Seorang kakek yang tak berpendidikan mengunjungi Jakarta untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia dibesarkan di sebuah dusun terpencil di pegunungan, bekerja keras membesarkan anak-anaknya, dan kini sedang menikmati kunjungan perdananya ke rumah anak-anaknya di kota.

Suatu hari, sewaktu dibawa berkeliling kota, orang tua itu mendengar suara yang menyakitkan-memekakkan telinga. Belum pernah dia mendengar suara yang begitu tidak enak didengar semacam itu di dusunnya yang sunyi. Dia bersikeras mencari sumber bunyi tersebut. Dia mengikuti sumber suara sumbang itu, dan dia tiba di sebuah rumah, di mana seorang anak kecil sedang belajar bermain biola.

“Ngiiiik! Ngooook!” berasal dari nada sumbang biola tersebut.

Saat dia mengetahui dari putranya bahwa itulah yang dinamakan “biola”, dia memutuskan untuk tidak akan pernah mau lagi mendengar suara yang mengerikan tersebut.

Hari berikutnya, di bagian lain kota, orang tua ini mendengar sebuah suara yang seolah membelai-belai telinga tuanya. Belum pernah dia mendengar melodi yang seindah itu di lembah gunungnya, dia pun mencoba mencari sumber suara tersebut. Ketika sampai ke sumbernya, dia tiba di ruangan depan sebuah rumah, di mana seorang perempuan tua, seorang maestro, sedang memainkan sonata dengan biolanya. Seketika, si orang tua ini menyadari kekeliruannya.

Suara tidak mengenakkan yang didengarnya kemarin bukanlah kesalahan dari biola, bukan pula salah sang anak. Itu hanyalah proses belajar seorang anak yang belum bisa memainkan biolanya dengan baik.

Dengan kebijaksanaan polosnya, orang tua itu berpikir bahwa mungkin demikian pula halnya dengan agama.

Sewaktu kita bertemu dengan seseorang yang menggebu-gebu terhadap kepercayaannya, tidaklah benar untuk menyalahkan agamanya. Itu hanyalah proses belajar seorang pemula yang belum bisa memainkan agamanya dengan baik. Sewaktu kita bertemu dengan seorang bijak, seorang maestro agamanya, itu merupakan pertemuan indah yang menginspirasi kita selama bertahun-tahun, apa pun kepercayaan mereka.

Namun, ini bukanlah akhir dari cerita. Hari ketiga, di bagian lain kota, si orang tua mendengar suara lain yang bahkan melebihi kemerduan dan kejernihan suara sang maestro biola. Suara apakah itu?

Melebihi indahnya gemercik aliran air pegunungan, melebihi merdunya kicau burung-burung pegunungan. Suara apakah gerangan yang telah menggerakkan hati si orang tua melebihi apa pun itu? Itu suara sebuah orkestra besar yang memainkan sebuah simfoni.

Bagi si orang tua, alasan mengapa itulah suara terindah di dunia adalah, pertama, setiap anggota orkestra merupakan maestro alat musiknya masing-masing; dan kedua, mereka telah belajar lebih jauh lagi untuk bisa bermain bersama-sama dalam harmoni. “Mungkin ini sama dengan agama,” pikir si orang tua.

Masalahnya bukan pada ajaran agama tapi pada keberagamaan kita. Bukan salah alat musiknya tapi pada cara kita memainkannya. Keindahan perilaku umat beragama sangat ditentukan oleh kemampuan memahami ajaran agamanya dan kemauan mengamalkannya secara baik dan benar. Itulah, literasi (melek) keberagamaan, bukan sekadar pengetahuan tentang apa yang terkandung dalam agama, tetapi sekaligus mampu menterjemahkannya dalam perilaku keseharian. Dengan demikian, agama menjadi sesuatu yang instrumental-fungsional dalam membangun peradaban.

Lihat sikap curiga di antara umat beragama, khatbah yang menyerang dan menjelek-jelekkan agama lain, perilaku elite politik yang memolitisasi agama demi kepentingan sesaat, pandangan sempit dan fanatik yang kaku, konflik yang memecah belah sesama warga negara atas nama keyakinan yang mengancam negeri tercinta ini. Apakah semua itu diajarkan oleh agama-agama yang ada? Semua agama mengajarkan kebaikan, kejujuran, keadilan, dan kasih sayang.

Karena itu, harmoni dalam kehidupan masyarakat yang majemuk akan tercipta bila “religious literacy” (literasi agama) kita terus meningkat. Selain berarti pengetahuan dan kemampuan memahami agama sendiri secara memadai, religious literacy adalah sikap terbuka untuk mengenal nilai-nilai dalam agama lain (lita‘ârafû).

Dengan “melek agama lain”, orang bisa sungguh saling mengenal, saling menghormati dan menghargai, saling bergandengan, saling mengembangkan dan memperkaya kehidupan dalam sebuah persaudaraan sejati antarumat beragama, apa pun agamanya. Meskipun kebenaran tentang keyakinan terhadap agama yang dianutnya menjadi kemutlakan.

Ekstremitas beragama biasanya muncul karena ketidakutuhan seseorang memahami sistem ajaran suatu agama. Analoginya seperti orang yang belajar aritmatika: plus, minus, kali, dan bagi (+ – × :). Kalau orang baru belajar plus atau penambahan saja, lalu ditanya, “Tolong cari dua bilangan yang dioperasikan dengan aritmatik, yang hasilnya 10. Orang itu pasti ngotot menyodorkan dua angka yang lebih kecil dari 10, seperti 8 + 2 atau 9 + 1.

Karena ilmunya sebatas penambahan, tidak mungkin dia menyodorkan angka lebih besar dari 10. Namun kalau orang yang sudah tahu operasi aritmatika itu ada minus, bagi, dan kali, maka dua angka yang disodorkan tak mesti di bawah 10, tapi bisa di atasnya. Bisa 15 – 5 dan sebagainya.

Di kurikulum 2013, pelajaran agama dan budi pekerti (SD/MI) ditambah menjadi empat jam setiap minggunya. Tentu dalam pelaksanaannya diharapkan ada upaya serius agar anak-anak Indonesia dapat meningkatkan religious literacy.

Bilapelajaran baca tulis dapat menyelamatkan bangsa dari buta huruf, peningkatan religious literacy dapat mengantar bangsa kita untuk tidak “buta agama lain” sehingga cenderung tertutup-fanatik, serta mudah dipecah-pecah, dan diadu-domba.

Religious literacy lebih dari sekadar melahirkan toleransi, tapi akan menumbuhkan usaha yang aktif untuk memahami orang lain. Toleransi dapat menciptakan iklim untuk menahan diri, namun tidak untuk memahami. Meminjam ungkapan Nurcholis Madjid, religious literacy tidak boleh dipahami sekadar sebagai kebaikan negatif (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk mengikis fanatisme (to keep fanaticism at bay). Religious literacy harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility).

Setiap agama memiliki nilai-nilai yang menopang peningkatan religious literacy. Semua itu layak dimasukkan dalam kompetensi dasar anak didik kita. Dalam Islam, misalnya, kenyataan pluralitas agama, budaya, dan etnis itu mesti dipahami sebagai bernilai positif dan merupakan rahmat Tuhan kepada manusia (QS 2:251, 49: 13, 2:148).

Islam menghargai dan menghormati martabat manusia tanpa memandang perbedaan etnis, bahasa, asal-usul (QS 49: 13) maupun perbedaan ideologi dan keyakinan (QS 109: 6). Pluralitas adalah sebuah kebijakan Tuhan agar manusia saling mengenal dan membuka diri untuk bekerja sama (QS Al-Hujurat: 14). Islam juga memberi tempat yang tinggi pada kebebasan manusia memeluk agama masing-masing (QS 2: 256).

Bahkan, heterogenitas umat beragama itu sudah disabdakan Tuhan (QS 2: 213). Dan sebagai warga dunia, seluruh manusia adalah umat yang satu (QS 21: 92 dan 23: 52). Al-Quran tidak saja menerima realitas tentang pluralitas agama (QS. QS. 2: 62), tapi mengajarkan untuk hidup berdampingan secara damai (QS. 29: 46) dan menganjurkan untuk saling berpacu dalam berbuat kebajikan (QS. 5: 48), dan bersikap positif dalam berhubungan serta bekerja sama dengan umat yang tidak seagama (QS. 60: 8).

Titik perjumpaan dengan umat agama-agama lain dicerminkan dengan berlaku jujur, bertindak secara benar dan adil kepada siapa pun (QS 5: 8). Cita keadilan dalam Al-Quran mencakup berbagai lingkup kehidupan masyarakat: keadilan dalam penyelenggaraan pemerintahan (QS 4: 58), dalam pelaksanaan peradilan (QS 5: 42), dalam penyelesaian sengketa dan penegakan perdamaian (QS 49: 9), dalam memperlakukan non-muslim (QS 42: 15), bahkan terhadap orang atau golongan yang tidak disenangi (QS 5: 8).

Selain itu, perlu melakukan dialog-dialog yang teratur antara guru-guru agama di sekolah-sekolah formal sehingga terbuka kesempatan untuk saling belajar bagaimana membangun generasi baru yang tak hanya menghayati agamanya sendiri tapi juga menghargai agama orang lain. Lebih dari itu diharapkan mereka bisa secara bersama mencari titik-titik temu untuk mengembangkan etik sosial yang mengikat kehidupan bersama.

Benar apa yang dinyatakan UNESCO bahwa paradigma pendidikan di seluruh dunia tidak lagi cukup hanya bertahan pada aspek pengembangan kognitif (to know), pemberian bekal keterampilan (to do), dan perbaikan moralitas dan integritas pribadi (to be). Kini paradigma pendidikan bangsa-bangsa di dunia, terlebih lagi Indonesia, perlu ditambah dengan upaya mengedepankan muatan nilai-nilai yang mendukung terwujudnya kehidupan damai dan harmoni antarumat manusia (to live together).

Pesan sang kakek di ujung kisah di atas juga layak kita simak: “Marilah kita semua mempelajari hakikat kelembutan agama kita melalui pelajaran-pelajaran kehidupan. Marilah kita semua menjadi maestro cinta kasih di dalam agama masing-masing. Lalu, setelah mempelajari agama kita dengan baik, lebih jauh lagi, mari kita belajar untuk bermain, seperti halnya para anggota sebuah orkestra, bersama-sama dengan penganut agama lain dalam sebuah orkestra Indonesia-Bhineka Tunggal Ika untuk menyanyikan simfoni tentang indahnya Indonesia.”

Sumber: Kisah ini diadaptasi dari cerita Ajah Brahm dalam Opening the Door of Your Heart.

Leave a Response