Penggalian para arkeolog ke masa lalu mempertemukan benda-benda yang menyibak pembauran kultur dan pembentukan tata sosial-ekonomi kota. Salah satunya, Barus di situs Lobu Tua, Sumatera, sejak abad ke-9 sampai 12 Masehi menjadi pusat kehidupan multietnis. Kita membayangkan para saudagar dan pengelana dari pelbagai belahan dunia turun di pelabuhan yang ramai. Mereka saling mempertukarkan benda-benda yang sengaja memberadakan diri agar dibaca atau masih digunakan sebagai perkakas di masa mendatang.

Barus adalah pelabuhan besar atau pusat perdagangan internasional pada masanya. Inilah tempat temu persilangan budaya Nusantara dan negeri-negeri asing (India, Sri Lanka, Timur Tengah, dan Cina) serta bagian dari jaringan persebaran Islam (Barus Seribu Tahun yang Lalu, Claude Guillot: 2017).

Dunia Islam dan Melayu berpadu di Barus, menarik pencatatan bagi para penjelajah, peneliti, atau pengarung lautan. Di antara temuan benda pecah-belah, kendi ditemukan dari kedalaman sejarah. Berdasarkan ciri fisik dan pembuatan, pecahan kendi merujuk ke Asia Barat, tempat terjadinya pertemuan kultur Cina, India, dan Timur Tengah. Dari wilayah bersifat sakral, menahbiskan kendi sebagai perkakas spiritual. Geografis Indonesia yang memiliki banyak gunung menautkan air dan adab agraris.

Dituturkan oleh Lydia Kieven dalam Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit (2014), gunung menjadi pusat simbolisme alam semesta dan kekuatan kehidupan dengan mengalirkan air menuju lembah-lembah. Jawa klasik menempatkan air sebagai unsur religius dalam ritual keagamaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya perkakas pewadah air, seperti kendi. Demi pertemuan dengan Pencipta yang memberikan air dan alam, kendi mewadahi doa dan syukur. Wadah tidak cuma wadah untuk menampung, tapi juga menyimbolkan pengairan batin agar tidak gersang.

Kendi jamak ditemukan di pusat ritual keagamaan masa lampau, seperti candi. Di sumber mata air (sendang) dan makam, kita pun masih menyaksikan kendi sebagai wadah kerakyatan yang mengantarkan orang-orang biasa melakukan penyucian dan berjumpa dengan leluhur.

Kosong Blong

Sindhunata dalam esai Ngelmu Susu dan Ngelmu Kendi (1999) menautkan kendi dengan rasa pasrah lewat sosok panutan bersaha bernama Mbah Sumo yang meneguk air dari kendi dan memberikan kepada orang sekitar. Sampai kendi kosong, itulah yang dinamakan pasrah. Pasrah, sumeleh, ora grusah-grusuh tidak hadir hanya lewat penggalian batin, tapi juga dari tindak batin.

Kita cerap, hanya dengan menjadi seperti kendi yang membiarkan dirinya diteguk ke sana kemari, maka kami akan bisa meraih rasa pasrah dan sumeleh. Kita harus memberikan air kepada siapa saja, sampai kendi kehidupan kami kosong, dan dalam kekosongan itulah kami memperoleh rasa pasrah. Air dan kendi sekaligus menjadi metafora segala yang termiliki untuk mengabarkan laku humanis yang bersifat universal.

Ilmu kendi itu bukan ilmu selalu mengisi atau mencari. Ngelmu kendi adalah ilmu kosong blong, keluarlah dari dirimu dan berikanlah dirimu, baru dengan demikian kamu akan memperoleh apa yang kamu cari: rasa pasrah.

Sering dalam pencarian diri, orang sibuk dengan penemuan batinnya sendiri. Ia menginginkan kesalehan dan ketentraman yang terlalu personal sampai lupa memberikan diri. Seberapa penuh iman humanisme kita, itu seperti kekosongan kendi yang telah terbagi-bagi.

Kendi dalam wujud polos tanpa hiasan dan bertubuh montok masih umum dijumpai sampai tahun 90-an. Ada prosesi panjang untuk sampai memasuki sendi-sendi kebersajahaan hidup di desa dengan cukup mapan. Terutama, kendi mewujud perkakas atau wadah minum yang melegakan dahaga sehari-hari. Di Indonesia dengan iklim tropis yang terkadang sangat menggerahkan, orang-orang cenderung menginginkan sesuatu yang segar. Air pun tersegarkan di dalam perut kendi bersama renik-renik tanah liat yang memberikan rasa nyes.

Kesegaran ini jauh lebih dulu terjadi sebelum listrik menyalurkan gaya hidup serba adem dan konon awet di dalam benda kotak bernama kulkas. Kita bisa menyimak serpihan biografis penulis sekaligus peneliti keislaman, M. Fauzi Sukri, di buku antologi esai bersama Ngombe (2018). Kendi bukanlah perkakas personal, tapi perkakas sosial.

Di kampung halaman tercinta, Banjar, Bangkalan, Madura, Fauzi kecil dan anak-anak sebayanya semacam wajib latihan menenggak air langsung dari kendi tanpa menyentuh bibir kendi. Dikatakan, tentu tidak boleh menggunakan bibir, mengemut ujung kendi. Kendi adalah peralatan bersama, bahkan disuguhkan kepada tamu, bukan milik pribadi. Fauzi menyadari pemodernan wadah air dalam bentuk teko plastik, porong alumunium, dan bahkan galon akua kemasan mulai menghilangkan kendi dengan cepat.

Serpihan kendi yang terkubur di kedalaman tanah masih mengingatkan pada keutuhan identitas kultural, religius, dan sosial. Penggalian mungkin tidak mengembalikan kendi ke kekuyupan sehari-hari, tapi tetap ada entitas yang ditinggalkan dan patut diingat. Pernah di suatu masa pada sebuah suasana, kendi menempa hakikat hidup bersosial sekaligus membiarkan kita menenggak kesegaran entitas dari bibirnya.

Leave a Response