Saya tidak pernah membayangkan bahwa apa yang saya tulis secara berseri dalam instagram story saya akan mendapatkan respons sebaik ini. Beberapa teman mengaku menyukai instastory tersebut dan berbaik hati membagikannya.
Instastory itu berisi tulisan-tulisan pendek yang saya tujukan kepada seorang perempuan bernama “Amrina Rosyada”. Sudah barang tentu nama itu hanyalah fiktif belaka, sebagaimana seorang pengarang memberi nama pada tokoh yang ditulisnya. Atas permintaan beberapa teman, instastory itu saya jadikan “sorotan” supaya masih bisa dinikmati sampai sekarang dan nanti.
Gara-gara instastory itu, seorang mahasiswa yang sedang KKN meminta saya untuk berbagi pengetahuan mengenai kesetaraan gender. Memang salah satu gagasan utama instastory itu adalah bagaimana seharusnya seorang laki-laki memandang perempuan. Tentu menurut pendapat saya yang mungkin keliru itu.
Ia merasa bahwa ada nuansa “adil gender” dalam serial story “Amrina Rosyada.” Oleh sebab itu ia ingin mengulik gagasan-gagasan yang ada di dalamnya sekaligus mengontekstualisasikannya dengan isu-isu seputar keadilan gender yang ada di masyarakat.
Kalau kita analisis dengan saksama, adanya intimidasi, diskriminasi, persekusi, atau penindasan, adalah karena adanya kesadaran akan si kuat dan si lemah. Tindakan tidak terpuji tersebut bisa dilakukan oleh siapa saja, tetapi satu hal yang pasti adalah tindakan itu dilakukan oleh orang yang merasa diri lebih kuat.
Golongan tertentu yang mempersekusi kelompok tertentu, misalnya, pasti dilatari kesadaran bahwa mereka meyakini bahwa mereka lebih kuat. Aparat yang bertindak sewenang-wenang terhadap demonstran, umpamanya, pasti didasari kesadaran bahwa ia lebih superior ketimbang para demonstran.
Demikian pula halnya dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Apabila salah satu di antara mereka merasa diri lebih superior, maka potensi untuk berlaku tidak adil dari salah satu pihak akan semakin besar.
Seorang suami yang merasa diri lebih superior dalam segala hal, punya potensi besar bukan hanya untuk memperlakukan istrinya tidak dengan baik, bahkan lebih jauh bisa bertindak sewenang-wenang kepadanya. Demikian pula, istri yang merasa lebih superior, akan bertindak terlampau jauh, berani mengatur dan memaksa suaminya. Inilah mengapa pemahaman akan kesetaraan itu penting.
Mencari titik persamaan antara laki-laki dan perempuan, dengan demikian, adalah sesuatu yang tidak bisa kita elakkan. Titik persamaan itu ternyata ada dalam apa yang dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 disebut “An-Nas” atau manusia.
Laki-laki dan perempuan, masih mengacu pada surat Al-Hujurat ayat 13, keduanya adalah sama-sama manusia. Sama-sama makhluk ciptaan Allah. Dan kedudukan keduanya ditentukan oleh kadar ketakwaannya. Inna akramakum ‘indAllahi atqakum.
Menyadari kesetaraan adalah, kalau boleh saya katakan, pintu gerbang untuk bersikap adil gender. Kita bisa menggeser pandangan-pandangan lama yang tidak adil gender dengan menyadari kesetaraan tersebut.
Dua pandangan bias gender (yang lain masih banyak) yang masih kerap muncul dalam fragmentasi sosial masyarakat kita hingga saat ini adalah perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi dan perempuan lebih baik menikah cepat. Dua hal itu, menurut subjektivitas saya, adalah pandangan-pandangan lama yang harus kita tinggalkan.
Mereka yang berpandangan perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi beralasan bahwa perempuan berpendidikan tinggi justru akan membuatnya berani melawan suami. Selain itu juga bisa membuatnya menjadi perempuan yang “ditakuti” oleh laki-laki. Laki-laki minder mendekatinya karena ia terlalu “tinggi”.
Pandangan semacam itu, sekali lagi, harus kita tinggalkan karena sudah tidak relevan lagi. Sebaliknya, perempuan justru perlu didukung untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi. Mengapa? “Perempuan,” mengutip peribahasa yang sangat familiar, “adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.”
Semakin tinggi pendidikan seorang ibu, maka semakin besar kemungkinan ia bisa mentransfer hal-hal yang baik kepada anaknya. Pendidikan seorang ibu, singkatnya, sangat menentukan kualitas lahirnya seorang anak.
Dan lagi, asumsi bahwa semakin perempuan berpendidikan tinggi semakin berani ia, tidaklah benar seluruhnya. Semakin perempuan berpendidikan, ia justru semakin menghormati laki-laki. Sebagaimana semakin berpendidikan seorang laki-laki, semakin menghormati perempuan.
Pandangan bias gender lainnya adalah pernikahan dini perempuan. Di desa-desa, khususnya, anggapan bahwa perempuan harus menikah cepat agar tidak menjadi beban keluarga, masih ada.
Perempuan dinikahkan sedini mungkin. Karena belum siap, tidak sedikit pernikahan itu kemudian berakhir dengan perceraian.
Keputusan sebesar menikah, tidak selayaknya hanya beralasan agar tidak menjadi beban keluarga. Pandangan semacam ini, oleh karena itu, juga harus kita tinggalkan.
Berkaitan dengan hal ini, menarik apa yang disampaikan oleh Nur Rofiah, seorang feminis cemerlang asal Randudongkal Pemalang Jawa Tengah. Menurutnya, setidaknya ada empat pilar pernikahan yang sangat penting.
Pertama, zawaj atau kesadaran berpasang-pasangan. Kesadaran akan zawaj ini menjadikan masing-masing menyadari bahwa setiap manusia memiliki kekurangan. Kehadiran seorang pasangan, dengan demikian, adalah untuk saling melengkapi.
Kedua, mitsaqan ghalidza atau perjanjian agung. Individu yang hendak menikah semestinya menyadari bahwa pernikahan adalah perjanjian yang sangat dahsyat. Perjanjian ini, oleh karena itu, tidak bisa dipermainkan.
Ketiga, muasyarah bi al-ma’ruf atau berinteraksi dengan cara yang baik dan benar. Memahami posisi masing-masing, memiliki perspektif kesetaraan sehingga tidak menyakiti satu sama lain, adalah bagian dari pilar yang ketiga ini.
Keempat, musyawarah. Keputusan-keputusan yang hendak diambil dalam biduk rumah tangga seharusnya dimusyawarahkan terlebih dahulu.
Kesadaran akan empat hal itulah yang seharusnya menjadi prasyarat bagi seseorang untuk menikah. Bukan agar tidak menjadi beban orang tua apalagi karena omongan-omongan tetangga.
Walhasil, poin-poin di atas adalah jawaban saya atas pertanyaan “Siapa Amrina Rosyada?” Siapa Amrina Rosyada dalam instastory saya tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah pandangan yang ingin saya sampaikan khususnya berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Wallahu a’lam bis shawab.