Alkisah, seorang kampung keceplosan berkata pada anak lelakinya, “Engkau tidak mampu menjadi manusia.” Anak tersebut marah dan pergi ke kota, melanjutkan studi, bekerja keras mencari harta, dan jabatan. Akhirnya ia menjadi orang berpunya dan orang penting. Kariernya terus menanjak dan puncaknya menjadi Perdana Menteri.
Tetapi, bagaimanapun juga, dia tidak pernah lupa terhadap ucapan bapaknya. Dia berpikir, “Bapakku dulu mengatakan bahwa aku tidak akan mampu menjadi manusia. Nah, kini aku menjadi seorang intelektual, kaya raya, punya posisi dan jabatan penting, bahkan jadi perdana menteri. Bayangkan, aku menjadi orang nomor dua setelah raja. Biar kujemput lelaki tua itu. Akan kutunjukkan padanya posisi dan jabatanku, kemegahan dan kekuasaanku. Aku akan benar-benar mempermalukannya dengan mengingatkan dia bahwa dulu mengatakan bahwa aku tidak akan pernah menjadi seorang manusia.”
Perdana Menteri itu segera memerintahkan sejumlah petugas untuk membawa bapaknya ke hadapannya. Mereka menjerat lelaki tua malang itu saat ia tengah bekerja di ladangnya. Mereka menggiringnya ke ibukota. Ia kebingungan. Ia tidak tahu ada apa dengannya dan kenapa ia diculik. Lelaki renta tersebut dibawa ke hadapan Perdana Menteri. Anak lelaki tersebut tidak bergeser dari kursinya untuk menyambut bapaknya yang malang, yang tidak memperoleh berita tentangnya bertahun-tahun.
Sebagai penguasa-istana yang jahat dan arogan, dia berkata dengan senyum sinis, “Ingatkah Bapak? Engkau bersiteguh bahwa aku tidak akan pernah menjadi seorang manusia. Kini lihatlah peruntunganku, kemashuran dan kekuasaanku. Saksikan bagaimana aku ternyata menjadi perdana menteri. Nah, apa Bapak tidak malu dengan apa yang dulu Bapak katakan padaku!”
Lelaki tua yang menderita itu tertawa pahit. “Mungkinkah?” dia berkata, “Engkau memerintahkan orang-orangmu menculikku dari kampung halamanku dan memaksaku berjalan berhari-hari dalam kelaparan dan kebingungan, hanya untuk membawaku kemari demi mengingatkanku akan ucapan tersebut?””
Perdana menteri congkak itu memandang rendah lelaki tua tersebut dan berkata, “Ya, tidakkah aku benar?” Bapaknya yang renta mengambil napas panjang. “Engkau benar, Anakku. Ya, engkau benar-benar telah membuktikan ucapanku itu benar. Lihatlah aku akan mengulanginya sekarang ini: engkau mungkin telah menjadi perdana menteri, tetapi sayang sekali, engkau belum berhasil menjadi seorang manusia!” (Ozak, 2009)
….menjadi manusia bukan sekadar soal penampakan luar. Menjadi manusia sejati tidak diperoleh dengan menjadi seorang hartawan, pejabat, ilmuwan atau penguasa. Agama hadir sebagai madrasah kemanusiaan—mendidik diri agak kembali natural, kembali ke fitrahnya, ke watak sucinya.