Saya mengikuti jalannya perdebatan masyarakat di jagat media sosial mengepung “The Santri”, sebuah film besutan Livi Zheng dan Nahdlatul Ulama beberapa hari ini. Kritik itu disampaikan oleh Hanif Alatas, ketua Front Santri Indonesia (FSI) yang menyebut bahwa The Santri sama sekali tidak mencerminkan lakon kehidupan “santri” yang sebenarnya. Sedang oleh Luthfi Bashori, “The Santri sama sekali tidak mendidik. Ada akting pacaran, campur aduk laki-laki dan perempuan, hingga membawa tumpeng ke gereja”. Keduanya sama-sama mengimbau agar masyarakat tidak menonton film tersebut.

Untuk ukuran sebuah teaser, kedua pernyataan di atas sebenarnya terlalu dini untuk disampaikan ke publik. Tidak mudah menarik kesimpulan inti dari sebuah film hanya lewat klip berdurasi 2 menit 45 detik, dengan dialog yang terpotong-potong berikut ragam plot yang berpindah dengan cepat. Selain itu, film The Santri sendiri baru akan masuk tahap produksi pada bulan Oktober 2019 mendatang. Jadi, kita masih belum punya jawaban pasti apakah The Santri itu memang mencerminkan lakon kehidupan “santri” atau tidak. Semuanya masih abu-abu.

Untuk itu, perlu sedikit lebih intim untuk memeriksa argumen-argumen di atas agar bias dapat terhindarkan. Memang, jika menyilisik beberapa potongan klip dalam teaser The Santri, kita akan menemukan hal-hal yang mengguncang kesadaran: “santri di pondok pesantren mana memangnya yang saling bersitatap dan pacaran, serta membawa tumpeng ke gereja?” Dari kalimat tersebut, setidaknya kita mendapati bahwa ada tiga pokok persoalan penting yang setidaknya memicu ketegangan dalam film The Santri: santri, pondok pesantren, dan gereja.

Bayang-bayang Definisi

Argumen pertama yang hendak saya sitir dalam tulisan kali ini adalah makna kata “santri”. Ada beragam literatur yang setidaknya telah membahas definisi dan konsep santri. Satu di antaranya adalah Nurcholis Madjid yang membagi asal-usul kata santri ke dalam dua pendapat utama. Pertama, menurut Cak Nur, “santri” secara etimologis berasal dari bahasa Sanskrit “sastri” yang artinya melek huruf. Cak Nur melandasi pandangannya terhadap definisi tersebut dengan merujuk lanskap sebuah kelas literasi bagi muslim Jawa yang mendalami Islam melalui kitab-kitab berbahasa Arab. Sedang kedua, kata santri merupakan sebuah padanan kata dalam bahasa Jawa “cantrik” yang bermakna seseorang yang selalu mengikuti guru kemana pun ia pergi.

Lebih dekat lagi, istilah santri adalah sebutan bagi sekelompok orang yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan ulama. Di kalangan pesantren, tugas seorang santri adalah iqamatuddin (menegakkan agama) dengan kewajiban menggali ilmu pengetahuan, menyebarluaskannya, dan turut serta berkontribusi dalam proses pembangunan masyarakat. Selain itu, gelar santri juga turut memberikan distingsi yang cukup jelas di dalam dunia pendidikan untuk seorang yang menjalani pendidikan Islam di Pesantren dan sekolah umum. Pendek kata, santri adalah sebuah predikat kehormatan, sebuah role-model, dan simbol yang merepresentasikan keluhuran spiritual dan keistimewaan budi pekerti.

Tetapi bukankah definisi ini tentu saja begitu membelenggu? Bagaimana jika ekspektasi terhadap santri yang dipenuhi kesempurnaan itu justru ambruk jika dihadapkan dengan realitas, bahwa di luar sana ada santri yang pacaran atau setidaknya pernah melirik lawan jenisnya dengan penuh kesadaran—sebagaimana hal tersebut diperlihatkan di dalam teaser film The Santri? Apakah kita akan menghakimi santri-santri itu dengan sebutan bobrok dan tak beretika? Atau, haruskah kita mencabut predikat santri itu dari seorang siswa atau mahasiswa meskipun mereka tinggal dan hidup di lingkungan pesantren?

Di dalam Semiotics and the Philosophy of Language (1984), bagi seorang filsuf Italia Umberto Eco (1932-2016), simbol itu tidak selamanya dapat merepresentasikan makna aslinya ketika diperhadapkan dengan realitas. Sebab, bisa jadi muncul ragam interpretasi makna terhadap satu model objek. Itu sebabnya, bagi Eco, paling tidak manusia memerlukan kesamaan visi dalam mencerapnya sebuah informasi agar makna yang dihantarkan setidaknya dapat diketahui secara umum. Model ini hampir bisa diperoleh di dalam setiap proses komunikasi. Eco lalu membuat lima klasifikasi dalam memaknai pesan simbolik: sumber, penyampai pesan (sender), medium (channel), pesan (message), dan penerima pesan (receiver).

Jika kita menggunakan klasifikasi Umberto Eco dalam membedah film The Santri, maka: (1) sumber ide dari film tersebut bakal merujuk kepada situasi kebangkitan fundamentalisme keagamaan yang selama ini menjadi konsentrasi NU; (2) penyampai pesan (sender) adalah NU (secara kelembagaan) yang secara langsung diinisiasi oleh KH. Said Aqil Siradj; (3) channel, atau media yang digunakan adalah film The Santri; (4) pesan yang ingin disampaikan yakni ingin menampilkan citra Islam yang toleran, ramah, dan damai; serta (5) penerima pesannya (receiver) adalah publik masyarakat Indonesia. Bagi Eco, keseluruhan proses ini harus dilewati jika kita ingin mendapatkan makna utuh sebuah simbol.

Lantas, bagaimana bisa menarik kesimpulan yang utuh bahwa The Santri adalah sebuah film yang cenderung liberal dan tak beretika sama sekali jika pesan yang ditampilkan hanya sekadar teaser? Apa pesan tidak bermoral yang diperoleh dari durasi klip yang tidak lebih dari tiga menit itu? Tidak ada. Sayangnya di sisi lain, kondisi ini tidak juga begitu menguntungkan bagi NU sendiri. Memperlihatkan The Santri kepada khalayak publik justru memunculkan kontroversi dan kritik sana-sini. Sebab, publik kita terlanjur mengamini definisi fixed santri sebagai simbol keluhuran akhlak. Alhasil, The Santri tidak lain pada dasarnya hanya memperlihatkan distingsi antara dua kutub yang berbeda: intensi Islam ala NU dan bayang-bayang persepsi publik.

Menjernihkan Prasangka terhadap Islam

Salah satu adegan yang cukup menohok ditampilkan dalam teaser film The Santri adalah dua orang wanita berjilbab memberi tumpeng kepada pendeta Kristen di salah satu gereja. Diiringi tepuk tangan, senyum terpancar di wajah mereka. Namun sayang, adegan ini disambut dengan kritik tajam oleh publik. Tetapi kali ini barangkali cukup serius. Masyarakat Muslim ramai-ramai mengutuk cuplikan video itu dengan meminjam salah satu ayat dalam Qs. Al-Baqarah ayat 120, yang berbunyi:

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”

Menurut Nadirsyah Hosen, penjelasan tafsir Qs. Al-Baqarah ayat 120 ini tergambar setidaknya di dalam  tiga pandangan. Pertama, Tafsir Ibn Katsir, yang menyatakan bahwa ayat ini dikhususkan hanya kepada Nabi Muhammad agar beliau diminta fokus mengharapkan ridha Allah, dan tidak perlu mencari-cari cara untuk menyenangkan Yahudi dan Nasrani. Kedua, di dalam Tafsir al-Baghawi, Qs. Al-Baqarah ayat 120 menceritakan kondisi Nabi Muhammad sedang berada dalam kondisi perang dengan Yahudi dan Nasrani dan tiba-tiba diminta untuk melakukan genjatan senjata dengan janji kedua kaum tersebut akan mengikuti Nabi, padahal permintaan itu tidak lain hanyalah sebagai alasan agar perang dihentikan, bukan tanda mereka rela. Dan Ketiga, pandangan Ibn Abbas terhadap ayat ini merujuk pada satu kasus di mana kiblat Yahudi Madinah dan Nasrani Najran mengharap pada Nabi agar ketika shalat menghadap kiblat mereka.

Jadi, secara tegas, setidaknya kita dapat melihat bahwa urgensi Qs. Al-Baqarah 120 sebenarnya bertitik pangkal pada tugas kenabian Nabi Muhammad Saw. Konteks turunnya ayat tersebut juga menggambarkan situasi yang tidak kondusif antara ketiga agama Ibrahim (Islam, Yahudi, Kristen). Maka Allah memerintahkan agar Nabi Muhammad tidak berharap kepada kedua kaum tersebut. Sebab, boleh jadi hasilnya adalah tipu daya dan propaganda. Jauh dari konteks dan situasi turunnya Qs. Al-Baqarah ayat 120 di masa Nabi, masyarakat kita tidak sedang berperang. Relasi Islam dan Kristen saat ini justru sedang gencar-gencarnya dibangun berdasarkan prinsip kosmopolitanisme, dalam artian menyatakan bahwa setiap manusia merupakan sebuah komunitas tunggal yang memiliki moralitas yang sama, meski memiliki perbedaan dalam keyakinan agama.

Di dalam potongan adegan tersebut,  film The Santri juga sebenarnya ingin menjernihkan kembali pandangan tentang Islam yang seringkali disalahpahami oleh masyarakat non-Muslim dalam dua situasi sekaligus. Pertama, film ini ingin menginformasikan kepada publik bahwa Islam itu adalah agama rahmah; kasih sayang adalah pangkalnya. Sehingga, tindakan apa pun yang berlawanan dengan rahmah, secara tidak langsung akan mengindikasikan bahwa Islam tidak seperti itu, atau itu bukan Islam. Kedua, dengan menggunakan “tumpeng” sebagai simbol, film ini berusaha menggambarkan nilai filosofis tumpeng sebagai sebuah tanda kebersamaan dan kerukunan; agar publik kita memahami bahwa antara Islam dan Nasrani bisa hidup berdampingan.

Dari Studi Islam ke Studi Muslim

Namun demikian, persepsi publik selamanya tidak pernah satu, melainkan dipengaruhi pengalaman dan pengetahuan masing-masing individu atau komunitas masyarakat. Bagi seseorang yang dibesarkan dalam tradisi Islam yang cenderung terbuka dan toleran, cuplikan video ini bisa jadi sebuah pelajaran berharga untuk membina hubungan tidak hanya pada sesama komunitas Muslim, namun juga umat beragama lainnya. Sedangkan, bagi masyarakat yang hadir di dalam sebuah komunitas Muslim yang cenderung keras dan kaku, maka tindakan seperti ini tidak lain dipandang sebagai sebuah pelecehan terhadap Islam.

Saya tidak berhak memutuskan manakah pandangan yang paling benar antara kedua kutub yang saling berseberangan terhadap fenomena di atas. Hanya saja, saya ingin menekankan bahwa pandangan-pandangan Muslim terhadap Islam itu bisa berbeda, dan ini dapat mempengaruhi proses terbentuknya identitas Islam seseorang. Bagi Gabriele Marranci dalam The Anthropology of Islam (2006), proses pembentukan identitas ini tidak terjadi dalam kurun waktu dan proses yang pendek, melainkan melibatkan kesungguhan, pengalaman, basis pengetahuan yang berlangsung dalam waktu yang bertahun-tahun. Selain itu identitas itu sifatnya temporal, berubah-ubah dan tidak tetap tergantung kondisi lingkungan sekitar. “Dibanding melakukan studi terhadap Islam,” ujar Marranci “studi terhadap Muslim menjadi lebih pantas untuk dilakukan.”

Marranci mengemukakan ilustrasinya, bahwa Islam itu ibarat “peta” kertas yang dibuat oleh seorang kartografer. Di dalam sebuah peta, tergambar jelas pepulauan, teluk, pantai, laut, pegunungan—yang seluruhnya ditandai dengan warna-warna berbeda. Peta boleh jadi menjadi sebuah karya yang abslut, tetapi bagaimanapun juga, realitas yang membentuk peta itu tidak akan pernah bisa tergambarkan secara detil kecuali dilakukan pengamatan lebih jauh terhadapnya. Kita bisa menyebutnya gunung secara umum, tetapi kita tidak bisa mengetahui apa sebenarnya persepsi seseorang lokal terhadap gunung, atau masyarakat seperti apa yang hidup di gunung tersebut.

Sama halnya dengan Islam diyakini oleh Muslim sebagai agama yang fixed. Tetapi boleh jadi persepsi masyarakat terhadap Islam itu berbeda-beda. Hal ini tidak lain karena kontur peradaban Islam di tiap tempat memang beragam, meskipun diikat oleh satu syahadat yang sama.  Jadi, tidak sepenuhnya benar jika kita menghakimi seseorang itu berpaham Islam garis keras, fundamental, dan radikal hanya karena ia menolak film The Santri. Sebaliknya, tidak semestinya bagi kita terlalu cepat memberi label “liberal” dan “sekuler” bagi sesuatu yang belum diketahui sebelumnya. Intinya, sebuah pemikiran, objek, definisi, dan simbol perlu diuji terlebih dahulu sebelum tergesa-gesa memberi penilaian. Apalagi di dunia yang serba kacau dengan permainan tanda, satu-satunya yang tersisa adalah kejelasan, bukan prasangka.

Wasallalahu ala Sayyidinaa Muhammad wa’ala aalihi washahbihi wasallam

Wallahu a’lam bisshawab…

 

 

Leave a Response