Siapa sangka, di balik kepalanya yang hampir copot terdapat pengabdian yang tiada duanya.
Aku masih keras berpikir, apakah orang yang cacat intelektual justru berhati mulia? Mari biarkan Mad Gedek menjawab dengan cerita-ceritanya.
Pada suatu hari di masjid Pesantren Al-Kawakib, seusai shalat Jumat. Mad Gedek berdiri di depan kotak amal. Seperti biasa, kepalanya miring. Sembari memejamkan mata dan meringis, kepalan tangannya masih terselip di sakunya.
Orang-orang melihatnya dengan mata merendahkan. Mungkin di pikiran mereka, Mad Gedek adalah orang aneh. Namun, hati Mad Gedek berkata, “Ya Allah, engkau menjanjikan balasan untuk sedekah 10 sampai 700 kali lipat. Ya Allah, aku mohon, balasan untuk sedekahku ini berikan kepada Abah Yai. Kalau bisa 700 kali lipat.”
Ia pun kemudian menarik tangan dari sakunya, dan memasukkan selembar uang 5000 ke dalam kotak. Sepanjang perjalanan menuju kamar, tiada yang dipikirkan Mad Gedek selain 5000 kali 700. Namu alangkah malang nasibnya hingga ia menginjakkan kaki di kamar, ia belum menemukan jawabannya.
Orang-orang memanggilnya ‘Mad Gedek’. Tiada lain karena kepalanya yang gedek-gedek, bahasa Jawa dari kata menggeleng-geleng. Entah mengapa itu seperti lonceng yang sedang dikocok-kocok tapi tak ada bunyi keluar. Nama aslinya ‘Ahmad’, tanpa nama belakang. Konon, ia ditemukan orangtua angkatnya di sebuah tempat pembuangan sampah.
Sebab orangtua angkatnya seorang tukang sampah, ia dari kecil sering diolok-olok dan dipanggil sampah. Lebih lagi, karena ia jarang mandi dan wajahnya terlihat kusam penuh debu. Sementara tetangganya yang sudah dewasa menyebarkan kabar burung bahwa ia adalah anak hasil perzinaan, maka dibuang oleh ibunya.
Menjadi Santri
Selepas lulus SD, Mad Gedek diantar bapaknya ke Pesantren Al-Kawakib. Ia ditolak di banyak kamar. “Maaf, ketua kamar kami sedang pulang, jadi tidak bisa menerima santri baru di kamar ini,” begitu kata seorang santri di suatu kamar yang dimasukinya bersama bapaknya.
“Maaf, Pak, lemari di sini sudah penuh. Mungkin kamar sebelah masih ada yang kosong.” Sebuah kamar juga lekas dikunci padahal di dalamnya ada banyak orang. “Dulu kan pernah ada orang kayak gitu, terus akhirnya bagaimana? Celaka kita nanti.” Dan yang paling menyakitkan adalah kalimat “orang gila kok mondok” yang entah keluar dari mulut siapa.
Namun akhirnya, Mad Gedek diterima di kamar paling pojok, dekat dengan WC. “Silakan, itu lemari kamu. Ini kamar paling nyaman, karena kalau kebelet tidak usah lari.”
“Terima kasih, Kang.”
“Abah Yai tidak melarang siapapun untuk mondok. Jadi, saya juga tidak bisa melarang,” kata santri itu, “Oh iya, apa sudah sowan ke Abah Yai?”
“Belum, Kang,” jawab bapaknya, “tadi katanya Abah Yai sedang pergi. InsyaAllah setelah ini.”
Santri itu pun memperkenalkan satu per satu orang yang sedang ada di dalam kamar. Tidak banyak karena beberapa yang lain sudah keluar menghindar.
Abdi Ndalem
Selang dua tahun, Mad Gedek menjadi bagian dari abdi ndalem. Tugasnya melayani Abah Yai dan Ibu Nyai, seperti memijat Yai, membelikan bumbu di pasar, membersihkan ndalem, menguras kulah ndalem, mencuci mobil Yai, dan lain-lain. Namun, walau sudah menjadi abdi ndalem, stigma orang terhadapnya tidak sepenuhnya hilang.
Di suatu senja yang berisi burung-burung pulang, Mad Gedek bermenung. Mobil Yai baru saja berangkat. Tiba-tiba Bagus, abdi ndalem yang lain menepuk lengannya. “Mad, mikirin apa?”
Mad Gedek kembali dari lamunannya. “Mikir akhirat, Gus.”
“Eh, saya bukan anaknya Kiai, masa dipanggil Gus?” kata Bagus.
Mad Gedek tersenyum kecil. “Jadi dipanggil apa? Bang?”
“Tapi sepertinya lebih baik Gus.”
“Tadi pas ngaji kan Abah Yai menerangkan akhirat, saya jadi kepikiran akhirat, Gus.”
“Memangnya apa yang kau pikirkan, Mad? Kayak punya pikiran saja.”
“Kira-kira, nanti kita bisa masuk surga tidak ya?”
“Ya semoga saja.” Bagus mencopot pecinya dan menaruhnya di lantai. “Tapi, masa kita tidak masuk?”
“Memangnya kau yakin amal-amalmu bisa membuatmu masuk surga?”
“Mmm… Tidak yakin juga sih. Tapi, kalaupun bukan karena amal kita, kita pasti diajak oleh Yai masuk surga. Coba pikir, kita setiap hari bertemu Yai, bersama Yai, tidak mungkin di akhirat kelak kita tidak bersama Yai juga. Dan Yai pastinya masuk surga kan? Tidak ada yang bisa membantah.”
“Betul juga, Gus,” Mad Gedek mengangguk.
“Mandi dulu yuk, Mad.” Bagus bangkit dari duduknya. Namun, Mad Gedek menghentikannya dengan sebuah pernyataan. “Besok kalau Allah menakdirkan saya masuk surga, saya tidak mau punya surga sendiri. Saya ingin berada di surganya Abah Yai. Melayani Abah Yai.”
“Gimana sih, Mad? Kan sudah ada malaikat yang bertugas.”
“Saya suruh pulang. Biar saya saja.”
“Terserah kamu, Mad. Oh iya, peciku ketinggalan.” Bagus mengambil pecinya, lalu berlalu.
Karena hari semakin redup, Mad Gedek pun bangkit pula. Ia berjalan dengan kepala bergoyang-goyang. Pecinya yang miring ia benarkan setiap mau lepas. Sarungnya tidak simetris, bajunya tidak rapi, tetapi wajahnya senantiasa tersenyum saat berpapasan dengan santri lain. Darah pengabdian mengalir di tubuhnya. Peluh luruhnya hanya untuk Abah Yai.
Demikian cerita Mad Gedek. Singkat memang. Karena jika dibuat panjang, semua akan terharu.