Dalam kaidah penafsiran, kita akan mengenai istilah kaidah wujuh wa nazha’ir (الوجوه والنظائر). Al-Wujuh memiliki pengertian lafadz yang sama tetapi memiliki perbedaan arti. Sementara an-Nazha’ir adalah lafadz yang berbeda namun membawa arti yang sama.
Selain itu, dikenal pula istilah musytarak (مشترك) dan mutaradif (مترادف). Ada pendapat yang menyatakan bahwa musytarak serupa dengan al-wujuh dan al-mutaradif serupa dengan an-nazha’ir (Shihab, 2019: 105).
Perbedaan antara al-wujuh wan nazha’ir dengan musytarak dan mutaradif terletak pada kedalaman analisanya. Dalam konteks ini mustarak dan mutaradif memiliki analisa yang lebih mendalam tentang suatu kosakata dalam Al-Qur’an dibanding al-wujuh wan nazha’ir yang hanya menyebutkan kesamaan atau perbedaannya saja. Contoh, yang termasuk kata musytarak yaitu al-jannah (الجنّة).
Kata Jannah (الجنّة) dalam kamus al-Mufradat fi Gharib al-Quran karya ar-Raghib al-Ashfahani menunjukkan arti setiap kebun yang memiliki pohon, yang mana pohon tersebut sampai-sampai menutupi tanah.
Ada yang mengatakan bahwa seandainya melihat kebun tersebut dari atas, maka tanah dari kebun itu tidak nampak, karena tertutupi dengan rimbunnya pepohonan (al-Ashfahani, 2020: 419). Sebagaimana firman Allah dalam Qur’an Surat Saba ayat ke 15-16 berikut.
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِى مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا۟ مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لَهُۥ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Artinya, “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”.
فَأَعْرَضُوا۟ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ ٱلْعَرِمِ وَبَدَّلْنَٰهُم بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَىْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَىْءٍ مِّن سِدْرٍ قَلِيلٍ
Artinya, “Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr”.
Pada ayat 15 di atas menggambarkan bagaimana Allah menganugerahkan penduduk Saba’ dengan dua kebun yang subur mengelilingi mereka. Menurut Prof. Quraish Shihab (2005: 362), bukannya penduduk Saba’ itu bersyukur sebagaimana keluarga dan pengikut Nabi Dawud As. yang bersyukur, lantas kemudian Allah turunkan kepada mereka aneka anugerah, tapi penduduk Saba’ malah berlaku kufur atas nikmat Allah.
Oleh karenanya, Allah timpakan kepada mereka balasan berupa siksa berupa sail al-‘arim (سَيْلَ ٱلْعَرِمِ), yang berarti banjir yang besar (Shihab, 2005: 364). Banjir tersebut kemudian menyebabkan kebun-kebun mereka rusak, lalu digantikan oleh Allah dengan kebun yang penuh dengan pohon berbuah pahit yang bernama pohon Atsl (أَثْلٍ ) dan pohon Sidr (سِدْرٍ).
Dalam dua ayat di atas, makna kebun dilukiskan dengan kata al-jannah (الجنة). Jika melihat pengertian yang diberikan oleh al-Ashfahani dalam Mufradat fi Gharib al-Quran, kata al-jannah memiliki makna kebun yang teramat lebat. Saking lebatnya, jika kita melihat kebun dari atas, maka kita tidak dapat melihat tanahnya sebab rimbunnya pepohonan.
Bahkan, Prof. Quraish (2005: 362) menukil sebuah ungkapan yang berbunyi, “Seandainya seorang pejalan meletakkan keranjang di atas kepala mereka, kemudian mereka berjalan melewati kebun penduduk Saba’, niscaya mereka akan mengisi keranjang mereka penuh dengan aneka buah yang berjatuhan, setibanya mereka keluar dari kebun penduduk Saba’”. Ungkapan ini menggambarkan, begitu suburnya–begitu lebatnya pohon buah–penduduk Saba’.
Ibnu ‘Asyur mengatakan, sebab kekufuran penduduk Saba’ setelah sepeninggalnya Ratunya (Shihab, 2005: 364) Allah gantikan kebun mereka yang subur–lebat pohonnya–dengan aneka buah, dengan pohon-pohon–yang lebat lagi subur dengan pohon–yang menghasilkan buah yang pahit.
Sebagaimana juga Allah lukiskan dalam Qur’an Surat al-Kahf ayat ke-39 berikut:
وَلَوْلَآ إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَآءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ ۚ إِن تَرَنِ أَنَا۠ أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا
Artinya, “Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan”.
Ada pula pendapat yang mengatakan, pohon-pohon yang menutupi demikian memiliki konteks memberi tempat untuk berteduh disebut sebagai jannatun (جَنَّةٌ). Sebagaimana sebuah syair:
مِنَ النَّوَاضِحِ تَسقِي جَنَّةَ سَحِقًا
Artinya, ”Dari tetesan-tetesan yang turun itu pohon yang memberikan tempat berteduh mendapatkan siraman.” (al-Ashfahani, 2020: 418)
Dalam uraian Raghib al-Asfahani, surga juga dimaknai jannatun (جَنَّةٌ), yakni disamakan dengan kebun di bumi, meski memiliki hakikat yang berbeda. Yang mana, maksud di sana adalah tertutupnya nikmat-nikmat yang ada di sana dari kita. Demikian ini Allah lukiskan dalam Qur’an Surat As-Sajadah ayat ke-17:
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ أُخْفِىَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَآءًۢ بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Artinya, “Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata”.
Kata jannatun (جَنَّةٌ) seakar dengan kata al–jinn (الجن); al–majnun (المجنون) yang bermakna gila, sebab tertutupinya akal manusia; dan al-Jinnah (الجِنَّة) yang bermakna janin sebab ketersembunyian sang anak di balik perut ibunya.
Ketiga kata tersebut tersusun dari akar kata janana (جَنَنَ) yang memiliki arti ketertutupan atau ketersembunyian sesuatu di balik sesuatu. Sementara itu, kata al-jannu (الجَنُّ) yang memiliki arti menutupi sesuatu dari pancaindra (al-Ashfahani, 2020: 417); menurut pakar bahasa, semua kata yang tersusun dari kata janana yakni dari huruf jim (ج) nun (ن), dan nun (ن) memiliki arti ketertutupan dan ketersembunyian.
Prof. Quraish (2005: 642) menguraikan dalam tafsirnya, hutan yang lebat, atau kebun dimaknai sebagai jannah sebab mata tak dapat menembusnya, yakni tak dapat melihat apa yang tersembunyi di dalamnya, serta surga dimaknai jannah sebab ketersembunyian ragam anugerah Ilahi.
Demikian penjelasan tafsir kata al-jannah (الجنّة) yang terdapat pada Qur’an Surat Saba’ ayat 15-16 berdasarkan pendapat beberapa ahli tafsir.