Pernahkah kalian mengkhawatirkan masa depan? Jika pernah atau bahkan sering, itu hal yang normal. Banyak orang pula yang pernah merasa demikian.
Tahukah kalian dengan istilah a quarter life crisis (krisis seperempat abad)? Jika belum, istilah tersebut adalah istilah yang digunakan oleh para psikolog untuk suatu fase transisi dari usia remaja menuju dewasa.
Akhir-akhir ini istilah tersebut menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Biasanya orang-orang yang ada dalam fase ini mengalami hal-hal berikut:
– Merasa bahwa pilihan yang sedang ia jalani merupakan jalan yang tidak tepat, dan akan berdampak tidak baik untuk masa depannya.
– Merasa sulit menemukan jati dirinya, “harus menjadi apakah aku di kemudian hari?”
– Merasa tidak mempunyi achievment, lalu membandingkan dirinya dengan teman sebayanya, lebih tepatnya dengan teman seumuran.
– Penuh dengan kekhawatiran masa depan.
– Merasa kurang motivasi dalam menjalani hidup.
Jika perasaan-perasaan ini terus terpupuk seiring berjalannya waktu dan semakin subur dalam diri kita, maka bisa jadi kita akan terserang gangguan kesehatan mental.
Tentu saja sudah banyak artikel yang mebahas terkait kiat menghadapi quarter life crisis. Namun, saat saya mendengar ceramah dari KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang dikenal Gus Baha, saya merasa bahwa petuah dari beliau pun juga bisa menjadi problem solve atas fase quarter life crisis.
Pertama, Gus Baha memaparkan bahwa pengarang kitab Al-Hikam; Ibnu Athoillah mempunyai resep supaya kita bisa selalu merasa bahagia dalam menghadapi hidup.
Resepnya yaitu dengan menganut prinsip “laa yaqilla maa tafrahu bihi, yaqilla maa tafrahu bihi” (usahakkan sedikit sekali hal yang bisa membuatmu bahagia, maka sedikit pula hal yang akan bisa membuatmu bersedih atau kecewa).
Dicontohkan seperti saat salah satu sahabat yang bertanya kepada Kanjeng Rasul “Ya Rasul, mengapa engkau tidak menyiapkan makanan untuk besok?”
Kemudian Rasulullah menjawab, “Saya saja tidak yakin kalau hidup saya akan sampai pada esok hari.”
Artinya, Rasulullah tidak mempersulit diri untuk memikirkan apa yang akan terjadi esok hari, bagi beliau bisa makan hari ini sudah sangat alhamdulillah.
Maka dari itu beberapa ulama terdahulu menghitung hidup hanya dalam dua menit atau dua detik. Sehingga tidak pernah mengkhawatirkan kehidupannya empat atau lima tahun kemudian.
Hal ini mengandung arti bahwa pikiran yang seperti itu yang akan membuat kita tenang dan tetap merasa bersyukur, “Alhamdulillh saya masih hidup satu detik, dua detik, dan sekian menit.”
Oleh karena itu, kita juga bisa mempunyai cara pandang untuk tidak menargetkan dan mengharuskan diri untuk mencapai hard achievment seperti mempunyai uang banyak, segera punya istri atau suami bagi yang belum menikah.
Atau mungkin jika seorang tokoh agama atau publik figur berarti harus mempunyai pengaruh besar di hadapan masyarakat.
Tidak seperti kita sekarang, yang terlalu mengkhawatirkan apa yang akan terjadi di hidup kita setelah beberapa tahun kemudian. Atau kita membayangkan 4 tahun kemudian apa yang akan kita lakukan? Pencapaian apa yang akan kita dapat, dan lain-lain.
Hal tersebut manusiawi, apalagi yang sedang berada dalam fase quarter life crisis. Namun tidak ada salahnya untuk mengubah cara pandang kita menjadi lebih simple.
Coba saja kita berpikir, sudah melakukan hal bermanfaat apa hari ini? Atau, at least, sudah berbuat baik apa hari ini? Minimal, sudahkah kita menghindari maksiat apa hari ini?
Menurut saya, berpikir seperti itu sudah cukup sebagai evaluasi harian untuk diri kita. Tidak perlu membayangkan fase kehidupan yang masih terlalu jauh dari saat ini. Boleh saja menyusun planning (rencana) hidup.
Tapi sekedar planning ya, bukan over thingking. Planning tidak mempunyai makna konotasi yang buruk. Jangan menciderai makna dari future plan dengan menjadikannya seperti momok yang menakutkan, yang harus kita taklukkan.
Intinya, kata Gus Baha, “Gunakan saja standar minimalis, jangan gunakan standar maksimal. Jika kita menggunakan standar maksimal, maka kita akan mudah kecewa”.
Dengan menemukan standar minimalis kita akan tetap bisa merasa bahagia, tanpa mempertimbangkan hal-hal sulit yang belum bisa kita gapai.
Kedua, jangan terlalu berharap lebih kepada seseorang atau jangan berekspektasi lebih dan menjadikan orang lain sebagai patokan atau standarmu untuk menjadikanmu bahagia.
Contoh ringannya saja, jangan memikirkan, “Apakah tetangga kita menyukai kita atau tidak? Yang bekerja dengan kita, merasa nyaman dengan kita atau tidak? Apakah pencapaian kita sudah sempurna di mata orang lain atau belum?”
Karena itu semua adalah hal-hal yang menurut Gus Baha tidak perlu terlalu dipikirkan. Orang lain sama halnya dengan kita, hanya makhluk.
Kecewa dan tidak kecewa atas kinerja kita itu tidak penting, karena pada hakikatnya makhluk itu tidak penting. Adapun yang penting untuk kita pikirkan adalah “Bagaimana diri kita di hadapan Sang Khalik”.
Kuncinya adalah “wa ridloka mathlubi, bukan waridlokum”. Hal ini harus dilatih. Yang kita cari adalah ridho Pengeran (Tuhan) bukan ridho orang lain. Hal ini perlu dilatih.
Maka komitmen kita hanya pada Tuhan, bukan pada orang lain. Jadi, pandangan orang lain terhadap dirimu tidak perlu dibesar-besarkan. Cukup hanya introspeksi diri saja jika memang dirasa ada yang salah, segera perbaiki. Bukan untuk diratapi dengan mengutuk diri bahwa dalam diri kita tidak ada yang berharga sama sekali. Let’s enjoy and love our life.