Beberapa orang masih alergi dengan istilah dan pembahasan gender equality tanpa mempelajari substansi. Padahal jika dipelajari, konsep kesetaraan ini memiliki tujuan baik agar memandang orang lain sama di mata Tuhan tanpa membedakan seks dan gendernya. Namun tak bisa diingkari, isu kesetaraan ini menjadi sangat kompleks karena dilatarbelakangi oleh pandangan patriarkis yang lahir lebih dini.
Pandangan patriarkis ini banyak mempengaruhi norma sosial yang berpengaruh pada relasi terkhusus antara perempuan dan laki-laki. Bahkan dalam pemaknaan konsep relasi keluarga, laki-laki seringkali dimaknai sebagai superior, dan perempuan yang melayani.
Apalagi konsep relasi tersebut dikuatkan dengan dogma dan tafsir agama yang diyakini sebagai kebenaran mutlak. Padahal jika mendalami makna universal dari konsep relasi, juga pendalaman pada ajaran tauhid yang kita yakini, maka akan sampai pada makna nilai bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi hamba Allah. Tidak menuhankan orang lain dan tidak menjadikan orang lain menghamba kepadanya.
Lalu, bagaimana membicarakan gender equality pada pasangan? Terutama jika pasangan atau calon pasangan tersebut belum memahami dan mempelajarinya. Hal ini penting sekali untuk yang ingin menerapkan nilai-nilai kesalingan dalam berkeluarga. Ia harus meyakini bahwa pasangan atau calonnya memiliki konsep pemahaman dan perspektif yang sama dalam memandang relasi dan segala sesuatu yang terkait dengannya.
Misalnya dalam konsep nafkah dan seks. Jika merujuk pada kewajiban laki-laki memberi nafkah seperti yang termaktub dalam Surah An-Nisa ayat 34 dan kewajiban perempuan melayani semua kebutuhan biologis suami. Dengan rumusan normatif prinsip relasi mu’asyarah bil ma’ruf saling berbuat baik antara laki-laki dan perempuan, maka prinsip ini membuka fleksibilitas bahwa perempuan juga bisa berkontribusi dalam hal nafkah. Begitupun laki-laki dituntut memenuhi kebutuhan seks perempuan.
Prinsip fleksibilitas dalam dua hal tersebut sangat penting diterapkan. Hal ini karena nafkah tunggal yang diberikan salah satu pihak seringkali dijadikan sebagai alat penyalahgunaan kekuasaan (abuse power) untuk menindas pasangannya. Apalagi di masa pandemik seperti ini, banyak orang yang terdampak covid-19 yang terpaksa harus kehilangan pekerjaan. Maka kerjasama keduanya dalam memenuhi kebutuhan keluarga itu sangat diperlukan.
Begitupun dengan urusan keturunan. Hal tersebut harus dibicarakan sebelum pernikahan. Karena tak jarang kasus poligami baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi atau perceraian dapat terjadi karena tidak memiliki keturunan.
Dalam hal mengomunikasikan gender equality baik dengan pasangan maupun orang lain, menurut Gender Inclusive Communications, ada tiga hal yang harus diperhatikan: Pertama, menyamakan persepsi tentang gender equality. Artinya seseorang tidak boleh didiskriminasi hanya karena jenis kelaminnya. Kedua, menjadikan gender equality tersebut bukan hanya sebagai isu perempuan, tetapi juga isu laki-laki, agar keduanya tidak terbebani pada lingkaran stereotype patriarki.
Ketiga, tidak mendominasi percakapan saat berkomunikasi. Baik laki-laki maupun perempuan harus sama-sama memahami pola pikir dan segala sesuatu yang melatarbelakanginya. Maka dalam berbagai hal, komunikasi sangat berperan penting dalam menjalin relasi untuk mencapai kesepakatan bersama dalam proses negoisasi.
Jika prinsip-prinsip tersebut diterapkan dalam berelasi, keduanya mencapai kesepakatan dalam bernegosisasi. Segala kebutuhan keduanya terpenuhi. Bukankah akan lebih indah menjalani relasi untuk mencapai ketenangan jiwa (sakinah) dan penuh cinta kasih (mawaddah wa rahman) dalam ikatan pernikahan.