Di tengah masyarakat yang dibangun di bawah pengaruh kapitalisme dan sekularisme seperti saat ini, pembicaraan agama dan lingkungan hidup adalah bagian dari counter hegemony. Masalahnya adalah kapitalisme yang percaya dengan prinsip sekuler, menjadi mode produksi yang begitu dominan dan hegemoni dalam masyarakat modern. Kaum kapitalis yang ditopang oleh industri yang kuat, umumnya berpandangan antroposentrik, yang memandang bahwa alam dengan berbagai speciesnya seperti kawanan binatang, tumbuh-tumbuhan, air dan sumber daya alam lainnya dianggap sebagai sebuah entitas yang memang dipersiapkan untuk di eksploitasi manusia.
Apakah dengan pandangan tersebut, kapitalisme memberi jalan ke masa depan yang menjanjikan? Padahal Setiap kegiatan dan usaha manusia dalam pembangunan harus menyeimbangkan kelestarian dan pemeliharaan lingkungan hidup. Pembangunan yang begitu massif tidak boleh hanya menomorsatukan aspek pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga harus selaras dengan pemeliharaan lingkungan hidup.
Kemajuan ekonomi di bidang produksi melalui industri telah membawa dampak kerusakan lingkungan, yang tentu saja ke depannya memberi dampak terhadap ekonomi itu sendiri. Misalnya ekonomi yang mengalami degradasi produksi karena rusaknya alam, jika produksi menurun otomatis pemenuhan kebutuhan akan terancam.
Hal tersebut dikarenakan tidak terbangunnya hubungan yang sinergis, yang menjadikan eksploitasi alam untuk mencapai kebutuhan ekonomi semata. Percaturan seperti inilah, yang membutuhkan peranan agama untuk meminimalisasir kerusakan lingkungan dan pencapaian target ekonomi.
Mengutip apa yang dikatakan Max Webber bahwa arus deras globalisasi tidak serta merta menjadikan peran agama berkurang dalam masyarakat maupun kesadaran individu. Di satu sisi, globalisasi membuat agama semakin berkurang perannya, di sisi lain agama justru semakin menguat dengan melakukan perlawanan terhadap globalisasi.
Hal ini bisa dilihat dengan munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dalam Islam, salah satunya adalah menguatnya diskursus tentang Maqasid Syari’ah. Maqasid Syari’ah muncul sebagai bagian dari meminimalisir dampak buruk dari hegemoni globalisasi, atau dalam kaidah fikih dikenal dengan “Dar’ul Mafasid Muqoddamun Ala Jalbul Masholih” yaitu mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan.
Kaum kapitalis yang ditopang industri yang kuat, dengan pandangan antroposentriknya bahwa alam dengan berbagai speciesnya seperti kawanan binatang, tumbuh-tumbuhan, air dan sumber daya alam lainnya dianggap sebagai sebuah entitas yang memang dipersiapkan untuk di eksploitasi manusia sebagai pemimpin di muka bumi ini.
Namun dalam praktiknya, kapitalisme telah membawa kehidupan banyak umat manusia ke dalam situasi yang mencemaskan, menakutkan, bahkan dapat menimbulkan kemarahan dan kekerasan. Krisis lingkungan di Indonesia dan beberapa negara tidak bisa dipungkiri juga akibat dari libido ekonomi kaum kapitalis. Karena krisis lingkungan yang terjadi telah merambah ke berbagai aspek dengan dimensi yang sangat luas, mulai dari polusi udara, limbah industri, serta eksploitasi sumber daya alam yang terus menerus dilakukan.
Jika dilihat, kapitalisme dengan pandangan antroposentrismenya telah menghasilkan radikalisasi dan kemarahan. Perkembangan mencemaskan tersebut tidak lain disebabkan karena pengabaian terhadap apa yang ditawarkan oleh agama. Kapitalisme justru menyingkirkan argument dan konsep yang ditawarkan agama dalam menghadapi kehidupan dengan mengandaikan alam tidak lain disiapkan untuk dieksploitasi manusia.
Kapitalisme dalam prakteknya, terlalu pecaya terhadap kekuatan sains dan teknologi yang mengabaikan nilai-nilai etis agama, karena mereka mengabaikan argument keagamaan dalam menentukan relasi manusia dengan lingkungan alamnya, atau bahkan mengabaikan relasi manusia dengan alam dan Tuhannya.
Eksploitasi alam yang hanya mendasarkan pada sains dan teknologi, rentan dari tanggung jawab terhadap keberlangsungan alam, sehingga muncul berbagai bentuk penyakit dan bencana. Penyebab munculnya berbagai bencana bukan semata-mata peristiwa alam, tetapi sebagian juga akibat ulah manusianya itu sendiri. Hegemoni pembangunan dan eksploitasi alam yang bersifat kapitalis inilah, yang kemudian berdampak kepada kerusakan lingkungan hidup yang menimbulkan percikan-percikan kemarahan di tengah masyarakat yang akan berdampak kepada lingkungan sosKapiial yang tidak stabil.
Permasalahan lingkungan hidup bukan lagi menjadi permasalahan individu atau satu-dua negara saja, namun telah menjadi tanggung jawab bersama seluruh umat manusia di dunia. Kerusakan lingkungan akibat ulah tangan manusia dapat dikatakan hampir mencapai titik kulminasi tertinggi. Sederet bencana alam yang terjadi di hampir seluruh titik episentrum dunia, tidak terkecuali di Indonesia menjadi bukti yang tidak terbantahkan bahwa antara manusia dan alam sudah semakin tidak bersahabat. Dalam hal ini perlu adanya fikih baru yang berorientasi terhadap lingkungan hidup.
Yusuf Qaradhawai dalam bukunya Ri’ayat al-Bi’ah Fi Syari’at Al-Islam Mengatakan bahwa Ilmu fikih merupakan ilmu yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-nya, dirinya, keluarga, dan masyarakat serta dengan alam sekitarnya sesuai dengan lima hukum syari’at yaitu; wajib, sunnah, mubah, makruh, haram. Adapun fikih lingkungan (fiqh al-bi’ah) adalah bagian dari fikih kontemporer yang muncul sebagai jawaban terhadap problem-problem kontemporer, seperti menjamurnya industri, polusi udara, krisis lingkungan hidup dan lain sebagainya, dengan menggunakan perspektif yang lebih praktis untuk memberikan aturan-aturan dalam berinteraksi, mengelola dan memelihara lingkungan.
Fenomena krisis lingkungan berpotensi menimbulkan bencana alam yang dapat mengancam kehidupan umat manusia, sedangkan keberlangsungan kehidupan umat manusia adalah bagian dari tujuan syari’at (Maqasid Syari’ah) atau yang biasa dikenal dengan lima hal yang harus dijaga, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, harta. Sedangkan lingkungan adalah sarana dalam menjaga lima hal pokok tersebut.
Syari’at pada prinsipnya mengacu kepada kemaslahatan manusia. Tujuan utama syari’at Islam (Maqashid Syari’ah) adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang Rahmatan Li Al-Alamin. As-Syatibi dalam al-Muwafaqat-nya menegaskan; “Telah di ketahui bahwa diundangkannya syari’at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan makhluk secara mutlak.”
Dalam menjadikan Maqasid Syari’ah sebagai metodologi dalam merumuskan Fikih Lingkungan, maka tidak bisa lepas dari konsep maslahah yang ada di dalam Maqasid Syari’ah. Konsep dan definisi maslahah sendiri di antara para pengkaji Maqasid Syari’ah mempunyai banyak pengertian, salah satunya adalah yang dikemukakan oleh Imam Ghazali. Dalam kitabnya Al-Mustashfa, maslahah terbagi menjadi tiga; pertama, Maslahah Dharuriyyah atau kemaslahatan yang terkait dengan hal-hal penting (primer). Kedua, Maslahah Hajjiyah atau kemaslahatan yang terkait dengan hal-hal sekunder. Ketiga, Maslahah Tahsiniyyat atau kemaslahatan yang terkait dengan hal-hal pelengkap (tersier).
Dari konsep maslahah inilah, kemudian menjadi metodologi untuk menganalisa fenomena yang terjadi dengan Illat atau alasan yang ada. Misalnya adanya eksploitasi alam berupa pertambangan, mempunyai dampak negative dan positif, positifnya yaitu dengan adanya industri-industri pertambangan dapat mendongkrak pemasukan daerah melalui pajak dan menumbuhkan perekonomian warga dengan menyerap banyak pekerja, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, ada dampak buruk dari hal tersebut yaitu hilangnya lahan hijau, rusaknya sungai yang akan mengakibatkan longsor, polusi udara dan lain sebagainya. Dampak negative dan positif inilah yang juga akan menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat, yang berkemungkinan menimbulkan konflik social. Oleh karena itulah, pendekatan Maqasid Syariah dengan konsep maslahahnya dalam merumuskan sebuah fikih baru begitu sangat penting, supaya dalam menghasilkan hukum atau keputusan tidak hanya berkutat pada perdebatan teks saja, akan tetapi perdebatan dengan realitas social dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Lingkungan sebagai mediator atau sarana dalam menjaga lima pokok tujuan syariat harus dipandang secara proposional yaitu bisa menumbuhkan perekomian masyarakat tanpa merusak lingkungan tersebut atau menghidupkan lahan mati tanpa mematikan lahan tersebut. Jangan sampai untuk menjaga eksistensi kehidupan, manusia melupakan esensinya sebagai pemimpin yang menjaga sarana untuk kehidupannya.