Judul Buku : Tafsir Al-Qur’an & Kekuasaan di Indonesia: Peneguhan, Kontestasi, dan Pertarungan Wacana
Penulis : Islah Gusmian
Penerbit : Yayasan Salwa Yogyakarta
Cetakan : 1, 2019
Tebal : 402 halaman
ISBN : 978-623-90268-2-0
Buku ini merupakan kajian unik yang memberi gambaran kiprah kekuasaan rezim Orda Baru (Orba) lewat tafsir Alquran Indonesia yang ditulis se-zamannya. Karya yang awalnya disertasi doktoral ini memberi kita informasi dan dokumen lengkap mengenai rentetan sejarah-dialektika yang terjadi antara tafsir Alquran dengan praktik politik rezim Orba.
Buku Tafsir Al-Qur’an dan Kekuasaan di Indonesia: Peneguhan, Kontestasi, dan Pertarungan Wacana, dibuka dengan narasi sejarah penulisan tafsir dan praktik politik Orba. Islah Gusmian telaten menggali data dan serius mengumpulkan hampir semua karya tafsir pada masa Orba yang kadang diabaikan, seperti tafsir Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik (2000), karya Syu’bah Asa, seorang budayawan dan wartawan. Penulis Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi (2013) ini, memang akrab dengan naskah-naskah tafsir kuno yang membangun peradaban ilmu keagamaan Nusantara.
Data-data yang terekam dari literatur tafsir itu digunakan Gusmian untuk mendedah realitas sosial, dan dinamika sosial-politik, terutama persentuhannya dengan kekuasaan era Orba. Dari berbagai peristiwa besar yang mewarnai Indonesia era Orba, seperti masalah korupsi, kolusi, militerisme, porkas, ketegangan antar umat beragama, asas tunggal pancasila, larangan memakai jilbab di sekolah, program KB, pembredelan media massa, hingga pelanggaran HAM yang terjadi era itu, dikontestasikan dalam buku ini yang terdapat dari tafsir Alquran secara terbuka dan dinamis.
Mula-mula buku ini berfokus pada pembahasan praktik Orba dan sejarah penulisan-publikasi tafsir serta identitas penafsir dalam wajah rezim Orba—yang mengurai detail simpul hubungan penguasa dan penafsir—dengan sorot utama basis paradigma tafsir—hingga kontestasi tafsir Alquran. Topik perubahan ruang dalam perspektif tafsir dan berbagai resistensi yang pernah muncul antara umat Islam dan penguasa, menjadi kajian pokok yang dibahas di buku ini.
Dalam sistem kekuasaan politik represif, hegemonik, dan otoriter, yang oleh Douglas E. Ramage disebut sebagai rezim “penunda demokrasi”, sebagai salah satu ekpresi, tangan ulama atau intelektual muslim Indonesia mengambil peran untuk menggerakkan wacana kritis ke penguasa. Dan olehnya, tafsir Alquran menjadi arena pertarungan wacana. Bagi Gusmian, ini membuktikan bahwa penafsir masa Orba tidak berhenti pada pemahaman teks saja, melainkan teks Alquran dijadikan sebagai dasar logis-konseptual untuk melakukan kritik atas ketimpangan sosial, politik, dan kemanusiaan.
Misalnya, ketika ketegangan terjadi antara umat Islam dan negara akibat kebijakan Orba terkait Rancangan Undang-Undang Perkawinan (tanpa rembuk dengan ormas, pada 31 Juli 1973) yang bertentangan dalam prinsip Islam, dan juga peristiwa memasukkan aliran kepercayaan ke dalam GBHN tahun 1973, telah memunculkan reaksi keras dari kelompok umat Islam, baik berupa tulisan di koran, ceramah agama, demontrasi, dan berbagai penyataan tokoh ormas serta penulisan di tafsir Alquran.
Dari pandulum situasi dan tekanan penguasa demikian, yang menyebabkan terjadinya pasang surut hubungan umat Islam dengan rezim Orba, Gusmian melukiskan tiga model relasi: periode yang bersifat antagonistik, periode transisi yang bersifat resiprokal-kritis, dan periode akomodatif yang kedua pihak saling mengakomodasi kepentingan masing-masing.
Tetapi, sebagaimana dicatat Gusmian, (meski kata Bahtiar Effendy, kepentingan umat Islam menjelang reformasi mulai diakomodasi), menjadi masalah dan bahkan dianggap “tidak ada”, karena secara substansil pada kenyataannya, prinsip-prinsip dasar umat (Islam), seperti nilai keadilan, keterbukaan, dan kemanusiaan, tidak menjadi pijakan pokok politik rezim Orba.
Pespektif dan Strategi Penafsir
Di buku ini, Gusmian menelusuri hierarki mufassir atau hasil tafsir-tafsir Alquran masa awal hingga periode akhir kekuasaan untuk meneropong kebijakan rezim Orba yang memengaruhi hierarki sosial hubungan masyarakat dengan penguasa—sekaligus meneroka status penafsir atas rezim—dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran dan memetakan ragam perspektif tafsir Alquran.
Ada tiga perspektif tafsir Alquran beserta faktor penyebab penopang terbentuknya perspektif itu sendiri yang sampai kini tetap gayut dengan problem-problem kebangsaan kita sekarang.
Pertama, perspektif tafsir bungkam. Terbentuknya tafsir ini, lantaran penafsir memakai paradigma tekstual, kerekatan penafsir dengan rezim, dan politik otosensor. Misalnya, sebagai contoh (setidaknya terdapat tujuh tafsir) di antaranya dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya, susunan Tim Depertemen Agama RI (TDAR), ketika menguraikan makna Q.S. an-Nisa’ [4]: 135, yang berisi prinsip keadilan yang mesti ditegakkan oleh semua pihak—tetapi, tafsir (TDAR),—malah menjelaskan keadilan personal yaitu terkait dengan membagi waktu, bukan keadilan hukum dalam ranah publik dan politik (hlm 254-255). Menurut Gusmian, tafsir di atas narasinya bersifat transhistoris. Tidak menjelaskan isu sosial, politik, korupsi, keadilan, kemanusiaan.
Kedua, tafsir gincu yang dimaksudkan menunjuk pada tafsir yang di dalamnya terdapat peneguhan atau kesesuaian pandangan dan bahkan pujian penafsir atas kebijakan politik Orba. Ibarat gincu, tafsir Alquran tampil sebagai pemberi citra baik dan memperkuat kebijakan-kekuasaan Orba. Misalnya, memberi dukungan/apreasiasi aksi penumpasan (yang dalam hal ini ada ditafsir al-Hikmah: Tafsir Ayat-Ayat Dakwah karya A. Moerad Oesman dan M. Quraish Shihab dalam tafsir Hidayangan Ilahi: Tafsir Ayat-Ayat Tahlil, hlm 41) atas pengikut PKI yang diduga pengikut dan simpatisannya serta pelarangan buku berhaluan ideologi Komunisme yang dilakukan rezim Orba (hlm 275-277).
Ketiga, tafsir kritis sebagai asas kesadaran menafsirkan Alquran guna sebagai kritik atas politik kekuasaan. Sorotan Gusmian, terdapat tiga tafsir Alquran yang melakukan itu, yaitu Ayat Suci Dalam Renungan karya Moh. E. Esim, Tafsir Al-Hijri karya Didin Hafifuddin, dan Dalam Cahaya Al-Qur’an karya Syu’ba Asa. Mereka semuanya memprotes terkait militerisme dalam oprasi DOM, pembunuhan aktivis PKI, korupsi, hukum, pemenuhan hak rakyat dan janji politik.
Peran Tafsir
Kita tahu, bahwa Alquran bersifat interpretatif, tetapi problem umat bukanlah sekedar problem interpretatif atas teks Alquran, tetapi juga suatu konteks realitas sosial politik yang terkadang di dalamnya terjadi praktik penindasan, ketimpangan dan ketidakmanusiawian. Dari ketiga unsur tersebut, tidak membutuhkan dialektik-kritis yang bersifat teosentris-dogmatik, tetapi bersifat antroposentris-kontekstual (Veri Verdiansyah, 2004).
Penafsir harus memberikan diagnosa atas problem realitas sosial-politik, agar sesuai dengan pesan moral Alquran. Kendati, tafsir bukan sekadar bentuk media komunikasi dalam menangkap titah Tuhan dari teks Alquran, melainkan menggerakkan wacana praksis dan pragmatik, yaitu gerakan keperbipihakan pada hal-hal yang diyakini benar dan bermanfaat kepada umat manusia.
Buku ini mengisi ruang kosong dalam habitus kritik tafsir atas kekuasaan. Dan nampaknya, Gusmian berhasil mematahkan teori penopatik Michel Foucault atas kekuasaan. Sebab pada kenyataannya, dalam kekuasaan yang repsesif, terdapat ulama yang masih melakukan kritik lewat tafsir Alquran.