“Turun mesin” adalah salah satu kiasan untuk menyebut perempuan yang menurun performa seksualitas dan fisiknya akibat melahirkan. Kiasan ini menjadi cukup viral beberapa waktu lalu karena disampaikan oleh seorang da’i kondang, yang ditujukan kepada istri pertamanya yang baru dijatuhi thalaq.
Usia istri pertamanya memang lebih tua dari istri keduanya, namun apa pun alasannya baik untuk sekadar bercanda maupun mengungkapkan makna sesungguhnya, penyebutan tersebut sangat tidak manusiawi.
Secara biologis dan kodrati, perempuan memang akan memasuki masa di mana ketahanan fisik dan gairah seksualitasnya menurun. Masa tersebut dikenal dengan menopause, dan laki-laki akan mengalami fase andropause. Namun keduanya memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Seperti apa perbedaannya, dan bagaimana dampaknya?
Dalam kitab Manbaus Sa’adah karya KH. Faqih Abdul Qadir dijelaskan bahwa menopause pasti akan dialami oleh perempuan. Ditandai dengan berakhirnya masa haid dimulai dari usia 40 tahun dan atau menjelang usia 50 tahun.
Perbedaan datangnya masa menopause bagi perempuan berkaitan dengan pola hidupnya dalam menjaga kesehatannya. Bagi perokok, atau penikmat makanan cepat saji biasanya akan mengalami menopause lebih dahulu dibanding dengan perempuan yang menjaga pola hidup sehat.
Sedangkan masa andropause tidak termasuk dalam salah satu fase biologis laki-laki. Pola hidup yang sehat, olahraga teratur, dan makan makanan yang sehat akan menghindarkan laki-laki dari datangnya masa andropause ini.
Dampak secara biologis yang dialami oleh perempuan yang memasuki masa menopause dan laki-laki di masa andropause adalah menurunnya gairah seksualitas, emosional yang tidak teratur, bisa merasakan sedih dan gembira secara tiba-tiba, dan kekuatan fisik menurun.
Dalam Qs. Ar-Rum ayat 54 dijelaskan bahwa:
“Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.”
Ketika memasuki masa menopause dan adropouse, melemahnya fisik di masa tersebut sama dengan masa-masa awal pertumbuhan manusia. Ia kembali menjadi anak kecil yang haus akan perhatian, emosi yang cepat berubah, dan ingin selalu dimengerti layaknya seorang anak kecil.
Menurut Rostiana (2008) tingginya kecemasan yang dialaminya disebabkan karena perubahan kadar estrogen. Muncul kekhawatiran dan kecemasan pada hal-hal yang sebenarnya baik-baik saja. Seperti khawatir tidak mendapat perhatian, khawatir ditinggal oleh orang-orang yang disayangi, dan khawatir akan perekonomian yang sebenarnya mungkin baik-baik saja. Fenomena ini memang hanya dirasakan oleh mereka, maka terkadang muncul juga kebingungan dari orang-orang yang ada di sekitarnya.
Permasalahan yang mungkin terjadi adalah ketika istri sudah memasuki masa menopause, sedangkan suami tidak mengalami andropouse. Gairah seksualitas istri menurun, sedangkan gairah suami masih stabil. Perempuan ingin dimengerti karena keadaan emosionalnya yang tidak stabil, sedangkan suami juga menuntut dimengerti karena kebutuhan fisiknya yang tetap kuat.
Atau bisa juga sebaliknya, suami memasuki masa andropause sedangkan istri masih bergairah muda dan belum menopause. Gairah seksualitas suami menurun sedangkan gairah istri masih menggebu.
Maka yang terjadi adalah konflik rumah tangga di usia senja. Bahkan muncul fenomena perceraian di usia senja, akibat tidak adanya pengetahuan mengenai kedatangan kedua fase tersebut. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Hervin Yoki Pradikta, dan Maya Noviana Sari.
Yang dibutuhkan oleh perempuan yang memasuki masa menopause dan masa andropause bagi laki-laki ini adalah pengertian dari pasangan maupun dari anak. Dukungan dari orang terdekat terutama dari pasangan dan anak sangat mempengaruhi psikis mereka yang memasuki fase ini.
Sedangkan perlakuan sebaliknya akan dapat memperuncing konflik pasangan di usia senja. Perlu dipahami bahwa datangnya menopause adalah suatu kepastian karena masuk dalam siklus reproduksi perempuan. Tidak berkaitan dengan ketidakmampuannya dalam menjaga kebersihan dan kesehatan.
Sedangkan andropause bukan siklus pasti bagi laki-laki. Bisa dihindari jika diiringi dengan pembiasan pola hidup sehat.
Ketika memasuki fase ini, kedua pasangan baik suami dan istri seyogyanya kembali mengingat komitmen awal dalam membangun rumah tangga. Yaitu menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Komitmen untuk selalu bersama baik suka maupun duka, saling menjaga, dan saling bekerja sama untuk menghadirkan kebahagiaan dalam rumah tangga. Meskipun tak lagi di usia muda, namun kembali mengingat komitmen tersebut akan dapat meminimalisir konflik di usia senja.
Maka mengingkari kehadiran fase monopuse dan andropause dan bahkan meninggalkan salah satu dari keduanya yang sedang berada dalam fase ini dengan alasan menurunnya gairah seksualitasnya sesungguhnya juga bertentangan dengan Qs. Maryam ayat 4, yang berbunyi:
“Dia (Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku.”
Keduanya baik laki-laki maupun perempuan memiliki peluang untuk mengalami fase “turun mesin”. Namun kedatangan fase tersebut bagi perempuan adalah suatu hal yang kodrati, tidak dapat dihindari, pun tak dapat diingkari. Sehingga peluang untuk lebih cepat mengalami fase menopause lebih tinggi daripada fase andropause.
Maka baik perempuan maupun laki-laki harus melakukan tindakan preventif sebelum memasuki fase ini. Antara lain dengan menumbuhkan kesadaran kembali akan tujuan hidup dalam agama, dan memanfaatkan lembaga konseling keluarga ketika dirasa kehadiran fase tersebut sudah mulai dirasakan oleh salah satu pihak dan mulai mengganggu keharmonisan rumah tangga.
Yoki Pradikta, dan Maya Noviana Sari, Analisis Faktor Perceraian Suami Istri Di Usia Senja (Studi Kasus Pada Masyarakat Kec. Teluk Betung Timur Kota Bandar Lampung). Diakses melalui ejournal.radenintan.ac.id
Rostiana. (2008). Kecemasan Pada Wanita Yang Menghadapi Menopause.
Fakih Abdul Qadir, Manbaus Sa’adah, (Fahmina Institut: Cirebon), 2021