Dikotomi Timur dan Barat digunakan dalam berbagai kajian keilmuan, mulai dari ekonomi, studi kewilayahan, hingga bahasa dan sastra. Pembedaan ini mengacu pada budaya dan geografis yang berbeda.
Namun demikian, batas Timur dan Barat masih tidak jelas dan tergantung kriteria yang digunakan oleh pengguna istilah tersebut. Timur diidentikkan dengan Islam dan Asia. Sedangkan selainnya, yaitu Eropa, Amerika, dan Australia identik dengan Barat.
Istilah Timur kemudian semakin dikenal setelah Edward W. Said (1978) menerbitkan bukunya yang berjudul “Orientalism”. Dalam buku tersebut Said mengemukakan hasil kajiannya tentang bagaimana Barat memandang Timur tidak semata-mata letak geografisnya.
Ia membagi dalam 3 bab yang membahas ruang lingkup, struktur dan restruktur Orientalis, dan Orientalisme sekarang. Timur yang ditulis oleh Said ini merujuk dan mengambil contoh lebih banyak pada Arab dan Islam direpresentasikan oleh Barat, Arab dan Islam sebagai objek kajian Orientalis Barat.
Kewilayahan Arab sendiri bervariasi dalam penyebutan dan tidak begitu jelas secara geografis. Setidaknya ditemukan istilah Timur Dekat, Timur Tengah, Asia Barat. Namun para sejarawan sepakat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Timur Tengah adalah wilayah yang terbentang antara Lembah Nil (The Nile Valley) hingga negeri-negeri Muslim di Asia Tengah (lebih kurang Lembah Amur Darya atau Sungai Oxus), dari Eropa yang paling tenggara hingga lautan Hindia.
Negeri-negeri Muslim di Asia yang ada di dalamnya sering juga disebut dengan Timur Dekat (The Near Asia) dan khusus bagian Benua Asia biasa juga disebut dengan Asia Barat (West Asia). Amerika Serikatlah yang mempopulerkan istilah Timur Tengah setelah Perang Dunia II.
Pemberian nama/istilah Timur hingga pendefinisiannya tersebut dilakukan oleh Barat. Said sendiri menyebutkan bahwa Timur bukanlah suatu kenyataan alam yang asli. Timur tidak ada begitu saja, seperti juga Barat tidaklah ada begitu saja.
Kedudukan Barat sebagai pengkaji Timur telah menimbulkan kompleksitas-kompleksitas tertentu, antara lain sikap superioritas Barat dan inferioritas Timur sebagai objek kajian.
Keterangan gambar: Edward Said dan karyanya tentang orientalisme. (Sumber: elifnotes.com)
Sebagai alat untuk menghadapi Barat, dikenal istilah Oksidentalisme. Hasan Hanafi merupakan sosok yang menawarkan konsep itu. Oksidentalisme Hanafi (1999) tidak bermaksud melakukan pembalikan secara total dalam pengertian mengganti posisi yang pernah dimainkan oleh Orientalisme.
Apabila Orientalisme dulu berposisi tidak netral dan lebih banyak didominasi oleh struktur kesadaran Eropa yang dibentuk oleh peradaban modern, maka Hanafi merancang Orientalisme sebagai wacana keilmuan yang netral. Oksidentalisme sama sekali bukan sebagai alat imperialisme dan juga tidak akan berambisi kepada dominasi dan hak kontrol atas yang lain.
Tujuan sederhana Oksidentalisme menurut Hanafi adalah melakukan pembebasan diri dari pengaruh pihak lain agar terdapat kesetaraan antara al-ana yakni dunia Islam dan Timur pada umumnya, dan al-akhar yakni Eropa dan Barat pada umumnya.
Hanafi juga menyinggung tantangan yang dihadapi umat saat ini. Di antaranya adalah membebaskan tanah air dari serangan eksternal kolonialisme dan zionisme dan identitas diri menghadapi westernisasi.
Jika merujuk pada Said dalam citra populer Orientalisme, Arab dalam hal ini dianggap sebagai pengganggu eksistensi Israel dan Barat, sebagai rintangan penciptaan negara Israel pada tahun 1947. Jika bangsa Arab memiliki sejarah, maka sejarah ini pada hakekatnya merupakan bagian sejarah yang diberikan kepadanya oleh tradisi Orientalis dan belakangan tradisi Zionis. Palestina dipandang sebagai gurun kosong yang menunggu untuk dikembangkan.