Berikut ini sekilas biografi dan pemikiran dari filosof atau filsuf Islam klasik.
Jika Al-Kindi merupakan filosof Muslim yang meletakkan dasar-dasar filsafat Islam, maka Abu Nashr Al-Farabi-lah yang memperkokoh dan memantapkan dasar-dasar yang telah diletakkan oleh Al-Kindi. Orang Arab menamakan Al-Farabi Guru Kedua (al-Mu’allimuts-Tsani), karena mereka memandang Aristoteles sebagai Guru Pertama (al-Mu’allimuts-Awwal). Al-Farabi seorang filosof Islam berkebangsaan Turki, lahir di sebuah pedusunan terkenal dengan nama Bousij di daerah Farab.
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh, yang lahir tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. (Sirajuddin Zar, Filsat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 65). Sebagaimana filosof Yunani, Al-Farabi menguasai berbagai disiplin ilmu. Keadaan ini memungkinkan karena didukung oleh ketekunan dan kerajinannya serta ketajaman otaknya.
Jika mengacu pada karya tulisnya, ia menguasai matematika, kimia, astronomi, musik, ilmu alam, logika, filsafat, bahasa, dan lain-lainnya. Dalam hal bahasa, menurut riwayat, Al-Farabi menguasai 70 bahasa. Namun, menurut Ibrahim Madkur riwayat ini lebih mendekati dongeng daripada kenyataan. Pemikiran-pemikiran penting dari filsafat Al-Farabi, antara lain tentang filsafat emanasi, krtuhanan, kenabian, jiwa, dan akal.
Dalam filsafat emanasinya, Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bias timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Mahasatu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Mahasempurna dan tidak berhajat pada apapun. Jika demikian hakikat sifat Tuhan, maka terjadinya alam menurut Al-Farabi terjadi dengan cara emanasi. Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pikiran ini timbul suatu maujud lain.
Tuhan merupakan Wujud Pertama (al-Wujud al-Awwal) dan dengan pemikiran itu timbul Wujud Kedua (al-Wujud al-Tsani) yang juga memiliki subtansi. Ia disebut Akal Pertama (al-Aql al-Awwal), First intellegence yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini muncullah Wujud Ketiga (al-Wujud al-Tsani) disebut Akal Kedua (al-Aql al-Tsani), Second Intellegence. Wujud Kedua atau Akal Pertama itu juga berfikir tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit Pertama (First Heaven, al-Sama’ al-‘Ula). (Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, h. 21)
Dalam hal ketuhanan, Al-Farabi mengompromomikan antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni al-Maujud al-Awwal (Wujud Pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran Islam. Dalam membuktikan adanya Allah, Al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud, menurutnya, segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga, yakni Wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud. (Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 70)
Tentang kenabian, Al-Farabi merupakan filosof Muslim pertama yang mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga hampir tidak ada penambahan oleh filosof-filosof sesudahnya. Filsafat ini didasarkan kepada psikologi dan metafisika yang erat hubungannya dengan ilmu politik dan etika. Menurutnya, manusia dapat berhubungan dengan Akal Fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapat mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.(Ibid, 79)
Sedangkan mengenai jiwa, menurut Al-Farabi, jiwa manusia beserta materi asalnya memancar dari Akal Kesepuluh. Jiwa adalah jauhar rohani sebagai form jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya mempunyai subtansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqah, berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa ini diciptakan ketika jasad siap menerimanya.(Ibid., 87)
Puncak kecermelangan filsafat Islam dicapai pada zaman hidupnya Syaikh ar-Rais Abu ‘Ali al-Husein bin ‘Abdullah Ibn Sina. Filosof kelahiran Afsyana dekat Bukhara pada tahun 980 M ini merupakan filosof Islam paling banyak menulis buku-buku ilmiah sampai soal-soal yang bersifat cabang dan ranting. (Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, h. 82; , Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, h. 28).
Di Barat ia popular dengan sebutan Avicenna akibat dari terjadinya metamorphose Yahudi-Spanyol-Latin. Dengan lidah Spanyol kata Ibnu diucapkan Aben atau Even. Perubahan ini berawal dari usaha penerjemahan naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin pada pertengahan abad ke-12 di Spanyol. (Lihat Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 1997: 94)
Meski sibuk bekerja dalam pemerintahan, Ibnu Sina merupakan seorang penulis yang luar biasa produktif, sehingga ia banyak meninggalkan karya tulis yang sangat besar pengaruhnya kepada gerenasi sesudahnya, baik di dunia Barat maupun di dunia Timur. Di antara karya tulisnya adalah sebagai berikut:
Pemikiran filsafat Ibnu Sina di antaranya mencakup soal al-Tawfiq (Rekonsiliasi) antara agama dan filsafat, ketuhanan, dan jiwa. Dalam soal rekonsiliasi, sebagaimana Al-Farabi, ia juga mengupayakan pemaduan antara agama dan filsafat. Menurutnya nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril yang juga disebut Akal Kesepuluh atau Akal Aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara memperolehnya. Bagi nabi terjadinya hubungan dengan Malaikat Jibril melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan suci, qudsiyyat), sedangkan filosof melalui Akal Mustafad.( Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 18 dan 84)
Dalam hal Ketuhanan, Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah) dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud mengesankan duplikat Al-Farabi. Bahkan nampaknya tidak ada penambahan sama sekali. Ia hanya menjelaskan bahwa untuk membuktikan adanya Tuhan tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluk-Nya, tetapi cukup dengan dalil adanya wujud Pertama, yakni wajib al-wujud. Jagad raya ini mumkin al-wujud yang memerlukan suatu sebab (‘illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri.
Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi lahir di Rayy, sebuah kota tua yang dulu bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada 1 Sya’ban 251 H/865 M. di dunia Barat ia dikenal dengan sebutan Rhazes. Ada beberapa nama tokoh yang juga dipanggil Al-Razi, yakni Abu Hatim Al-Razi, Fakhruddin Al-Razi dan Najmuddin Al-Razi. Oleh karena itu, untuk membedakan Al-Razi, sang filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).( Sirajuddin Zar, Filsat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 113)
Dalam perjalanan karirnya, Al-Razi terkenal sebagai seorang dokter yang dermawan, penyanyang keada pasien-pasiennya, karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin. Karena reputasinya di bidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi kepala Rumah Sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Lalu ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit di sana pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muktafi.
Disiplin ilmu Al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat. Ia lebih dikenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding sebagai filosof. Ia juga rajin menulis dan membaca yang kemudian membuat penglihatanya melemah. Anehnya ia menolak untuk diobati dan mengatakan bahwa hal itu akan sia-sia karena sebentar lagi ia akan meninggal.
Filsafat Al-Razi terkenal dengan ajarannya Lima yang Kekal, yakni al-Bary Ta’ala (Allah Ta’ala), al-Nafs al-Kulliyyat (Jiwa Universal), al-Hayula al-Ula (Materi Pertama), al-Makan al-Mutlhaq (Tempat/Ruang Absolud) dan al-Zaman al-Mutlhaq (Masa Absolud). Menurutnya, dua dari Lima yang Kekal itu hidup dan aktif: Allah dan ruh. Satu di antaranya tidak hidup dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa.( Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, h. 16-17)
Al-Razi juga dikenal sebagai seorang rasionalis murni. Akal, menurutnya, adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia. Dengan akal mausia dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Allah. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetapi harus memberikan kebebasan padanya dan harus merujuknya dalam segala hal. (Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 121)
Pandangan tersebut bahkan memunculkan pendapat bahwa Al-Razi telah menyimpang dari agama. Bahkan Harus Nasution mengatakan bahwa Al-Razi adalah filosof Muslim yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguh pun ia bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam, yaitu: (1) Tidak percaya pada wahyu; (2) Alquran tidak mukjizat; (3) Tidak percaya pada nabi-nabi; (4) Adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan.
Kendati demikian, namanya tercantum di antara pemikir-pemikir Islam lain dalam Tarikh Hukuma al-Islam karya Zahir al-Din al-Baihaqi. Bahkan dalam Tabaqat al-Umam karangan Abu al-Qasim Said ibnu Ahmad al-Andalusi, Al-Razi disebut sebagai dokter umat Islam yang tiada tandingannya. (Harun Nasution, Op. Cit., h. 19)
Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kub ibnu Miskawaih lahir di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/ 941 M. filosof yang satu ini memang tidak banyak diketahui orang.( Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 127). Ada yang menduga ia penganut Syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya kepada sultan dan wazir-wazir Syiah dalam masa pemerintahan Bani Buwaih (320-448 H). Ketika Sultan Ahmad ‘Adhud Al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, ia menduduki jabatan penting, seperti diangkat menjadi Khazim, penjaga perpustakaan besar dan bendahara Negara. (Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, 1986: 265)
Disiplin ilmu Miskawaih meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Tetapi ia lebih popular sebagai filosof akhlak (al-falsafat al-‘amaliyat) ketimbang filosof Ketuhanan (al-falsafat al-nazhariyyat al-Ilahiyyat). Agaknya ini dimotivasi oleh situasi masyarakat yang sangat kacau di masa itu, seperti minuman keras, pelacuran, dan lain-lain.
Tak kurang dari 20-an buku telah ditulisnya. Sebagai seorang moralis terkenal, hampir setiap pembahasan akhlak dalam Islam, filsafatnya selalu mendapat perhatian utama. Keistimewaan yang menarik dalam tulisannya ialah pembahasan yang didasarkan pada ajaran Islam (Alquran dan hadis) dan dikombinasikan dengan pemikiran lain sebagai penunjang, seperti filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Persia. (Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 134)
Meski filsafat Yunani Kuno banyak mewarnai pemikiran filsafat Miskawaih, namun ajaran Islam memiliki pengaruh yang paling dominan dalam filsafatnya, terutama dalam masalah akhlak atau moral/etika.