Bulan Ramadan yang dinanti kini telah datang lagi. Pintu-pintu surga dibuka selebar-lebarnya, tetapi sebaliknya untuk pintu neraka; tak ada celah yang diijinkan untuk menganga. Di masa ini, Tuhan mengikat setan selama sebulan penuh lamanya, sebagai gantinya, Ia limpahkan rahmat dan ampunan kepada manusia yang merindukan Ramadan.
Di bulan ini, umat Islam diwajibkan untuk berpuasa. Menjalankan ritual ibadah yang menuntut kita untuk menahan diri serta menjaga hati. Karenanya, puasa bukanlah ibadah yang meminta kita untuk menahan lapar di siang hari namun gahar di malam hari.
Ibadah ini, sebagaimana dijelaskan Quraish Shihab dalam Tafsir al Misbah (2000), merangkul kita untuk menentramkan jiwa. Melalui ritual menahan nafsu dan amarah, ibadah puasa melatih kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan amanah.
Meski begitu, ada jenis orang yang tak akan merasakan kebaikan dan kemuliaan Ramadan. Bagi orang-orang ini, kehadiran bulan Ramadan tak lebih dari sekadar perubahan jam makan, atau ajang untuk meramaikan pusat-pusat perbelanjaan. Orang-orang yang tak mendapat kenikmatan bulan yang mulia ini adalah mereka yang tak pernah merindunya.
Karenanya, Alm. Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub berpesan agar kita jujur pada diri sendiri dengan selalu berefleksi; apakah kita benar-benar merindukan Ramadan?
Dalam Terror di Tanah Suci (2016), salah satu ahli hadis terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini curiga, jangan-jangan kita tak pernah rindu kedatangan Ramadan beserta seabrek kemuliaan di dalamnya. Suka cita yang tampak di muka kita tak lebih hanya karena euforia konsumerisme saja, bukan wujud dari akhir kerinduan yang nyata.
Itu sebabnya, alih-alih memenuhi tempat ibadah untuk mendekatkan diri pada-Nya, kita justru semakin terlena untuk terus berbelanja. Tenggelam dalam buai diskonan di pusat-pusat perbelanjaan, namun abai terhadap ‘diskon’ yang lebih utama; ampunan langsung dari sang pencipta alam semesta.
Rindu memang menjadi bumbu utama yang menyedapkan Ramadan. Tanpa kerinduan, bulan ini tak akan berisi banyak pengajaran, hanya ritual tahunan. Ia pun tak menjadi ibadah untuk mendekatkan diri pada Tuhan, hanya perubahan jam makan dan dandanan. Karenanya, Ramadan harus digenapi dengan rindu. Ia bukan jenis rindu yang hanya cukup diucapkan, ia adalah rindu yang harus dibuktikan.
Orang yang merasakan rindu menjalari tubuhnya demi bertemu dengan bulan ini akan mengalami perubahan perilaku, baik sebelum, selama, maupun sesudah Ramadan berlalu. Sebab bulan ini mengajak si perindu latihan menahan nafsu, amarah serta melakukan hal-hal yang tak ada manfaatnya. Orang yang menyambut Ramadan dengan rindu yang menggebu akan mendapat berkah yang tak terkira banyaknya.
Bagi orang yang merindu Ramadan, kedatangan bulan penuh ampunan ini adalah hadiah terbaik yang dikirim oleh Tuhan. Sebab di bulan ini, Tuhan membuka lebar-lebar tangan-Nya untuk merangkul umat manusia yang mencintai-Nya.
Jika rindu ini benar telah terjadi, maka tanpa perlu melakukan deklarasi, Tuhan tahu siapa yang akan Ia rahmati. Jadi, sudahkah kita meliputi Ramadan tahun ini dengan rindu?