Kitab Tafsir Al-Mahalli barangkali masih asing oleh pengamatan para pengkaji tafsir Al-Qur’an. Tafsir ini berjudul lengkap Tafsir al-Mahalli li Ma’rifati Ayảti al-Qur’an wa Nuzȗliha.

Al-Mahalli adalah tafsir Al-Qur’an dengan tulisan Pegon-Jawa (bahasa Jawa-huruf Arab) atas surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Baqarah ayat 141 yang terdiri dari satu jilid sebanyak 171 halaman.

Pengarang tafsir Al-Mahalli adalah KH Mudjab Mahalli, salah seorang kiai pondok pesantren tradisional di Yogyakarta. Kiai Mudjab lahir di Bantul, 25 Agustus 1958 dari pasangan KH Muhammad Mahalli bin Kiai Abdullah Umar, dan Nyai Hj Dasimah binti Kiai Mukhtarom.

Penamaan Tafsir al-Mahalli merupakan wujud rasa syukur terhadap ayahnya yang telah memberikan pelajaran agama kepadanya dan saudara-saudaranya. Selain itu juga sebagai spirit berjuang dalam menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat.

Awal penyusunan karya tafsir tersebut tidak diketahui secara pasti, karena tidak ada literatur maupun informan yang secara spesifik menjelaskan awal mula penulisannya. Namun, Al-Mahalli diterbitkan oleh sebuah penerbit di Yogyakarta pada tahun 1989. Sehingga secara tentatif diselesaikan penulisannya oleh KH Mudjab Mahalli sekitar tahun 1989.

Bisa saja tafsir ini dirampungkan sebelum tanggal 23 Februari 1989. Sebab, pada tanggal tersebut merupakan tanggal dari pernikahan KH Mudjab Mahalli dengan Hj Nadziroh. Tafsir Al-Mahalli barangkali menjadi kenang-kenangan pernikahan mereka.

Aksara Pegon-Jawa menjadi media penyampai tafsir Al-Qur’an di tengah dominasi aksara roman dan bahasa Indonesia pada abad ke-19. Tradisi pesantren tampak dipertahankan sebagai ciri khas tafsir karyanya.

Susunan penafsiran dalam Al-Mahalli mengikuti tertib mushafi (konvensional) mengesampingkan metode tematik (mauḍu’i) yang semakin populer di Indonesia pada akhir abad ke-19 M. Dari sini dapat dikategorikan bahwa Tafsir al-Mahalli menggunakan metode penafsiran tahlili atau bahkan ijmali.

Sebelum memasuki penafsiran suatu surat, dimulai dengan penjelasan tentang identitas surat, sejarah turunnya sebuah surat, tempat turunnya, dan jumlah ayatnya. Inti atau pokok isi suatu surat pun dijelaskan sebagai titik pijak penafsirannya.

Uraian penafsirannya begitu sederhana. Ia hanya diuraikan dengan makna gandul atau meminjam istilah Azyumardi Azra “terjemahan antarbaris”. Kemudian ditafsirkan secara sederhana dengan aksara Pegon-Jawa, sehingga mirip dengan terjemah tafsiriah.

Di balik kesederhanaannya, diintegrasikan berbagai asbab al-nuzul. Bahkan ketika tafsir para pendahulunya tidak menguraikan asbab al-nuzul suatu ayat Al-Qur’an, Tafsir al-Mahalli begitu intens mengemukakannya. Barangkali, di sinilah titik pembeda antara karya Kiai Mudjab Mahalli dengan tafsir yang lain.

Dari sini kita disuguhkan pula beberapa asbab al-nuzul yang menjadi latar belakang diturunkannya suatu ayat. Terkadang satu, dua atau bahkan lebih diuraikan berkaitan dengan satu ayat Al-Qur’an. Tentunya yang demikian menjadi episteme yang berbeda dalam jagad tafsir di Indonesia.

Latar Belakang Penyusunan

Dalam muqaddimah (pengantar) kitab dijelaskan titik berangkat penyusunan Tafsir al-Mahalli adalah tentang kebutuhan yang fundamental untuk mempelajari kandungan Al-Qur’an. Hal ini berkenaan fungsi kitab suci sebagai sarana menuju manusia yang berakhlak dan bermartabat yang direpresentasikan dengan amal salih yang bermuara ketakwaan kepada Allah Swt.

Akan tetapi, kandungan Al-Qur’an tidak dapat dipahami dengan tanpa mengetahui tafsirnya. Demikian pula dengan tafsirnya, tidak dapat dipahami tanpa mengerti asbȃb al-nuzūlnya. Karena, asbȃb al-nuzūl merupakan perangkat dalam rangka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Oleh karena masih langkanya tafsir dan asbab al-nuzūl menggunakan aksara Pegon-Jawa pada masa itu, KH Mudjab Mahalli berupaya mengisi kekosongan tersebut sebagai usaha memberikan pemahaman kandungan Al-Qur’an kepada masyarakat awam dan para santri.

Kendati belum secara keseluruhan 30 juz diulas oleh KH Mudjab Mahalli, tapi ia melengkapi sederet tafsir Nusantara maupun Indonesia beraksara Pegon-Jawa. Ini bagian dari mengisi paradigma kosong yang belum disentuh oleh tafsir pendahulunya yang lahir dari rahim pesantren Jawa.

Dimulai dari Tafsir Faid al-Rahmann karya KH Shaleh Darat (1820-1903 M), jilid pertama selesai ditulis pada malam Kamis 19 Jumadal Awal 1310 H/1892 M. Sedangkan jilid kedua dirampungkan pada hari Selasa 17 Safar 1312 H/1894 M.

Dilanjutkan Tafsir al-Iklil karya KH Misbah Musthofa (1916-1994). Penulisannya dimulai pada tahun 1977 dan selesai pada tahun 1985. Sedangkan Tafsir al-Ibriz karya KH Bisri Mustofa (1915-1977) selesai pada hari Kamis, 27 Rajab 1379 H/ 28 Januari 1960. Kesemuanya menggunakan aksara Pegon-Jawa dan lahir dari rahim pesantren Jawa.

Dalam hal ini sekaligus menegaskan bahwa Tafsir al-Mahalli merupakan warisan “terakhir” tafsir Al-Qur’an rahim pesantren yang beraksara Pegon-Jawa. Kiranya dapat menjadi refleksi dan semoga kelak lahir para mufassir Al-Qur’an Indonesia yang tetap menjaga tradisi dengan tanpa menafikan kekiniannya.

Bahan bacaan:

KH Mudjab Mahalli, Tafsir Al-Mahalli

KH Sholeh Darat al-Samarani, Tafsir Faid al-Rahman

KH Bisri Mustofa, Tafsir Al-Ibriz

KH Misbah Mustofa, Tafsir Al-Iklil

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi

Henri Chambert-Loir (ed.), Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia

Leave a Response