Berikut ini adalah halaman terakhir dari manuskrip kitab “Syarh Manahij al-Sa’irin”, sebuah karya Islam Klasik di bidang ilmu tasawuf karangan Syaikh Abd al-Razaq al-Qasyani (w.1329 M). Manuskrip ini merupakan koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta.
Menariknya, manuskrip ini merupakan hasil salinan tulis tangan Syaikh Mu’tashim Bagelen (Muhammad Mu’tashim b. Abdullah al-Bagalini al-Matarami), seorang ulama Nusantara asal Bagelen, wilayah Kesultanan Mataram Islam (Jawa) yang hidup di peralihan abad XVII-XVIII.
Sebagaimana tertulis di halaman akhir manuskrip tersebut, Syaikh Mu’tashim Begelen menyelesaikan karya salinannya ini pada hari Sabtu, 26 Muharram tahun 1116 Hijri (bertepatan dengan 31 Mei 1704).
Tertulis di sana:
(وكان الفراغ) في يوم السبت ستة وعشرين من شهر المحرم سنة 1116 ست عشر ومائة وألف من الهجرة النبوية على صاحبه أفضل الصلاة والسلام والحمد لله أولا وأخيرا ظاهرا وباطنا. وذلك بخط مالكه الفقير الحقير المعترف بالذنب والتقصير محمد معتصم عبد الله البكالين عفى الله عنه ولوالديه ولمشايخه الشافعي مذهبا الأشعري اعتقادا الشاطري طريقة. وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.
(Telah selesai menulis kitab ini) pada hari Sabtu Dua Puluh Enam dari bulan Muharram tahun 1116 Seribu Seratus Dua Puluh Enam Hijriah Nabawiyah. Semoga salawat dan keselamatan senantiasa tercurah bagi pemiliknya (Nabi Muhammad). Segala puji bagi Allah sedari awal dan akhir, zahir dan batin. Tulisan ini oleh tulisan pemiliknya seorang yang fakir dan hina, yang mengakui akan dosa dan kekurangan, Muhammad Mu’tashim Abdullah Bagelen. Semoga Allah memaafkannya, juga orang tuanya dan para gurunya. Yang mangakuti Imam Syafi’i dalam madzhab fikihnya, Imam Asy’ari dalam akidahnya, dan Imam Syathari dalam tarekatnya)
Dari keterangan di atas, kita bisa mendapatkan beberapa informasi penting terkait identitas penyalin, yaitu Syaikh Mu’tashim Bagelen, juga wacana seputar manuskrip tersebut.
Pertama, Syaikh Mu’tashim berasal dari Bagelen, sebuah kawasan penting di wilayah Kesultanan Mataram Islam (Jawa). Wilayah Bagelen sendiri menjadi karesidenan hingga awal abad ke-20 M yang membawahi beberapa distrik di sekitaran pesisir selatan Jawa Tengah saat ini, seperti Cilacap, Kebumen, Purworejo, dan Gunung Kidul.
Kedua, merujuk pada titimangsa penyalinan manuskrip, yaitu 1116 Hijri (1704 Masehi), yang merupakan masa produktif sang penyalin, dapat dipastikan Syaikh Mu’tashim Bagelen hidup pada peralihan abad ke-XVII dan XVIII. Kenyataan ini menjadi tambahan data dan informasi bahwa terdapat ulama Nusantara dari wilayah Mataram Jawa yang hidup pada kurun masa tersebut dan produktif melahirkan karya tulis.
Di masa yang bersamaan, yaitu peralihan abad ke-XVII dan XVIII, terdapat pula seorang ulama asal Mataram Jawa lainnya yang meninggalkan karya tertulis, yaitu Syaikh Abdul Mahmud b. Shalih al-Matarami (Syaikh Abdul Mahmud Mataram). Jejak karya Syaikh Abdul Mahmud Mataram ini berupa manuskrip salinan beliau atas kitab “al-Isfar” karya gurunya, yaitu Syaikh Ibrahim al-Kurani dari Madinah. Manuskrip salinan tersebut selesai dikerjakan oleh Syaikh Abdul Mahmud Mataram di kediaman Syaikh Ibrahim al-Kurani di Madinah, dengan titimangsa 1085 H (1674 M).
Ketiga, dalam keterangan yang saya dapatkan dari manuskrip tulisan Syaikh Mu’tashim Bagelen yang lainnya, didapati informasi jika beliau adalah murid dari Syaikh Abdul Rauf b. Ali al-Fanshuri al-Asyi al-Jawi, atau yang dikenal dengan nama Syaikh Abdul Rauf Singkel dari Aceh (w. 1693).
Keterangan ini tentu saja sangat menarik, karena selama ini murid Syaikh Abdul Rauf Singkel yang paling terkenal dan berasal dari Jawa, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Azra, Prof. Oman, dan yang lainnya, adalah Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (w. sekitar 1730), yang juga didaulat sebagai khalifah tarekat Syattariyah yang diriwayatkan dari Syaikh Abdul Rauf Singkel.
Wallahu A’lam.