Dengan cara apa manusia berpikir bahwa yang ada di alam semesta ini telah diatur sedemikian rupa oleh Sang Maha Pengatur? Bukankah semua itu sudah dituliskan di lauhul mahfudh sana, tanpa sesuatu pun yang mengetahui?
Apa yang kuperbuat saat ini mungkin adalah yang digariskan. Aku menjalani rutinitas yang bagi banyak orang pastilah menjemukan. Saban pukul setengah tiga pagi, aku mesti bangun untuk buru-buru mandi sebelum kamar mandi penuh orang. Kemudian bersiap-siap melaksanakan salat Subuh berjamaah. Dilanjutkan mengaji Alquran hingga matahari terbit.
Setelah itu berangkat sekolah hingga pukul satu siang. Istirahat sampai menjelang Asar. Lalu salat Asar berjamaah dan disambung dengan sekolah diniyyah hingga Magrib. Sesudah itu diniyyah lagi dan salat Isya berjamaah. Sehabis salat Isya, ada pengajian Kitab Kuning sampai pukul sepuluh malam. Barulah setelah itu aku bisa beristirahat malam. Praktis cuma tidur 4,5 jam dan kembali bangun pukul 02.30.
Itulah rutinitas yang kujalani setiap harinya. Betapa pun berat namun harus kujalani karena aku telah memilih jalan ini.
Aku bergiat pada suatu waktu di mana anak lelaki sepertiku merasa waktu begitu menyenangkan. Aku mencoba merangkai kembali mimpi dan cita-citaku untuk menjadi orang besar suatu hari nanti. Aku berpikir bahwa dengan bermimpi dan bercita-cita itu dapat meringankan kepenatanku setelah disibukkan dengan beragam kegiatan yang konstan setiap hari. Tak ada salahnya bercita-cita tinggi karena hal itu adalah motivasi.
Setelah membaca biografi dan kisah perjuangan KH Hasyim Asyari di buku Aswaja-ku sewaktu masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah di desa dulu, hati kecilku berkata bahwa aku harus seperti beliau: menjadi orang dengan keluasan ilmu pengetahuan tentang agama, disegani banyak orang, menjadi orang besar, harum namanya di mana-mana, dan hidup serba layak.
Aku mengagumi sosok beliau yang cerdas, tawadlu’, arif, pantang menyerah, lemah-lembut terhadap sesama, dan berani menegakkan kebenaran demi memperjuangkan agama Islam. Beliau sangat menginspirasi hidupku walaupun sekarang aku nyantri di Pesantren Langitan Tuban, bukan di Pesantren yang didirikannya: Tebuireng Jombang.
Ya, itulah kenapa sekarang aku berada di Pesantren Langitan, menjalani semua kegiatan dan rutinitasnya. Banyak yang menduga bahwa aku di sini hanya untuk menghabiskan uang orangtuaku, atau ”diungsikan” dari kakak-kakakku yang selalu memusuhi. Aku tak menggubris. Itu hak mereka untuk menduga-duga. Bagiku, aku di sini karena keinginanku. Karena mimpi dan cita-citaku yang meluap-luap seumpama magma yang ingin segera meletup dari perut gunung.
Aku adalah anak manusia yang mencari
Sebentuk harapan dan mimpi-mimpi.
* * *
Orangtuaku adalah orangtua yang demokratis terhadap anak-anaknya, terutama masalah pendidikan. Walaupun Ayahku lulusan SMA dan Ibuku hanya sebatas kelas dua Madrasah Tsanawiyah, mereka tahu bahwa pendidikan adalah bekal penting masa depan kami.
Kedua kakakku lebih memilih jejak Ayah yang berlatar pendidikan umum. Sedangkan aku dan ketiga adikku lebih memilih jejak Ibu dengan latar pendidikan agama. Tak ada paksaan dalam keluarga kami, semua memilih sesuai keinginan dan keyakinan masing-masing.
Aku memilih pesantren sebagai jalur pendidikan selanjutnya. Selain ingin seperti tokoh panutanku, Kiai Hasyim dan para tokoh NU lainnya, juga karena ingin meneruskan perjuangan kakek buyutku yang semenjak zaman penjajahan VOC menyebarkan agama Islam di tanah Sumberagung, desaku.
Aku merasa terpanggil dan prihatin bahwa dari sekian banyak anaknya tak ada satu pun yang meneruskan perjuangan beliau, padahal di desaku nama kakek buyutku begitu dihormati dan diagungkan. Mungkin, dengan masuk pesantren aku bisa meneruskan perjuangan beliau, bahkan menjadi kyai di desaku kelak.
Memang tak mudah untuk masuk pesantren. Banyak aral melintang yang coba menghalangi langkahku. Kakak-kakakku yang tidak setuju dengan pilihanku karena akan menghabiskan jatah mereka dan keluarga. Paman-pamanku yang menganggap bahwa aku masih terlalu kecil masuk pesantren. Takut kenapa-napa, pikir mereka.
Akan tetapi, yang paling menghalangi adalah keadaan ekonomi keluargaku yang serbapas-pasan. Bagaimana tidak, Ayahku hanyalah ”pekerja musiman” yang bekerja ketika ada proyek atau ajakan orang lain datang. Ibuku hanyalah penjahit di desaku yang juga tidak jelas penghasilannya saban hari. Aku hanya ingin meyakinkan keluargaku bahwa pesantren adalah jalur terbaik hidupku. Seberat apapun aral itu, aku berusaha untuk menjalaninya semampuku.
Dan, aku pun berhasil meyakinkan mereka, terutama Ibuku. Beliau sangat mendukungku dan berusaha mewujudkan impianku. Beliau rela mencari utangan secara sembunyi-sembunyi ke tetangga-tetangga supaya tidak diketahui oleh saudaraku yang lain. Sampai-sampai, cercaan dari mereka yang meminjami uang Ibuku tiada beliau hiraukan barang sedikit pun.
Sungguh, betapa besar perjuangan Ibuku untuk memondokkanku. Tiap kali aku membaca ayat-ayat suci Alquran, maka yang kubaca adalah ayat-ayat Ibuku: paras yang senantiasa daaimul wudlu’, mata cekung menirus karena terlalu sering memikirkan anak-anaknya, dan sosok kurus karena tak tega bila anak-anaknya belum makan terlebih dulu.
Robbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayanii shoghiiroo
“Ya Allah ya Tuhanku, ampunilah kedua orangtuaku sebagaimana mereka mengasihiki di waktu kecilku.”
Hanya doa itu yang saban waktu kulantunkan di setiap penghujung salat dan mengaji. Entah ketika sekolah maupun seusai salat maktubah: semua untuk membalas jerih-pengorbanan Ibuku. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Hanya doa dan doa yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikan Ibuku.
Aku ingat, waktu Ibuku sembunyi-sembunyi memberangkatkanku ke Langitan. Mata Ibuku berkaca-kaca seolah ada yang beliau pikirkan. Karena masih anak-anak, aku hanya berpikir kalau Ibuku tak rela melepaskanku sendirian di ”tempat asing” nun jauh dari rumah dan orangtua. Di kemudian hari, aku baru menyadari bahwa kejadian itu adalah sebuah hikmat dari orang-orang seperti Ibuku.
* * *
Udara dini hari begitu menusuk hingga ke tulang-tulang kurusku. Hujan semalam membekukan air-air yang terdapat di setiap bak kamar mandi ribath. Aku ragu mengambil air wudu’ untuk salat tahajjud. Ingin sekali meneruskan tidurku hingga menjelang Subuh, sebab usai pengajian Kitab Kuning, aku tak tidur sampai pukul dua belas malam. Aku pun tertidur sebentar dan terbangun oleh hawa dingin ini. Begitulah, cobaan yang dihadapai umat kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Untuk ber-taqorrub kepada Yang Memberi Nyawa saja harus tabah dan tahan dengan segala kondisi, apalagi menjalani kefanaan hidup di dunia setiap hari? Namun apapun itu, harus tetap kulakukan karena aku sudah berjanji untuk ber-tahajjud malam itu.
Kurasakan tiap seka aliran air kran menembus kulitku. Dingin. Membungkus pori-pori hingga ke persendian belulang. Semoga air ini menjadi berkah untuk niatku. Aku beranjak dan menuju ke Mushala Agung. Dinamakan “Mushala Agung” karena lebih besar dari mushala pada umumnya dan diameternya besar seumpama masjid, namun tak memiliki mihrob dan mimbar untuk khotbah. Untung saja ribath-ku adalah ribath yang paling dekat dengan Mushala Agung ketimbang ribath-ribath yang lain.
Dalam tahajjud, berat kelopak mata dan pikiran tak mampu kubendung—terantuk-antuk dan merem-melek—adalah godaan tersendiri yang ditiupkan para iblis. Aku bertahan. Setidak-tidaknya, empat rakaat cukuplah untuk memenuhi janjiku. Aku ingat dawuh romo Kyai, ”Iblis tidak akan rela bila anak-cucu Adam berbuat kebaikan dan beribadah kepada Allah SWT semata.” Dan petuah itu benar. Aku salat seolah sambil tidur, tak sadar dan tak khusyuk. Padahal aku menghadap Sang Kholiq: pemilik ngantuk dan tubuhku. Semoga Ia mengampuniku dan berkenan menerima ibadahku ini.
Begitulah. Karena tak terbiasa melek bengi, aku tertidur. Dalam tidurku, aku bertemu Ayah. Beliau terlihat sumringah dan bercemahya. Aku melihat beliau berada di suatu daerah yang tiada kukenal dan pernah kulihat sebelumnya di mana pun. Daerah itu indah, rerumputan nampak hijau-segar, pepohonan tumbuh lebat dengan beraneka buah di tiap pohonnya, air yang mengalir di sungainya nampak seperti susu dan madu yang sangat murni. Sungguh elok tempat itu.
Namun, aku memperhatikan Ayah berpakaian serba putih di tempat seperti itu. Ada apakah gerangan? Kuucapkan salam sejahtera pada Ayah, ia menjawab dengan teguh dan tenang. Ketika kutanyakan semua hal yang kulihat itu kepada Ayah, ia hanya tersenyum. Tiada berbahasa apa-apa. Tak pernah kulihat Ayah tersenyum semanis dan seanggun itu sebelumnya. Aku pun turut tersenyum.
Allahu Akbar-Allahu Akbar…
Astaghfirullah, sudah Subuh. Menyesal rasanya tidak sempat menyelesaikan tahajjud. Batinku. Aku benar-benar tertidur bahkan sampai bermimpi. Aku berhutang pada Allah. Aku kecewa dengan diriku sendiri. Ya sudahlah, semoga lain waktu bisa tahajjud-an lagi. Eh, mimpi barusan apa ya? Kira-kira apa maksud mimpiku barusan? Adakah ini sebuah pertanda? Atau, ini hanya sekadar bunga tidurku?
Hoaaam… daripada dipikir, kenapa tidak segera saja bangun sebelum disiram air oleh Ta’mir mushala, yang juga seniorku?!
* * *
”Ayah meninggal semalam. Terjangkit malaria kata dokter di sana.”
Lari yang bisa kulakukan. Mengejar bus Puspa Indah menuju Jombang. Tak kuhirau orang-orang menertawai dan mencemoohku, karena tanpa kusadari aku masih mengenakan sarung, baju takwa seragam pondok, dan bersongkok hitam. Aku seperti anak ayam yang lari dari induknya.
Tak secuil pun airmataku tumpah. Aku tak menangis. Entah kenapa aku tak bisa menangis. Terlalu berat aku menangis. Karena tahajjud-ku semalam mungkin menebalkan pikiran dan hatiku.
Tiada pernah kuduga, bahwa dua bulan sebelum Ayah kembali ke Malaysia untuk bekerja, beliau membagikan uang dua puluh ribuan kepada anak-anaknya. Banyak nian uang yang diberikan Ayah kepada kami? Pikirku. Tak pernah Ayah memberikan uang sebanyak itu kepada kami: satu per satu anak-anaknya. Kalau pun diberi, itu pun dititipkan kepada Mbah yang selama ini menjaga kami.
Aku tak merasakan apapun, sebab kupikir hal tersebut adalah lumrah: Ayah memberikan sejumlah uang kepada anak-anaknya. Ternyata, itu adalah pemberian terakhir Ayah sebelum ajal menerkam di balik dinding rapuhnya.
Aku tak pernah berpikir secepat itu Ayah pergi, menyongsong matahari di balik langit. Aku terhenyak sesaat sampai tiada memedulikan motor yang mecetat di depan mataku. Motor itu terjatuh tiba-tiba. Aku tetap saja mengejar waktu, memburu tiap masa—yang dilimpahkanNya—tanpa mengenal pengejarnya. [*]