“Terus maunya apa sih, pimpinan kita? Saya sudah usul, buat kurikulum yang benar-benar unggulan! Jangan cuma ngekor pemerintah! Pemerintah itu gak tahu apa-apa, yang ngerti keadaan sekolah, ya kita,” kata guru muda yang tengah berdiskusi bersama para koleganya di perpustakaan. Ia tampak geram, karena mindset pimpinannya masih Jadul tak tersentuh zaman.
Sekolah-sekolah lain sudah punya Sister School dan melakukan Student Exchange ke Eropa, sekolah si guru muda masih debat masalah teknis penilaian dan angka-angka yang di masyarakat tak pernah ditanya.
Kata pimpinan, “Tidak boleh ada siswa yang mendapat nilai di bawah KKM!”. Lalu para guru berlomba-lomba “dipaksa” berbohong. Ya…mau bagaimana lagi? Sistem sekolah sudah dibelenggu dengan aturan pemerintah yang gak jelas. Anehnya, para pimpinan pun manut-manut saja. Entah apa yang ditakutkan jika dilanggar. Takut tidak diakui? Padahal, masyarakat melihat sekolah pada kualitas lulusan, bukan pada lembar akreditasi “A” yang juga banyak dimanipulasi. Itu sudah menjadi rahasia umum, ‘kan?
Sekolah lain mempromosikan dirinya by digital (website, facebook, twitter, instagram, blog, youtube, dan lain-lain) yang bisa diakses masyarakat zaman now; kapan dan di mana pun. Sedangkan, sekolah si guru muda masih pakai selembaran brosur dan poster, kadang berserakan di jalan-jalan. Nyampah banget!
Pembelajaran di sekolah lain sudah by e-learning dan praktikum dengan alat-alat laboratorium yang lengkap. Murid-murid si guru muda tetap dikurung di kelas-kelas tanpa kreativitas nyata. Yang penting tidak berisik katanya. Haha.
Kini, peminat sekolah itu semakin tahun kian menurun. Biasanya siswa baru bisa mencapai ratusan, tetapi kini hanya mendapat puluhan siswa. Karena, memang sudah tak ada yang menarik lagi di sekolah itu. Jangankan isi (kurikulumnya), casing-nya saja (gedung dan sarana prasarananya) sudah menua, banyak atap yang bocor, pintu dan jendela kayu yang rapuh, bahkan buku-buku di Perpus banyak yang dimakan rayap.
Bukan minim pimpinan dan guru yang pintar, tetapi minim keberanian untuk maju dan kritis. Jangankan berkompetisi di kancah internasional, di level nasional dan lokal saja sudah tak diperhitungkan. Si guru muda hanya bisa ngomong: “Miris!”, ya.. karena memang ia tak punya wewenang apa-apa, hanya sebatas gagasan kritis yang bisa ia usulkan, mungkin saja memberi secerca cahaya.
Kata pepatah: “Menyalakan lilin sekecil apa pun adalah lebih baik daripada mengumpat dalam kegelapan”. Mungkin, si guru muda itu punya niat yang tulus. Kita doakan dan bacakan puisi saja:
Balai Pustaka Jumat Malam
Apa suguhanmu malam ini, kawan…?
Al-Qur’an, buku, atau kelapa bakar?
Aku sendiri dan minta secangkir kopi
dalam pekatnya kehangatan, dan aku mengguyur perlahan
Orang-orang di grup WhatsApp berbincang
tentang banyak hal yang mereka punya,
mulai dari jabatan, kehebatan, ketenaran,
gedung mewah, hidangan lezat, dan banyak lagi.
Aku iseng bertanya:
Mana yang lebih dulu, memiliki atau kehilangan?
Kau ini seperti sudah menguasai dunia
Kau bilang semua punyamu,
padahal kau pinjam sebentar saja kebahagiaan itu,
besok juga kau kembalikan
Malam datang lalu pergi, dan esok mentari.
September ‘ku nanti.