Di tengah orasinya di Lapangan Tamansari, Srihana bernyanyi: Suwe ora jamu/jamu pisan jamu kapulogo/Suwe ora ketemu/Ketemu pisan neng Solotigo/. Srihana yang berpeluh keringat terus menyihir massa. Sementara itu, Srihani juga berkeringat. Di rumah dinas walikota, ia bersama ibu-ibu lainnya sedang menyiapkan hidangan. Srihani memasak sayur lodeh.

Siang terus merambat. Seusai berorasi, Srihana menikmati jamuan makan siang. Lidahnya tiba-tiba mencecap rasa tak biasa. Betapa sayur lodeh benar-benar membangkitkan seleranya. Srihani mengenang, “…secara khusus Bapak mengatakan ingin kenal dengan yang memasak sayur lodeh. Saya didorong ibu-ibu, agar berani maju ke muka.”

Rasa sayur lodeh itu menyilaukan mata. Srihana terpana. Betapa cantiknya si pemasak sayur lodeh. Seperti anak muda yang sedang kasmaran, jabat tangannya tak dilepas-lepas. Namun, Srihana masih ingat daratan. Ia harus segera menuju Yogyakarta. Saat itu kalender bertanda tahun 1952.

Tak selang lama, perasaan Srihani yang berdiam diri di Toentangscheweg alias Jalan Tuntang, Salatiga, dibuat tak karuan. Bertubi-tubi surat mendatanginya. Kalender menginjak tahun 1953, Srihana menatap kembali wajah Srihani saat peresmian teater Ramayana di Candi Prambanan. Perjumpaan yang disengaja.

Surat masih saja menyapa. “Ketika aku melihatmu untuk kali pertama, hatiku bergetar. Mungkin kau pun mempunyai perasaan yang sama. Ttd……SRIHANA” Surat-surat berinisial Srihana tak terhitung jumlahnya. Kata-katanya menggoda dengan beragam bahasa. Kadang bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Belanda. Srihani yang sempat bersekolah di Malang dan Bandung tak pening meresapi.

Kisah cinta Srihana-Srihani pernah mewarnai negeri ini. Kisah cinta yang menyulut fenomena sekaligus problema. Srihani bukan nama asli. “Ah, itu kenangan lama. Tapi saya suka nama samaran pemberian Bapak,” ujar Siti Suhartini, kelahiran Ponorogo, 20 September 1924. Hartini, nama tenarnya.

Meskipun perempuan dengan lima anak, aura kecantikan Hartini tetap memancar. Konon, kulitnya kuning langsat dan tinggi semampai. Rumah tangga Hartini dengan suami lamanya memang retak. Saat Srihana kesengsem itu, usianya mendekati kepala tiga. Perasaan Hartini berbunga-bunga bercampur cemas. Jika Srihana itu bukan seorang presiden, Hartini tentu tak terlalu kalut. Bukankah ada first lady Fatmawati?

Namun, Sukarno itu seorang pecinta yang siap melintasi lautan asmara kendati badai menerjang. Batu karang Hartini akhirnya luluh juga terkena deburan ombak Sukarno. Kalender menunjuk 7 Juli 1954. Di Istana Cipanas, Bogor, mereka melangsungkan pernikahan. Hartini pun diboyong ke Istana Bogor. Reaksi buruk tak cuma dari Fatmawati yang memilih meninggalkan Istana Negara, Jakarta. Organisasi perempuan antipoligami pun lantang menentang.

Sukarno yang sebelumnya abai terhadap Istana Bogor lantas melakukan renovasi. Setiap Jumat petang sampai Minggu petang atau Senin pagi, ia selalu setia mengunjungi Srihani-nya. Bahkan, pada tahun 1965, Sukarno menghadiahi rumah teruntuk Hartini. Di atas area seluas 1.200 meter persegi, rumah di Jalan Jakarta, Bogor, itu terpasang prasasti berwarna keemasan dengan untaian kata “Srihana-Srihani”.

John David Legge dalam Sukarno: Sebuah Biografi Politik (1985) mengatakan ada tiga perempuan yang berpengaruh dalam periodisasi hidup Sukarno: Sarinah, Inggit Ganarsih, dan Hartini. Menurut pakar studi Indonesia yang meninggal dunia pada 4 Februari 2016 itu, Hartini telah memberikan sumber kekuatan baru bagi Sukarno. Di sisi Hartini, Sukarno lebih percaya diri mengarungi kehidupan politiknya.

Menurut Julius Pour (1995), Hartini adalah contoh perempuan Jawa tulen. Tutur katanya halus, sopan, gerakannya anggun, dan ia seolah-olah selalu berpikir sebelum melangkah. Mungkin kepribadian yang halus dan tidak neko-neko membuat Sukarno tenteram di sisinya. Hartini tetap tenang kendati diserbu kritik di awal pernikahannya. Bahkan, berbagai surat kabar mencibirnya.

Waktu terus berjalan, kritik dan cercaan pun berangsur reda. Hartini mampu menyesuaikan diri dengan dinamika kenegaraan. Sekitar tahun 1956, ia sudah bebas tenang mendampingi Sukarno ke negeri manca atau menghadiri acara-acara di negeri sendiri. Ia piawai berpidato dan selalu menyambung lidah suaminya dalam program-program revolusi.  Kendati kelahiran Jawa, ia sempat mendapatkan gelar “Ibu Kanduong” oleh rakyat Sumatera Barat (Kompas, 2 September 1965).

Hartini tak hanya seorang istri setia, tetapi juga loyalis Sukarno. Tak heran, ketika terjadi kemelut 1965, hujatan memekakkan telinga Hartini. Sampai tahun 1966, berbagai demonstrasi antikomunis tak surut. Hartini dituduh lekat dengan Gerwani dan rezim Bandit (Bandrio-Aidit), membiayai gerakan PKI Jawa Tengah sebesar 200 juta, dan rumahnya dijadikan gudang senjata PKI. Darah Sukarno mendidih dan mengklarifikasi (Kompas edisi 14-15 September 1966).

Hartini membersamai Sukarno saat kejayaan dan kejatuhannya. Saat kejadian Supersemar 11 Maret 1966, ia bercerita Sukarno meminta pertimbangan Pak Leimena. Leimena bilang no comment. Subandrio mencegah, karena menurutnya surat itu suatu perangkap. “Bapak bingung, dia kemudian sembahyang. Setelah itu, dia tanda tangan. (Tempo, 22 Agustus 1999).

Dalam situasi politik semrawut, Hartini selalu di dekat Sukarno. Sampai kemudian keluar Ketetapan MPRS RI No. XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret 1967. Sukarno harus menanggalkan jabatan kepresidenannya. Kondisi kesehatan Sukarno yang sudah buruk—memiliki riwayat penyakit ginjal—kian memburuk ketika dikarantina tak boleh menemui massa rakyat. Hartini begitu gemati merawat Sukarno

Anak-anak Sukarno dari Fatmawati akhirnya akur dengan Hartini justru saat ayahnya turun dari tahta. Mereka yang beberapa kali menjenguk ayahnya sebagai tahanan politik mulai lunak antipatinya. Mereka pun memahami Hartini mencintai ayahnya bukan karena ayahnya seorang presiden. Hanya Guntur yang masih bersikeras tak sudi menemui ayahnya kalau ada Hartini.

Namun, kekerashatian Guntur luntur juga saat Sukarno berada di Batutulis. Rachmawati dalam buku Bapakku, Ibuku: Dua Manusia yang Kucinta dan Kukagumi (1984) mengenang, “Betapa aku merasa terharu dan bahagia ketika ternyata abangku itu mau juga datang……Ibu Har menyalami Mas Guntur ketika ia datang.”

Paviliun Istana Bogor, Batutulis Bogor, Wisma Yaso, dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, merekam jejak kesetiaan Hartini. Cintanya tak pudar dan senantiasa menyayangi Sukarno. Ketika Sukarno meninggal dunia pada 21 Juni 1970, tiba-tiba ia jatuh pingsan. Beberapa menit setelah sadar, Hartini hanya kuasa mencium jasad suaminya.

Sukarno pernah menulis surat berjudul “Surat Wasiat”. Surat tertanggal 24 Mei 1965 itu berbunyi, “Kalau saya meninggal dunia, maka saya menghendaki, agar kelak isteri saya Hartini dikubur berdampingan dengan saya. Tempat kuburan bersama itu telah saya tentukan, yaitu di Kebun Raya Bogor dekat dengan kolam pemandian yang membukit.”

Surat wasiat itu tak terkabul. Sukarno dimakamkan di Blitar. Hartini yang meninggal pada 11 Maret 2002 dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Usai sudah pentas Srihana-Srihani. Mereka memainkan lakon dalam kehidupan yang lain. Wallahu a’lam.

Leave a Response