid bin Abdullah Al-Azhari dan al-Fawaid as-Saniyah fi I`rab Amtsilah al-Ajurumiyyah karya Najmuddin bin Muhammad bin Yahya Al-Halabi.

Di samping itu, karya monumental ini melahirkan sebuah karya lain yaitu Nadhm al-Imrithi karya Syekh Al-Imrithi dan ad-Durrah al- Burhaniyyah fi Nadhm al-Ajurumiyyah karya Burhanuddin Ibrahim al-Kurdi.

Jika untuk memahami bahasa Inggris diperlukan ilmu grammar, maka untuk memahami bahasa arab diperlukan ilmu Nahwu dan Sharaf. Kedua ilmu ini menjelaskan tentang bagaimana untuk bisa membaca bahasa Arab yang tidak ada harakatnya, terutama kitab kuning yang menjadi ciri khas pembelajaran di pondok pesantren.

Bahkan, apabila dianalisa secara seksama memahami ilmu Nahwu dan Sharaf menjadi syarat utama untuk menjadi seorang ulama atau mujtahid (ahli menggali dan merumuskan hukum Islam).

Teringat dengan pernyataan ulama ahli fikih asal Jawa Timur K.H. Afifuddin Muhajir:

“Kemampuan di bidang Nahwu dan Sharaf menjadi syarat ke-ulama-an (menjadi ulama). Ini berarti bahwa jika seseorang tidak memiliki kemampuan Nahwu dan Sharaf, maka dipastikan dia tidak bisa menjadi ulama (ahli agama), dan jika seseorang memiliki kemampuan tersebut, tidak pasti dia jadi ulama atau tidak.”

Ini juga selaras dengan kaidah ushul fikih miliknya:

الشَّرْطُ مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ العَدَمُ وَلَا يَلَزْمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدٌ وَ لَا عَدَمٌ

“Syarat adalah sesuatu yang jika ia tidak ada, maka hukum dipastikan tidak ada. Dan jika ia ada, maka tidak bisa dipastikan hukum itu ada atau tidak ada.”

Lain halnya kaidah fikih sebelumnya, K.H. Dhofir Munawwar –Ayahanda dari K.H.R. Achmad Azaim Ibrahimy pengasuh Pon-Pes Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo—mengarang sebuah syair yang sering kali dibaca sebelum memulai pelajaran kitab kuning.

Dalam syair tersebut, beliau mengatakan, “Ilmu Nahwu dan ilmu Fikih adalah perhiasannya para pemuda, siapa yang tidak menguasai kedua ilmu itu, maka pantas disebut sapi.” Biar jelas redaksi syairnya, bisa dilihat di bawah ini;

الشِّعْرُ قَبْلَ التَّعَلُمِ
تَعَلَّمْ العِلْمَ وَ اعْمَلْ يَااُخَيَّ بِهِ # فَالعِلْمُ زَيْنٌ لِمَنْ بِالعِلْمِ قَدْ عَمِلَ
العِلْمُ اَشْرَفُ الشَّيْئِ نَالَهُ رَجُلٌ # مَنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ عِلْمٌ لَمْ يَكُنْ رَجُلًا
النَّحْوُ زَيْنُ الفَتَى وَ الفِقْهُ حِلْيَتُهُ # فَمَنْ عَدَا مِنْهُمَا فَاعْدُدْهُ فِي البَقَرِ
وَالبُلْغُ حُسْنُ الفَتَى وَالنُّطْقُ تَطْرِيْزُهُ # وَمَنْ خَلَا مِنْهُمَا فَاعْدُدْهُ فِي الحُمُرِ

Mengutip apa yang termaktub dalam kitab Ihya` ulumiddin, Imam Al-Ghazali pernah mengatakan:

“Sesungguhnya bahasa arab dan ilmu nahwu adalah sarana untuk mengetahui makna firman Allah SWT dalam Al-Qur`an dan Hadis Nabi SAW. Keduanya bukan ilmu syariat, tetapi wajib mendalami kedua ilmu tersebut, sebab syariat datang dengan berbahasa Arab.”

Senada dengan kaidah fikih dan ushul fikih–kaidah ini bisa masuk pada keduanya—yang berbunyi;

مَا لَايَتِمُّ الوَاجِبُ اِلّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبُ

“Jika sebuah kewajiban tidak bisa terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”

Imam Imrithi mengatakan dalam karyanya yang berjudul Nadham Imrithi;

وَالنَّحْوُ أَوْلَى اَوَّلًا اَنْ يُعْلَمَا # اِذِ الكَلَامُ دُوْنَهُ لَنْ يُفْهَمَا

 “Nahwu adalah ilmu yang paling utama dipelajari dahulu, karena kalam Arab tanpa ilmu Nahwu tidak bisa dipahami.”

 

Syekh Ash-Shanhaji, Matn al-Ajurumiyyah, Tahqiq: Hayif an-Nabhan.

Jalaluddin As-Suyuthi, Bugya al-Wi`ah fi Tabaqat al-Lughawiyyin an-Nuha.

Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Muhktasar Jiddan.

Imam Imrithi, Nadhm Imrithi.

Leave a Response