Sebelum memulai pidato kebudayaan ini, mari kita sejenak menghadiahkan surat al-Fatihah untuk ruh para ulama Nusantara yang telah mewariskan kepada kita sebuah warisan agung peradaban di tanah air ini, yaitu “pesantren”.

Saya ingin mengawali pidato kebudayaan ini dengan mengemukakan sebuah kegelisahan, bahwa selama ini, oleh banyak pihak di dunia, eksistensi “peradaban Islam di Nusantara” seringkali dipandang sebagai “peradaban Islam pinggiran”, bukan “peradaban Islam arus utama” yang senantiasa terpisah dari narasi besar sejarah peradaban Islam di wilayah-wilayah lainnya.

Jika kita menelaah buku-buku sejarah peradaban Islam, maka pembahasan yang terbilang memadai yang terdapat dalam buku-buku itu adalah pembahasan tentang peradaban Islam di Timur Tengah, Andalusia, Turki-Usmani, Asia Tengah, dan Anak Benua India. Wilayah Nusantara hampir selalu tidak mendapatkan porsi yang layak dan memadai.

Jika kita menelisik narasi besar sejarah peradaban Islam dunia secara kronologis, maka yang kita temukan adalah sejarah Islam pada masa kenabian, sahabat, tabi’in, Umayyah, Abbasiyyah, Ayyubiyyah, Mamluk, Usmani, Safavi di Iran, dan Mughal di India lalu disambung dengan sejarah gerakan modernisme Islam

Padahal, sejatinya, sejarah peradaban Islam di kawasan Nusantara adalah sejarah yang sangat kaya. Kaya akan tokoh, kesultanan, para penguasa, para ulama, dan tak lupa utamanya kaya akan karya intelektual.

Selain itu, terdapat juga pandangan yang mengatakan bahwa sejarah peradaban Islam di kawasan Nusantara adalah sejarah peradaban Islam yang miskin karya intelektual, yang minim produk literasi dan peradaban aksaranya. Para ulama Nusantara disebutnya tidak memiliki karya genuin.

Pernyataan kurang tepat seperti di atas, akan terpupus ketika mata ini tertuju dengan seksama kepada satu ruang dunia yang mahakaya dan kayakarya, ruang yang selama ini seringkali kita lupakan, yaitu “Pesantren”.

Pesantren tidak hanya semata-mata pusat pendidikan karakter bangsa yang khas Nusantara, sebagaimana dikatakan oleh Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, yaitu Ki Hadjar Dewantara. Pesantren juga adalah episentrum pengembangan umat, bangsa dan negara.

Pesantren bukan hanya semata-mata sebagai pusat kegiatan pendidikan agama dan pendidikan karakter luhur yang sudah teruji selama berabad-abad lamanya, bukan hanya sebagai sentral dakwah agama Islam yang berkebudayaan, moderat dan toleran, bukan hanya sebagai kawah candradimuka yang melahirkan tokoh-tokoh pendiri dan pejuang kemerdekaan negara kita ini.

Pesantren adalah pusat terpenting penjaga peradaban aksara, penjaga ingatan kolektif bangsa Nusantara selama berabad-abad lamanya, penyambung lokus tradsisi intelektual Islam wilayah kepulauan Asia Tenggara ini dengan episentrum intelektual Islam lainnya di Timur Tengah, di Anak Benua India, di Asia Tengah, di Persia, di Arabia, di Lembah Nil, di Afrika Utara, di Andalus, di Asia Minor atau Anatolia, di Eurasia dan wilayah-wilayah lainnya.

Pesantrenlah yang telah men”silaturahimkan” Aceh dengan Istanbul, Banten dengan Makkah, Demak dengan Samarkand, Palembang dengan Zabid, Makassar dengan Madinah, Pasai dengan Andalus, Banjar dengan Damaskus, Madura dengan Kaukasia, Surabaya dengan Tabriz, Betawi dengan Hadramaut, Riau dengan Maroko, Minangkabau dengan Maroko, Malaya dengan Quds, Pattani dengan Crimea, dan seterusnya, dan seterusnya.

Saudara-saudara, jembatan itu terbangun bukan semata-mata oleh hubungan politik dan damang atau ekonomi. Tetapi lebih jauh dari itu, jembatan itu masih utuh abadi hingga saat ini, terbangun oleh jaringan keilmuan, oleh tradisi “Isnâd”, baik “Isnâd antar ulama”, atau pun “Isnâd antar literatur” atau karya keilmuan. Jembatan tersebut, hingga hari ini, masih dapat kita temukan di pesantren-pesantren di Nusantara.

============================

Kita tidak bisa seratus persen menyalahkan pandangan tersebut, memang. Pandangan tersebut muncul dan mewacana di dunia internasional, karena kita sendiri yang mengabaikan kekayaan warisan peradaban aksara, yaitu karya-karya intelektual yang sudah ditulis oleh para leluhur kita ulama-ulama Nusantara selama beberapa abad lamanya, dari generasi ke generasi, tak pernah putus dari satu abad ke abad berikutnya.

Mereka para ulama Nusantara kita telah melahirkan sejumlah karya genuine dalam pelbagai bidang keilmuan Islam, mulai dari tata negara, sains sosial, etika, filsafat, logika, theology, yurisprudensi, sastra, tata bahasa, sains, pertanian, kedokteran, dan lain sebagainya.

Memang, karya-karya ulama Nusantara yang hingga saat ini sampai kepada kita baru terlacak berasal dari abad ke-16 Masehi.

Berkembangnya agama Islam di kepulauan Nusantara bukan saja telah menciptakan sebuah tatanan masyarakat baru di kawasan tersebut, yaitu masyarakat Muslim, menciptakan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam yang bersinergi dengan kebudayaan Nusantara, tetapi juga telah menciptakan dan melahirkan karya-karya intelektual Islam yang luar biasa kaya dan tak ternilai harganya.

Inilah yang kemudian ingin kita kukuhkan sebagai “heritage of Islam Nusantara”, “legasi peradaban aksara”, “warisan intelektual tertulis” dalam sejarah besar agama Islam di kawasan kepulauan Nusantara ini, yang lahir tiada putus dari setiap generasi, dari abad ke abad berikutnya.

Sayangnya, kita, generasi Muslim Nusantara saat ini, yang sering berteriak lantang hendak membangun kebangkitan peradaban Islam di kawasan kepulauan kita, kita yang kerap berkoar-koar hendak menegakkan zaman keemasan peradaban Islam di Indonesia, ternyata tanpa sadar telah mempertontonkan omong kosong kita, saudara-saudara. Kenapa? Karena kita telah mencampakkan warisan peradaban Islam Nusantara yang jauh sejak ratusan tahun silam telah dilahirkan oleh leluhur-leluhur kita.

(Bersambung)

Teks ini disampaikan pada acara Pidato Kebudayaan yang bertajuk “Pesantren sebagai Penjaga Peradaban Aksara” pada 15 Juli 2020 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pesantren (PSP) melalui akun fanspage Facebook @pusatstudipesantren

Leave a Response