Terkenal dengan bangsa dengan kekayaan sumber daya alam dengan segala keramah-tamahan bangsanya, Indonesia patut bersyukur bisa tetap bersatu dalam bingkai kemerdekaan selama lebih dari tujuh puluh tahun. Namun demikian, hakikat kemerdekaan ini sekaligus menjadi tantangan besar bagi negara yang dikaruniai belasan ribu kepulauan ini. Ribuan suku bangsa dengan ratusan kelompok etnik yang tersebar di berbagai wilayah ini masih dihinggapi masalah yang sangat mendasar namun krusial; rasialisme.
Rasialisme sendiri didefinisikan sebagai prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang tidak adil terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda; atau paham yang merasa bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul. Lantas, bagaimana Alquran memandang perbedaan ini dan apakah ‘perasaan’ lebih tinggi ini direstui oleh Alquran?
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. al-Hujurat/ 49: 13).
Surah al-Hujurat/49: 13 di atas sebenarnya menjadi pondasi teologis- sosiologis bahwa Alquran mengakui perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam kehidupan manusia karena seluruh manusia terlahir dari nafs yang sama yakni Adam dan Hawa. Penekanan lafaz di atas yakni syu’uban (berbangsa-bangsa) dan qaba-il (bersuku-suku) seakan menyiratkan bahwa perasaan lebih tinggi itu biasa terlahir dari dua hal di atas yaitu merasa bahwa bangsa satu lebih mulia dari bangsa lain atau suku lain merasa lebih terhormat dari suku lainnya. Padahal, beragam perbedaan suku dan bangsa ini bukan untuk memicu perpecahan namun agar setiap manusia dapat saling mengenal.
Tafsir Al-Mukhtashar menguraikan makna ayat di atas sebagai penegasan sesungguhnya Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa) yang menjadi penyatu bapak dan ibu; sehingga tidak ada alasan untuk membanggakan nasab dan garis keturunan, sebab semua orang sama.
Makna syu’uban berarti sekumpulan besar manusia yang terdiri dari beberapa kabilah, seperti bangsa Mudhar dan Rabi’ah. Sedangkan qabilah lebih kecil dari itu seperti kabilah Bani Bakar dari bangsa Mudhar, dan Bani Tamim dari bangsa Rabi’ah. Pendapat lain mengatakan makna syu’uban yakni suku orang-orang selain Arab. Sedangkan qabilah adalah suku orang-orang Arab.
Sedangkan Muhammad Sulaiman Al Asyqar dalam Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir tujuan diciptakan perbedaan ini adalah untuk saling berkenalan, tidak untuk saling membanggakan nasab. Syu’uban maknanya adalah umat besar seperti Bani Rabi’ah, Bani Mudhar dan Bani Khuzaimah yang kala itu tergabung dari banyak suku. Al-Qaba-il itu adalah kelompok selain Syu’ub seperti Bani Bakr yang merupakan bagian dari bangsa Rabi’ah dan Bani Tamim yang merupakan bagian dari bangsa Mudhar.
Uraian di atas menggambarkan dengan gamblang bahwa rasialisme (prasangka terhadap suku lain) atau perasaan lebih tinggi dari bangsa lain sudah ada sejak ayat ini turun. Maka, tuntunan Alquran dalam Qs. al-Hujurat/49: 13 menjadi landasan bahwa prasangka dan hasad kepada suku bangsa bahkan lebih merasa terhormat dari bangsa lain tidak direstui Alquran. Sebab, penghujung ayat di atas menekankan bahwa hanya ketakwaan yang menentukan kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan.
Rasialisme ini sangat bisa terjadi kapan dan dimanapun terlebih di negara Indonesia yang kaya akan keragaman suku bangsa ini. Maka, ketika perpecahan karena rasialisme sudah terlanjur terjadi, tuntunan berikutnya dari Alquran ialah mencari tahu kebenaran atau istilah yang kita kenal tabayyun.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Qs. al-Hujurat/ 49: 6).
Menurut akar katanya, kata tabayyun berasal dari bahasa Arab: tabayyana – yatabayyanu – tabayyunan. Artinya at-tastabbut fil-amr wat-ta’annî fih (meneliti kebenaran sesuatu dan tidak tergesa-gesa di dalamnya). Jadi maksud dari tabayyun di atas bahwa kita jangan menerima mentah ketika suatu informasi sampai, langkah terbaik ketika dalam menanggapi suatu kabar ialah dengan memeriksa lebih jauh mengenai kebenarannya, mencari tahu dan mendalami dari mana sumber berita itu ada.
Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir menuliskan bahwa ayat ini sebagai tuntunan ketika mendapatkan berita penting dari orang fasik yang telah menyimpang dari batas-batas agama maka jangan tergesa-gesa untuk percaya, namun carilah penjelasan sebenarnya dan pastikanlah kebenaran berita itu sebelum terpengaruh olehnya. Hal ini dilakukan agar kaum tidak bersalah ikut tertimpa keburukan dan hal-hal yang makruh sehingga kalian menyesal dan bersedih atas kesalahan yang kalian perbuat dan berharap hal itu tidak pernah terjadi. Adapun asbabun nuzul ayat di atas untuk Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’aith yang diutus Rasulallah SAW kepada Bani Mushthaliq sebagai orang kepercayaan (untuk mengambil zakat kambing). Saat mereka mendengar hal itu, mereka mendekatinya, lalu ‘Uqbah takut dengan mereka dan kembali.
Dia berkata: “Sesungguhnya kaum itu ingin membunuhku dan mencegah sedekah mereka”, Lalu Rasulullah SAW ingin menyerang mereka, kemudian datanglah utusan mereka dan berkata: “Wahai Rasulallah, kami mendengar utusanmu, lalu kami mendekatinya untuk memuliakannya dan mau melaksanakan apa yang dia sampaikan, yaitu sedekah.”
Sedangkan Syaikh Wahbah Zuhaily dalam Tafsir Wajiz menuturkan bahwa ayat di atas ditujukan untuk orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulnya, jika telah datang suatu kabar dari orang-orang fasik, periksalah terlebih dahulu kebenarannya apa yang mereka katakan khususnya bagi kabar-kabar yang penting agar supaya tidak menjadikan kaummu permusuhan dan kejahatan sehingga berakibat penyesalan.
Sedangkan Tafsir as-Sa’di menguraikan ayat ini sebagai adab yang harus diperhatikan oleh orang-orang yang berakal, yaitu apabila ada orang fasik yang memberitahukan kepada mereka suatu berita, maka hendaknya mereka menelitinya dan tidak langsung menerima beritanya, karena jika demikian terdapat bahaya yang besar dan terjatuh ke dalam dosa. Hal itu karena jika berita orang fasik menempati posisi berita orang yang yang benar lagi adil sehingga dibenarkan dan dilanjutkan konsekuensinya tentu akan menimbulkan bahaya, seperti binasanya jiwa dan harta tanpa alasan yang benar sehingga membuat seseorang menyesal.
Oleh karena itu, yang wajib dalam menerima berita orang fasik adalah tatsabbut (meneliti), jika ada dalil dan qarinah (tanda) yang menunjukkan kebenarannya, maka diberlakukan dan dibenarkan. Demikianlah yang diterangkan oleh Syaikh As Sa’diy.
Uraian Syaikh as-Sa’diy mengenai Qs. al-Hujurat/49: 6 ini sekaligus memberikan pengajaran bahwa berita-berita palsu yang perlu ditelusuri kebenarannya (hoax, red) perlu dicari darimana sumbernya dan keshahihannya. Sebab, berita-berita yang tidak benar lalu mampu mem-framing pemikiran khalayak, tak jarang mampu membuat perpecahan, kerusakan bahkan pertumpahan darah.
Hal inilah yang terjadi belakangan ini pada saudara-saudara kita di Papua. Mari kita erat dan rangkul perbedaan yang ada; agar hanya persaudaraan dan cinta yang tersisa untuk Indonesia. Kita adalah Papua. Papua adalah kita!