Darno menatap jemuran padinya dengan mata berkaca-kaca. Di satu sisi, ia tentu saja gembira jika hasil panen padi kali ini cukup berlimpah. Usaha dan kerja kerasnya mengurus sawahnya sendiri dari mulai masa tanam, membajak, dan panen akhirnya membuahkan hasil yang baik.
Tak sia-sia rasanya ia bergulat dengan lumpur selama beberapa bulan. Pada masa sebelumnya ia sering dibantu istri dan anaknya yang masih duduk di bangku SMP. Tapi musim kali ini ia tak mengizinkan Rahmat anaknya untuk membantunya lagi di sawah.
Ia tak tega jika anaknya harus banyak menghabiskan waktu juga tenaga mengerjakan sawah. Rahmat telah duduk di bangku kelas tiga SMP. Ia harus banyak menghabiskan waktu untuk belajar menghadapi ujian akhir. Ia tak ingin anaknya mendapat nilai yang buruk hanya karena turut mengurus sawah.
Darmo ingin agar anaknya tersebut bisa mendapat nilai yang bagus lalu bisa melanjutkan sekolah di kota kabupaten. Ia tak ingin Rahmat juga menjadi petani seperti dirinya jika ia hanya bersekolah hingga SMP. Adalah sudah menjadi kewajibannya membiayai anaknya itu bisa mendapat pendidikan yang layak.
Darno teringat saat beberapa bulan yang lalu Rahmat ingin berhenti sekolah saja agar bisa membantu ayahnya mengurus sawah. Darno tentu saja merasa terenyuh akan niat baik anaknya tersebut.
“Banyak teman Rahmat juga tak sekolah, Pak. Bahkan sebagian besar hanya lulusan SD,” kata Rahmat waktu itu.
“Tidak, Nak. Kamu harus tetap sekolah. Jangan seperti bapak dan banyak anak kampung ini. Kamu masih ingin sekolah, kan?” Anggukan pelan Rahmat itu sesungguhnya telah menjadi isyarat jika anaknya itu masih ingin bersekolah.
Itu menggembirakan Darno. Banyak anak kampung ini memang putus sekolah. Desa pedalaman bagian selatan tempat Darno tinggal memang relatif tertinggal dari segi pemikiran dan ekonomi. Mereka menganggap sekolah suatu hal yang tak begitu penting.
Bahkan, banyak anak perempuan menikah masih dalam usia sangat muda. Sebagian besar anak laki banyak yang merantau ke ibu kota menjadi buruh atau kuli bangunan, pedagang, atau bekerja di toko. Darno tak ingin hal itu terjadi pada anaknya.
Beberapa teman Darno memang banyak yang mencemooh cita-cita Darno ingin menyekolahkan anaknya hingga pendidikan tinggi. Suatu hal yang masih langka ada seorang sarjana di desa Darno. Bahkan jika ada juga bisa menjadi sarjana, banyak mereka hanya menjadi honorer yang dari segi ekonomi masih jauh dari mapan. Darno tak begitu peduli pada ucapan banyak temannya.
Ia lebih peduli dan senang karena Rahmat sesungguhnya memiliki niat yang besar untuk bisa tetap bersekolah. Itu yang lebih layak Darno perjuangkan. Itulah juga kenapa Darno tak ingin lagi Rahmat mengurus sawah. Ia rela mengerjakan sawah sendirian.
Harapan Darno
“Pak, meski hasil panen kita banyak, pasti tetap saja tidak cukup untuk membiayai Rahmat hingga lulus SMA, terlebih hingga perguruan tinggi.”
“Jadi maksud ibu….?
“Ya, cukuplah Rahmat sampai lulus SMP. Kita tidak perlu begitu ngoyo jika akhirnya Rahmat juga akan mendapat pekerjaan yang juga belum jelas.”
“Ibu tidak boleh berpikir pesimis seperti itu. Sekolah itu sangat penting. Apa ibu ingin jika nanti Rahmat juga akan menjadi petani yang tidak berpikiran maju seperti kita.”
“Saya tidak pesimis, Pak. Saya hanya mengajak Bapak berpikir realistis. Itu saja.”
“Kita belum berusaha yang terbaik, Bu. Jadi jangan dulu menyerah dan putus asa.”
“Ya, terserah Bapak sajalah. Ibu hanya berbicara apa adanya. Jangan mimpi terlalu tinggi.”
Apa yang istri Darno itu sesungguhnya memang masuk akal bagi Darno. Mereka hanya memiliki sawah yang tidak seberapa luas yang memang hasilnya juga cukup pas-pasan untuk makan sehari-hari. Darno sendiri teringat olokan beberapa temannya jika ia dianggap bermimpi terlalu tinggi karena ingin menyekolahkan Rahmat hingga perguruan tinggi.
Itu terjadi saat beberapa temannya bertanya padanya kenapa Rahmat tidak diperbolehkan olehnya untuk membantu di sawah lagi. Saat itu Dano menjawab jika ia hanya meminta Rahmat untuk giat belajar saja tanpa perlu berpikir pekerjaan sawah seperti teman-temannya.
Tapi jika Darno berpikir lebih panjang, timbul semangat besar dalam hatinya. Nasib orang pastilah bisa berubah. Itu tak semata sekadar bekerja keras dengan membanting tulang di sawah, tapi harus juga disertai dengan ilmu dan pengetahuan. Itu yang ada di pikiran Darno.
Ia tak ingin juga membunuh semangat Rahmat yang kini mulai sangat giat belajar. Apa yang Darno pikirkan sepertinya juga sama dengan apa yang ada di pikiran Rahmat. Melihat semangat belajar anaknya yang tinggi itu, Darno tidak ingin memupuskan harapannya, juga harapan anaknya. Ia tidak boleh putus asa, biarlah ia bekerja keras, dan anaknya tetap belajar dengan giat sambil tak lupa tentu ia berdoa.
Matahari Terbit di Pelupuk Mata Darno
Sungguh Darno bersyukur, ia seperti melihat jalan mulai terbuka walau masih cukup panjang yang harus ia lalui. Tapi ia yakin, dirinya dan anaknya akan bisa melewati jalan itu. Meski istrinya sendiri masih menyangsikan semua, tapi semangat besar belajar anaknya makin membuat Darno bergairah. Dan semua seperti mulai terlihat hasilnya.
Rahmat lulus SMP dengan nilai yang sangat memuaskan. Semua usaha yang sungguh-sungguh tentu akan membuahkan hasil. Darno benar-benar bahagia akan itu. Darno juga terkejut mendengar cerita anaknya. Selama ini ia memang tidak mengerti apa-apa kecuali hanya cara bagaimana mengurus sawah.
Rahmat bercerita jika sebenarnya pemerintah telah mengalokasikan dana yang besar untuk pendidikan. Belajar di sekolah negeri kini peserta didik tidak lagi perlu mengeluarkan biaya karena sudah ditanggung pemerintah. Memang untuk bisa masuk sekolah negeri, harus memiliki nilai yang baik.
Ia bisa melanjutkan belajar di sekolah pemerintah tanpa mengeluarkan biaya. Bahkan jika nilai Rahmat bisa dipertahankan dan rajin giat belajar, ia bisa mendapat beasiswa. Rahmat juga bercerita jika banyak pesantren memberi beasiswa dan subsidi bagi murid berprestasi.
“Jika begitu, tetap belajar dengan giat dan Ayah akan bekerja juga dengan giat.”
“Ya, tentu saja, ayah.”
Kini Darno melihat mimpinya membayang di wajah anaknya.***