Salah satu dampak buruk dari masifnya media dan percepatan teknologi-komunikasi adalah banyak orang lebih tertarik untuk sekadar menyebarkan berita daripada memahami kandungan kebenaran dari isi berita itu. Padahal, dalam membuat suatu kabar, selalu membutuhkan jerih payah yang lebih dari sekedar meneruskan atau menyebarkannya.
Apalagi sekarang, cukup hanya mengklik saja, seluruh berita bisa tersalin, terkirim, dan tersebar sebanyak mungkin. Dengan berbagai kemudahan itu, kita justru berlomba-lomba menjadi penerus kabar daripada memahami substansinya secara jernih. Tapi apa boleh buat, begitulah perkembangan media saat ini, kita menjadi seseorang yang up to date dan sibuk dengan banyak sekali perkejaan untuk mengikuti simpang siur peristiwa di sekitar kita.
Tapi masalahnya, sering kali suatu kabar yang banyak disebar dan menjadi trending, adalah sesuatu yang membuat orang marah dan memancing kebencian. Dan ini terbukti, di mana suatu percakapan di dunia maya berbuntut bukan hanya perang verbal, tetapi juga perang kekerasan visual dan konkrit nyata. Saya kira mayoritas di antara kita pernah menyaksikan hal-hal semacam ini.
Meski begitu, kita tidak bisa memungkiri bahwa teknologi dunia maya sungguh luar biasa maju dan kita pun pasti tidak akan mungkin meragukannya. Dunia maya juga telah merevolusi perkembangan ilmu pengetahuan secara lebih baik, lancar, cepat, dan tidak terbatas.
Tapi perlu diingat, bahwa media teknologi juga sangat cepat melahirkan budaya “komentar”. Siapa pun dan dari latarbelakang apa saja bisa berkomentar dan memang tidak ada larangan. Tidak peduli apakah komentar itu melukai atau bahkan yang lebih tragis lagi dapat menyingkirkan orang lain.
Media, dengan demikian, juga bisa melahirkan sejenis setan yang membuat kita mampu saling membenci dan saling membuat orang lain menjadi korban. Pada sisi ini, sebenarnya bukan medianya yang menjadi sasaran kekeliruan, tapi pola pemanfaatan media itulah yang boleh dibilang kurang bermutu.
Saya sering bertanya-tanya, mengapa budaya bermedia sosial membuat kita menjadi saling membenci dan menyebar kemarahan atau diskriminasi bahkan rasis? Lalu, apakah lantas media sosial harus dilarang? Saya kira tidak mungkin, karena jangankan orang awam yang jelas-jelas mudah dihinggapi penyakit bias, seorang yang berilmu pun, katakanlah ilmuwan, juga banyak yang tidak bisa lepas dari bias itu.
Saya ingin memberikan sebuah contoh di mana sudah terlalu banyak di antara masyarakat kita, khususnya para pengguna media sosial yang sudah tidak bisa berpikir secara logis. Misalnya, polemik disertasi mahasiswa doktoral yang baru-baru ini mengundang kontroversi di kalangan umat Islam secara luas.
Setelah beberapa hari saya cermati, banyak orang tidak mampu mendudukkan perkara ini secara objektif dan orang cenderung melampaui batasannya hingga melahirkan komentar-komentar seperti takhayul yang sama sekali tidak mencerminkan seseorang yang berpikir menggunakan akal sehatnya.
Memang, harus diakui, garis besar dari hasil penelitian itu tampak bertolak belakang dengan alam pikiran masyarakat, khususnya umat Islam. Tapi sebuah penelitian ilmiah, betapapun “dianggap” kurang benar, tidak bisa digugurkan begitu saja oleh sebuah komentar dengan nada-nada yang kritik. Logika penemuan ilmiah, bila ingin menggugurkan hasil penelitiannya, maka harus dilawan dengan logika penemuan ilmiah juga.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya, banyak orang berlomba-lomba menjatuhkan, menghujat dengan nada-nada keras, dan bahkan kabarnya sampai ada teror secara fisik kepada membuat disertasi itu. Padahal, boleh jadi mereka belum baca seluruh naskah penelitian itu, yang hanya bermodal asumsi atau dugaan semata, sudah berani memurtadkan atau mengkafirkan.
Paling tidak, dari fenomena ini, ada sedikit gambaran yang bisa disimpulkan bahwa dalam masyarakat kita, lebih banyak orang yang masih berpikir secara takhayul daripada berpikir secara masuk akal. Tidak logis kiranya bila penemuan ilmiah dibantah mentah-mentah oleh logika agama yang lebih banyak mengandalkan kekuatan iman dan doktrin syariat. Ini bukan berarti bahwa doktrin agama keliru, tapi lebih pada permasalahan dalam menetapkan wilayah kebenaran antara agama dan ilmu pengetahuan.
Pada titik ini, jelas bahwa budaya bermedia sosial kita masih sangat lemah dan kurang minat untuk menelusuri kebenaran secara mendalam. Justru yang terjadi, sangat berani menyimpulkan sesuatu yang dianggap benar ataupun keliru.
Saya jadi berpikir bahwa kasus “disertasi” ini seperti sebuah peperangan antara masyarakat ilmiah dan masyarakat takhayul. Akhirnya, kebebasan akademik dan berpendapat menjadi korban dan cenderung dibatasi oleh opini publik yang terkesan simpang siur dan tidak terukur.
Padahal, setiap jenis kebenaran apapun itu selalu memiliki batasan dan terukur secara jelas. Saya khawatir, dalam jangka waktu ke depan, akan lebih banyak orang yang kurang menghargai kerja-kerja pengetahuan dan ilmuwan pun dianggap receh serta tidak berguna.
Di sisi lain, konsep demokrasi yang kita agung-agungkan sebagai wadah bagi kebebasan berpikir dan berpendapat, lama kelamaan bisa saja sirna akibat banyak orang tidak mampu lagi berpikir secara masuk akal. Akibat terburuknya, kita menjadi masyarakat takhayul karena ketidaktahuan dan terutama rasa takut yang berlebih-lebihan.