Mazhab Maliki adalah salah satu mazhab fikih yang diakui oleh umat Islam di dunia, dan dianut oleh mayoritas masyarakat di beberapa negara Afrika dan Timur Tengah seperti Maroko, Sudan, Tunisia dan lainnya.

Walaupun ilmu yang mempelajari tentang metodologi dan penggalian hukum Islam melalui dalil-dalil yang ada (ushul fikih) baru dicetuskan pada masa Imam Syafi’i, namun setiap imam mazhab dalam merumuskan fikihnya mempunyai metodologi dan sumber dalil yang digunakan, termasuk Imam Malik yang merupakan guru Imam Syafi’i.

Jika dilihat dalam masterpiece-nya Imam Malik yaitu Al-Muwatho, memang tidak akan ditemukan secara jelas tentang bagaimana Imam Malik merumuskan metode dan melakukan penggalian hukum Islam dalam mazhabnya. Akan tetapi, sebenarnya Imam Malik sudah memiliki metode tersendiri dalam pengambilan hukum Islam, namun metode tersebut belum tercatat.

Oleh karena itu lah, para murid Imam Malik mencatat metode tersebut, dan kemudian dijadikannya sebagai dasar (ushul) bagi pengambilan hukum fikih Imam Malik dan mazhabnya.

Sehingga dalam mengenal metode dan sumber dalil dalam penggalian hukum mazhab Maliki, juga terjadi sedikit perbedaan mengenai berapa dalil yang dijadikan landasan dalam pengambilan hukum mazhab Maliki. Ada yang mengatakan dua, empat dan bahkan dua puluh dalil dalam pengambilan hukum mazhab Maliki.

Sebagaimana mazhab fikih lainnya, Imam Malik juga menggunakan empat sumber utama yang sudah disepakati dalam penggalian hukum Islam. Yaitu Alquran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Namun, dalam menggunakan Alquran dan Hadis sebagai sumber penggalian hukum Islam. Imam Malik membagi menjadi lima bagian baik itu Alquran maupun Hadis. Kelima bagian tersebut adalah penggunaan tentang; Nash al-Kitab, Al-Umum, Mafhum Muwafaqoh, Mafhum Mukholafah, Tanbih Alal al-Illat.

Setelah itu, Imam Malik menggunakan Ijma’ dan Qiyas. Ijma’ sendiri dalam pandangan Imam Malik adalah ijma’ ahli Madinah. Sedangkan dalam penggunaan Qiyas, jika melihat salah satu kitab ushul fikih dalam mazhab Maliki yaitu Ushul Fiqh Al-Imam Malik Adillatu Al-Aqliyah, dalam menggunakan Qiyas Imam Malik hanya dalam masalah muamalah dan kebiasaan, tidak memakainya dalam hal ibadah. Salah satu Qiyas yang tidak diperbolehkan oleh Imam Malik adalah mengqiyaskan lafaz takbiratul ihram dengan bahasa selain bahasa Arab.

Di luar sumber utama dalil yang disepakati empat mazhab di atas, Imam Malik mempunyai sumber dalil lainnya, yaitu Qoul Shohaby, Istihsan, Muro’atul khilaf, Maslahah Mursalah, Istishab, Syar’u ma Qoblana, Sadd Adz-Dzari’ah. Qoul Shahaby dalam pandangan Imam Malik adalah fatwa atau ketetapan dari para sahabat Rasulullah saw. yang kedudukannya seperti kedudukan Hadis, sehingga wajib diamalkan.

Sedangkan Istihsan adalah pendapat yang digunakan untuk menguatkan dari adanya dua dalil yang bertentangan. Contohnya adalah tentang hukum anak kecil yang belum baligh yang mengimami salat. Imam Malik mengatakan jika untuk salat fardhu tidak boleh, akan tetapi jika untuk salat sunnah diperbolehkan.

Selanjutnya adalah penggunaan Muro’atul Khilaf, yaitu mengambil dalil yang bertentangan namun telah mempunyai dalil dalam suatu ketetapan hukum yang telah dihukumi. Salah satu contohnya adalah membaca Basmalah dalam salat fadhu. Di mana dalam mazhab Maliki hal tersebut adalah makruh, sedangkan menurut Mazhab Syafi’i wajib. Jadi ketika ada orang Maroko, Sudan, Tunis atau  yang bermazhab Maliki salat di Indonesia dan membaca basmalah, maka di situlah dia sedang mempraktikkan Muro’atul Khilaf.

Sumber dalil selanjutnya yang digunakan oleh Imam Malik adalah Maslahah Mursalah. Yaitu kemaslahatan yang sesuai dengan syari’ah dan tidak ada sebuah dalil khusus yang menerimanya atau menolaknya. Contohnya adalah bolehnya melantik imam jika tidak ada seorang yang pantas menjadi mujtahid, karena keberadaan imam tersebut lebih membawa maslahah bagi umat Islam dibandingkan tidak adanya imam tersebut.

Adapun dalam penggunaan Istishab, Imam Malik tidak berbeda jauh dengan yang digunakan oleh Imam Syafi’i. Sumber dalil selanjutnya yang digunakan oleh Imam Malik adalah Syar’u ma Qablana, yaitu hukum-hukum Allah Swt. yang telah disyariatkan kepada agama-agama terdahulu dengan nabi-nabinya yaitu sebelum Islam.

Selain itu, Imam Malik juga menggunakan Sadd Adz-Dzari’ah. Yaitu sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh, namun hal itu akan menuju kepada hal-hal yang membahayakan. Atau bahasa singkatnya adalah meminimalisir dampak buruk dari adanya sesuatu yang diperbolehkan tersebut.

Dan salah satu kaidah fikih yang ada dalam mazhab Maliki adalah Kullu Hayyun Tohir (segala sesuatu yang hidup adalah suci). Maka tidak mengherankan jika kita akan menemui pendapat-pendapat seperti tidak najisnya anjing, tidak najisnya kotoran himar ataupun kencingnya unta dan lain sebagainya. Sebagai mazhab yang dikenal dengan mazhab ahli hadis, bukan berarti mazhab Maliki hanya berpegang teguh pada sumber-sumber yang dinisbatkan pada mazhabnya.

Leave a Response