Mazhab Syafi’i adalah salah satu dari empat mazhab dalam fikih yang ada di dunia Islam, dan mayoritas dianut masyarakat Indonesia. Dan sebagaimana kita ketahui, para imam mazhab fikih dalam merumuskan fikihnya mempunyai landasan dan metodologi (cara) yang berbeda-beda dalam menggali sebuah hukum.
Akan tetapi, ke-empat mazhab tersebut menyepakati empat sumber dalam menggali hukum yaitu Aquran, hadis, ijma’ dan qiyas. Yang kemudian biasa disebut dengan Al-Adillah Al-Muttafaq Alaih (dalil-dalil hukum yang disepakati). Namun, dalam menggali hukum fikih tersebut, para imam mazhab juga mempunyai karakteristik dan metodologi yang berbeda-beda di luar empat sumber penggalian hukum yang disepakati di atas.
Imam Syafi’i sebagai pendiri mazhab Syafi’i dalam hal ini tidak hanya menggali hukum berdasarkan ke-empat sumber dalil di atas. Beliau juga menambahkan beberapa sumber dalil lain yang berbeda antara satu mazhab dengan mazhab lainnya dalam melakukan ijtihadnya. Sumber penggalian hukum ini kemudian disebut dengan Al-Adillah Al-Mukhtalaf Alaih (dalil-dalil yang diperdebatkan atau tidak disepakati).
Oleh karena itulah, tidak heran jika kita sering menjumpai perbedaan pendapat di antara empat mazhab dalam fikih, karena dalam melakukan ijtihadnya juga mempunyai caranya masing-masing. Penggunaan dalil-dalil yang diperdebatkan ini dilakukan jika tidak menemukan dalil dari ke-empat sumber utama di atas.
Dalam melakukan ijtihadnya, Imam Syafi’i menambahkan beberapa sumber untuk melakukan Istinbath Al-Ahkam (menggali sebuah hukum). Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ali Jum’ah dalam kitabnya Madkhol Ila Dirosah Madzhabul Fiqhiyyah, di antara sumber penggalian hukum yang digunakan oleh Imam Syafi’i dalam melakukan ijtihadnya selain empat sumber pokok di atas adalah pendapat para sahabat (Qoul Sahaby), muamalah dengan qiyas (Thoriqotuhu fi at-Ta’amul ma’a Al-Qiyas), melihat sesuatu pada awal mulanya (I’tibaru al-Ashli fi al-Asya’), Al-Istishab, Al-Istiqra’, mengambil pendapat yang paling sedikit (Al-Akhdzu bi Aqalli ma Qiila).
Dalam pandangan Imam Syafi’i, pendapat para sahabat adalah hujjah jika memang hal tersebut menjadi kesepakatan di antara para sahabat. Namun, apabila terjadi perbedaan di antara para sahabat, maka dibutuhkan tarjih dengan menggunakan dalil yang lain. Jika di antara para sahabat tersebut memang tidak ada pendapat yang lain dan tidak ditemukan nash dari Alquran, beliau mendahulukan pendapat para sahabat di atas qiyas. Selain itu, jika para pendapat sahabat tersebut ada dalam ijtihad, maka Imam Syafi’i melihat pendapat sahabat tidak lebih dari pendapat para mujtahid yang lain.
Dalam hal cara bermuamalah atau berhubungan dengan Qiyas, Imam Syafi’i memberlakukannya sesuai dengan kebutuhan atau tengah-tengah. Yaitu tidak terlalu ketat seperti yang dilakukan oleh Imam Malik dan tidak terlalu longgar sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Hanafi. Bahkan Imam Syafi’i juga mengatakan bahwa Ijtihad adalah Qiyas, tentu saja penggunaan Qiyas tersebut dengan aturan dan syarat sebagaimana yang di atur dalam ilmu ushul fikih.
Fondasi lain yang dibangun oleh Imam Syafi’i dalam menggali hukum adalah melihat sesuatu dari awal mulanya. Al-Ashli fi Al-Asya’ fi Al-manafi’ Al-Ibahah, Al-Ashli fi Al-Madhor at-Tahrim. Jika pada awalnya sesuatu tersebut membawa manfaat maka diperbolehkan, jika membawa kerusakan maka diharamkan.
Kemudian beliau juga menggunakan Istishab, yaitu penetapan hukum terhadap suatu perkara di masa yang akan datang, atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya. Karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum. Contohnya; bila tadi pagi seseorang telah wudhu untuk salat Subuh, maka keadaan telah wudhu tersebut masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia melaksanakan salat Dhuha. Maka ia tidak perlu berwudhu kembali, selama tidak ada bukti dan tanda-tanda bahwa wudhunya telah batal.
Selain itu, Imam Syafi’i juga menggunakan Al-Istiqra’ sebagai fondasi dalam menggali hukum. Al-Istiqra’ sendiri adalah meneliti permasalahan-permasalahan cabang dengan mendetail, untuk menemukan sebuah hukum yang diterapkan pada seluruh permasalahan. Atau singkatnya sebuah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan oleh fakta-fakta khusus yang digunakan oleh para ahli fikih untuk menetapkan hukum.
Kemudian, landasan penggalian hukum yang digunakan oleh Imam Syafi’i adalah mengambil pendapat yang paling sedikit. Dalam hal ini, Imam Syafi’i berpendapat; untuk mengambil pendapat yang jumlahnya lebih sedikit dalam suatu masalah, karena jumlah yang sedikit adalah bagian dari yang banyak. Penggunaan dalil ini hanya diperbolehkan jika memang tidak ada dalil yang lain dalam menentukan hukum suatu masalah.
Perbedaan penggunaan sumber dalil di luar sumber dalil yang disepakati inilah, yang kemudian memunculkan berbagai perbedaan pendapat dalam fikih masing-masing mazhab. Misalnya dalam hal ini, Imam Syafi’i tidak sependapat dengan Imam Malik yang menggunakan Maslahah Al-Mursalah, kebiasaan ahli madinah, syariat umat sebelumnya, atau Imam Abu Hanifah yang menggunakan Istihsan.