Hari ini kita berada pada zaman yang (mungkin) tidak terbayangkan sebelumnya. Di mana antusiasme beragama masyarakat kita menunjukkan tren yang cenderung meningkat dalam dua dekade ini. Setelah pada rezim pemerintahan Orde Baru (Orba) mengalami sejumlah kerterbatasan. Zaman di mana sebuah ekspresi keagamaan, misalnya penggunaan jilbab pernah dianggap sebagai sikap oposan oleh pemerintah yang tengah berkuasa pada saat itu.
Kini ekspresi keagamaan itu kian longgar seiring dengan runtuhnya rezim Orba. Tidak ada lagi pelarangan penggunaan jilbab. Kegiatan pengajian kian mudah ditemui di lingkungan sekitar kita. Dakwah-dakwah keagamaan semakin bergemuruh melalui kanal youtube dan live streaming media daring.
Namun sayangnya, semakin banyak orang yang belajar agama tidak lantas membuat mereka lebih bijaksana dalam menyikapi perbedaan. Tepat pada titik inilah kita sungguh rawan berseteru bahkan memicu tindakan intoleransi.
Kita seperti dengan mudah menyalahkan bahkan mengkafirkan orang lain hanya berbekal satu ayat yang dipelajari kemarin sore pada sebuah kajian keagamaan. Parahnya lagi pemikiran seorang doktor atau profesor bisa dipecundangi tanpa ampun oleh satu kalimat. Cukup dengan mendamprat liberal, Syi’ah, kufur, disertai dengan doa yang penuh arogansi semacam “semoga kamu mendapat hidayah”.
Padahal perlu dipahami bersama bahwa kita hidup di negeri yang majemuk, secara keyakinan maupun kebudayaan (tradisi). Maka tidak ada kepantasan bagi kita, dalam paham, aliran, dan mazhab Islam apa pun untuk saling menjatuhkan, menjelek-jelekkan, dan sesat-menyesatkan. Secara naqli dilarang, secara aqli sungguh tidak masuk akal.
Ali bin Abi Tahlib pernah menasihatkan, “Jika kita tidak sama dalam pemahaman, kita bersaudara dalam iman. Jika kita tidak sama dalam iman, kita bersaudara dalam kemanusiaan.”
Nasihat tersebut kiranya penting untuk kita renungkan kembali terlebih sebentar lagi kita akan menyambut Peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Momen perayaan ini bisa dimaknai dengan meningkatkan literasi tentang Pancasila itu sendiri. Mengingat masih ada beberapa oknum yang dengan sengaja membangun narasi-narasi, membenturkan Islam dengan Pancasila.
Persoalan seperti ini tentu tidak bisa dianggap remeh. Rendahnya literasi tentang konsepsi hubungan agama (baca: Islam) dan negara berdasarkan Pancasila. Seringkali dimanfaatkan untuk membangun narasi bahwa Pancasila adalah ideologi sekuler, tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Inilah yang kemudian sangat disayangkan. Karena konsep hubungan agama dan negara menempati posisi yang strategis dalam kehidupan berbangsa. Kita tidak mungkin memisahkan status sebagai warga negara dengan umat beragama.
Mengutip apa yang dikatakan oleh Jannus TH Siahaan—sebagai toleransi kembar. Di mana negara dan agama saling menjaga jarak, sekaligus mendukung di ranah masing-masing.
Maksudnya begini, negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi kebebasan beragama. Dan di sisi lain, agama memiliki peran menguatkan negara melalui pengembangan etika politik yang beradab. Dengan kata lain, salah satunya tidak bisa hidup tanpa yang lain.
Selain dalam konteks pemahaman tentang Pancasila yang masih rendah. Kita juga masih hantui dengan menguatnya sikap konservatif dalam beragama akhir-akhir ini, terutama Islam. Sebut saja gerakan radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme.
Menurut laporan hasil survei Wahid Institute tahun 2017 menyebutkan bahwa 0,4 persen atau 600.000 penduduk Indonesia pernah bertindak radikal. Adapun 7,7 persen atau 11 juta orang berpotensi bertindak radikal.
Survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di tahun yang sama juga mencatat 39 persen mahasiswa di 15 provinsi di Indonesia terindikasi tertarik dengan paham radikal. Data ini bisa dijadikan potret bahwa radikalisme perlu mendapat perhatian serius.
Oleh karenanya pemahaman ihwal pentingnya memperkokoh komitmen Islam dan kebangsaan perlu dilakukan secara masif dan berkelanjutan. Sejarah mencatat, Islam dengan nafas kebangsaan telah menjadi kekuatan fundamental dalam upaya melawan kolonialisme.
Namun kini, narasi yang sudah lama berakar di atas akhir-akhir ini lambat laun mengalami perubahan sebagaimana yang diungkapkan oleh pelbagai studi dan riset atas Islam Indonesia. Ada semacam kecenderungan baru untuk menceraikan keislaman dan keindonesiaan.
Pengalaman keislaman dan keindonesiaan yang sudah lama ditempuh oleh negeri ini seperti dipertentangkan. Bahkan tidak sedikit umat muslim Indonesia yang lebih percaya dengan ilusi khilafah daripada Pancasila.
Nah, mari kita kembali merenungi nasihat-nasihat dari guru-guru bangsa seperti Gus Dur, Quraish Shihab, dan Buya Syafi’i sering menyatakan jika keislaman dan keindonesiaan adalah dua hal yang tidak patut untuk dipertentangkan. Islam (kedamaian, kesejahteraan, keindahan) adalah agama yang cocok dengan karakter orang Indonesia.
Maka sudah semestinya kita bangga sebagai orang Islam Indonesia dengan karakteristik tersebut. Keislaman di Indonesia sudah lama menyatu dan keduanya saling mengisi. Hubungan keduanya mengutip apa yang dikatakan Syafiq Hasyim dalam artikelnya Keislaman dan Keindonesiaan: Mana Lebih Mengkhaawatirkan?–sebagai garam dan air lautnya.
Saya yakin ke depan sumbangan Islam Indonesia untuk perdamaian dunia akan semakin nyata. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah pionernya.
Pada akhirnya, Indonesia dengan Pancasilanya memiliki sifat keterbukaan, kedamaiaan, dan kesejahteraan. Hal tersebut sangat relevan dengan Islam yang membawa misi rahmatan lil ‘alamin. Pancasila Yes, Khilafah No.[]