Media Sosial Sebagai Sarana Peningkatan Toleransi Beragama
Meningkatnya konflik serta intoleransi antar agama perlu mendapat perhatian khusus serta disegerakan penanganannya. Dengan terhubungnya masyarakat masa kini dengan dunia internet, pesan-pesan toleransi maupun intoleransi di media sosial diduga dapat menjadi salah satu mesin yang bisa mempengaruhi toleransi maupun intoleransi seseorang terhadap keberagaman. Namun saat ini di Indonesia belum memiliki penelitian terkait hal tersebut yang berbasis eksperimen sosial.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan ilmu ini dengan menguji pengaruh paparan terhadap konten media sosial yang toleran maupun terhadap peningkatan kerukunan antar kelompok beragama.
Penelitian Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ini dilaksanakan menggunakan metode between-subject experiment. Eksperimen dilaksanakan sepenuhnya melalui media daring (Google forms) dikarenakan adanya wabah COVID-19 yang tidak memungkinkan pertemuan tatap muka dengan partisipan di laboratorium.
Terdapat 74 partisipan yang bergabung dalam eksperimen ini dan (tanpa sepengetahuan mereka) dibagi ke dalam lima kelompok manipulasi: paparan konten media sosial netral, Islam toleran, Islam negatif tidak toleran, Kristen positif toleran, dan Kristen tidak toleran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
(1) paparan terhadap berbagai jenis konten media sosial yang menunjukkan toleransi (baik oleh pemilik akun media sosial Islam maupun Kristen) akan dipersepsikan lebih kompeten dan hangat dibandingkan pemilik akun media sosial dengan konten netral dan pemilik akun media sosial dengan konten tidak toleran (baik Islam maupun Kristen);
(2) Partisipan akan merasa lebih kagum terhadap pemilik akun yang toleran, baik Islam maupun Kristen, dibandingkan dengan pemilik akun yang netral dan pemilik akun yang tidak toleran (baik Islam maupun Kristen), dan begitu pula sebaliknya;
(3) Tendensi partisipan untuk melakukan perilaku yang mendukung pemilik akun Islam dan Kristen toleran, baik secara aktif maupun pasif, akan lebih tinggi dibandingkan kepada pemilik akun netral dan pemilik akun Islam dan Kristen tidak toleran dan begitu pula sebaliknya;
(4) Paparan terhadap berbagai jenis konten media sosial (netral, Islam toleran, Kristen toleran, Islam fanatik, dan Kristen tidak toleran) akan mempengaruhi evaluasi partisipan terhadap pemilik akun secara umum.
Rekomendasi kebijakan yang bisa diberikan berdasarkan penelitian ini adalah:
(1) pemerintah perlu menggunakan media sosial untuk sarana peningkatan harmonisasi antarumat beragama dengan menggunakan akun-akun yang toleran;
(2) perlu lebih banyak advokasi peningkatan harmoni antarumat beragama yang menggunakan teknologi yang digunakan generasi milenial dan di bawahnya;
(3) menggunakan media daring untuk kegiatan-kegiatan kooperatif dan kontak antarumat beragama,;
(4) adanya upaya kerja sama dengan pihak media sosial (misal instagram) untuk merekomendasikan akun-akun toleransi kepada pengguna media sosial supaya algoritma preferensi media/konten penuh akun/konten mengenai toleransi.
Bentuk kerjasama ini juga bisa dalam bentuk advokasi ataupun menggunakan media online untuk kegiatan kooperatif antar-umat/antar-agama. Ini adalah hal yang penting dan mendesak. Karena, dunia maya adalah suatu tempat yang memberikan penggunanya fitur untuk mengonsumsi konten yang dikurasi sendiri melalui rekomendasi postingan, riwayat kunjungan situs-situs, dan lain-lain.
Dalam konteks intoleransi, jika seseorang hanya mengonsumsi konten tentang intoleransi maka konten tersebut akan terus muncul dan akan mempengaruhi wawasan pengguna menjadi sempit. Serta akan dipenuhi dengan hal-hal bersifat intoleran dimana pengguna akan berkemungkinan besar membawakan hal-hal tersebut ke kehidupan sehari-hari serta mempengaruhi orang lain di sekitarnya.
Hasil penelitian selengkapnya klik di sini