Dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Katsir disebutkan kisah menarik tentang Muhammad bin Yahya. Suatu ketika, Muhammad bin Yahya meninggal dunia. Oleh karenanya, ia pun diperlakukan sebagaimana layaknya orang yang meninggal: dimandikan, dikafani, disalati, dan dikuburkan.
Malam harinya, ternyata ada orang yang menggali kuburnya. Tujuannya adalah ingin mencuri kain kafan yang dipakai Muhammad bin Yahya. Setelah tanah kubur berhasil digali, pencuri itu membuka atau melepas kain kafannya dari badan Muhammad bin Yahya. Setelah dilepas, ternyata aneh bin ajaib. Muhammad bin Yahya tiba-tiba bangkit dari tidurnya dan duduk. Sontak, hal itu membuat pencuri lari tunggang langgang karena ketakutan.
Muhammad pun mengambil kain kafan yang terlepas itu dan keluar dari kubur. Ia pulang ke rumahnya. Sesampainya di depan rumah, ia mendengar anggota keluarnya sedang bersedih menangisi kematian dirinya. Ia pun mengetuk pintu.
“Siapa itu?,” kata salah satu anggota keluarganya.
“Aku Fulan,” jawab Muhammad bin Yahya singkat.
“Wahai tamu, kami ini sedang bersedih. Jangan engkau tambah lagi kesedihan kami!,” ujar anggota keluarganya. (Mungkin mereka ketakutan bilamana yang datang itu adalah perampok)
Muhammad bin Yahya pun berkata lagi, “Tolong bukakan pintu!. Aku benar-benar Fulan”.
Mereka lama-lama sadar dan mengenali suara orang yang mengetuk pintu itu. Mereka pun membukakan pintu dan melihat bahwa yang datang adalah benar-benar Muhammad bin Yahya dalam keadaan hidup lagi. Semuanya pun bahagia. Muhammad menceritakan ihwal apa saja yang ia alami barusan.
Apa yang dialami oleh Muhammad bin Yahya itu oleh Ibnu Katsir disebut “Saktah” (diam sejenak). Ia tidak benar-benar meninggal dunia. Masih menurut Ibnu Katsir, kedatangan pencuri kafan itu adalah sebab Muhammad bin Yahya hidup lagi (terlepas dari pemahaman bahwa semua yang terjadi adalah kehendak dan takdir Allah Swt.).
Lewat kisah ini kita bisa belajar bahwa yang sebenarnya kita benci bisa jadi merupakan penyebab kita menjadi lebih baik. Seseorang akan sedih ketika anggota keluarganya meninggal dunia, hartanya hilang, badannya sakit, dan lain sebagainya. Namun hal demikian boleh jadi memang merupakan hal terbaik untuk dirinya.
Allah Swt. bersabda:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetap boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengatahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Ayat di atas berkaitan dengan perang, yakni keenggananan sebagian orang untuk ikut perang. Padahal perang adalah hal baik bagi mereka. Namun, meski begitu, ayat ini bisa berlaku umum. Bisa jadi hal-hal yang kita benci justru baik bagi kita. Dan boleh jadi, hal-hal yang kita sukai justru buruk bagi kita. Begitu kurang lebih penjelasan Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah al-Sa’diy (w. 1376 H) dalam tafsirnya.
Contoh kongkritnya bisa dilihat di masa pendemi seperti sekarang ini. Masa-masa seperti ini adalah masa di mana semua orang tidak menyukainya. Terlepas dari itu semua, dalam pengamatan penulis, dalam kondisi seperti ini ternyata banyak lembaga yang menyelenggarakan seminar. Baik level lokal, nasional, atau bahkan internasional secara daring. Maraknya seminar ini tentu tidak kita temukan di masa-masa sebelum ini.
Walhasil, apapun yang ditakdirkan Allah bagi diri kita harus diyakini sebagai suatu yang terbaik. Dalam kisah Muhammad bin Yahya di atas, bisa jadi sebenarnya ia sudah hidup lagi sebelum si pencuri datang, namun ia tidak bisa keluar. Tergalinya kubur adalah penyebab ia bisa keluar dan menikmati udara bebas. Bisa dibayangkan bila tak ada pencuri yang datang, niscaya lama-kelamaan ia akan benar-benar meninggal dunia. Wallahu a’lam.
Sumber:
Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah (ttp: tp, tth), v. 14, hal. 777 https://al-maktaba.org/book/4445/9068#p1
Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah al-Sa’diy, Taysir al-Kalam al-Rahman fii Tafsir Kalam al-Mannan (ttp: Muassasah al-Risalah, 2000), hal. 96