Nawal el-Saadawi merupakan salah satu tokoh muslimah perempuan dunia, yang mempunyai peran besar dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di negaranya yaitu Mesir. Ia lahir pada tanggal 27 Oktober 1931 M, di sebuah desa yang bernama Kafr Tahlah di tepi sungai Nil, Mesir.

Ayahnya adalah seorang sarjana dan pengawas umum pendidikan untuk provinsi Minufia di daerah Delta di Utara Kairo. Ibunya merupakan murid dari ayahnya ketika mengajar di sekolah-sekolah Perancis. Tepatnya ketika menjadi direktur umum rekrutasi tentara sebagaimana penjelasan yang ada dalam novel Perempuan di Titi Nol.

Dari sang ayahlah, Nawal belajar menjadi seorang yang maju dan pemberani. Di mana sang ayah mengajarkan kepada putrinya agar selalu menghormati dan menyuarakan pemikirannya. Namun ketika kedua orang tuanya meninggal, yaitu saat Nawal berusia 25 tahun ia menjadi tulang punggung keluarga. Yang membuatnya menjadi sosok perempuan yang tangguh.

Kultur keluarga Nawal el-Saadawi yang membolehkan perempuan mendapatkan pendidikan tinggi, membuatnya berbeda dengan perempuan-perempuan lainnya pada waktu itu. Karena dalam perjalanan pendidikannya, ia justru menempuh pendidikan yang luar biasa dan banyak mendapat gelar.

Di antaranya adalah ia pernah sekolah kedokteran di Universitas Cairo Medical School (1949),  lulus dari Universitas Cairo Medical School khusus bidang psikiatri dan mendapatkan gelar MD (1955). Setelah itu ia berlatih sebagai dokter medis selama dua tahun. Dan pada tahun 1963-1972, belajar di Universitas Columbia di New York.

Selain itu, pada masa itu Nawal juga bekerja untuk pemerintahan Mesir sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Kesehatan Masyarakat. Tahun 1966, mendapatkan gelar Master di bidang Kesehatan Masyarakat dari belajarnya di Universitas Columbia New York. Nawal El Saadawi memiliki lebih dari sepuluh gelar doktor kehormatan. Banyak penghargaannya meliputi Great Minds of the Twentieth Century Prize.

Nawal el-Saadawi terkenal sebagai tokoh perjuangan perempuan, yang banyak menulis permasalahan perempuan melalui praktik medisnya. Karena profesinya sebagai dokter, ia berusaha mengungkap permasalahan fisik dan psikologis perempuan lalu menghubungkannya dengan kebudayaan, gender, dan patriarki.

Di mana ia mengacu pada seorang anak berusia 12 tahun, Bedour Shaker, yang meninggal saat operasi sunatan tahun 2007. Berdasarkan pada kejadian tersebut, ia menulis, “Bedou apakah kamu harus meninggal untuk cahaya yang bersinar dalam pemikiran yang gelap? Apakah kamu harus membayar hidupmu yang indah untuk membayar dokter atau dukun sunat untuk belajar bahwa agama yang benar tidak memotong organ manusia.”

Ketika ia berpraktik sebagai dokter di tempat kelahirannya di Kafr Tahlah, ia mengamati kesulitan dan ketidaksejajaran yang dihadapi oleh perempuan desa. Setelah ia mencoba melindungi salah satu pasiennya dari kekerasan domestik (rumah tangga), tahun 1972 ia menerbitkan buku Al-Mar’ah wa Al-Jins (Woman and Sex), yang menentang berbagai agresi terhadap tubuh perempuan, termasuk sunatan alat kelamin perempuan.

Buku tersebut menjadi dasar gerakan gelombang feminisme kedua. Dan konsekuensi dari buku dan aktivitas politiknya itu, ia dikeluarkan dari posisinya sebagai menteri kesehatan. Penekanan yang sama menyebabkan ia hengkang dari posisinya sebagai editor kepala Jurnal Kesehatan dan Asisten Sekjen Asosiasi Medis di Mesir. Dari tahun 1973-1976 ia bekerja untuk riset bagi kaum perempuan  dan kejiwaan di Fakultas Kedokteran, Ain Shams University.

Walaupun pernah dipenjara pada masa presiden Anwar Sadat, Nawal el-Saadawi tetap banyak menerbitkan buku-bukunya tentang psikologi dan seksualitas wanita. Banyak karya-karyanya yang disensor oleh badan sensor Mesir, dan dilarang di Saudi Arabia, Libya. Hingga akhirnya diterbitkan di Lebanon. Salah satu karyanya yang dipertama diterjemahkan dalam bahasa Inggris adalah “The Hidden Face of Eve”.

Pada  1981 M. Nawal dipenjara oleh Presiden Anwar al-Sadat selama satu tahun karena dipandang berbahaya dan kontroversial oleh pemerintah Mesir akibat membantu penerbitan majalah perempuan Confrontation. Lalu dibebaskan sebulan sesudah terbunuhnya Presiden Mesir, Anwar Sadat.

Ketika berada di penjara  Qanatir Women’s Prison, ia menulis pengalamannya dalam memoirnya yang berjudul Mudhakkirati Fi Sijn An-nisa (Memoir from the WomenÕs Prison, 1983) dan selama berada di Qanatir ia menulis A Woman at Point Zero pada tahun 1975.

Dalam dunia tulis menulis, Nawal sudah memulainya sejak ia berusia 13 tahun. Sehingga karya-karyanya begitu banyak, kurang lebih berjumlah 40 buku yang dicetak dan diterbitkan dalam bahasa Arab. Karyanya banyak dibaca di negaranya serta negara-negara Arab. Bahkan mendapat pengakuan Internasional setelah terjemahan dari pekerjaannya menjadi lebih tiga puluh bahasa.

Buku-buku yang ditulis oleh Nawal sendiri kebanyakan tentang berbagai isu perempuan dalam Islam, dengan meninjau praktik sunatan alat kelamin bagi perempuan di masyarakatnya dan yang masih membudaya di benua Afrika pada saat itu bahkan hingga sekarang. Melalui praktik medisnya, ia mengamati bahwa kesehatan fisik perempuan dan masalah kejiwaan mempunyai kaitan dengan praktik budaya yang menindas, penindasan patriarkal, penindasan kelas dalam masyarakat, serta penindasan imperialis. Beban ganda inilah yang menindas kaum perempuan di Mesir yang menjadi objek penelitiannya.

Di antara pemikirannya yang kontroversial bisa dilihat dalam bukunya yaitu novel Perempuan di Titik Nol, di mana dalam novel tersebut, Nawal mengungkapkan bahwa perempuan pada saat itu sangat tersiksa dengan adanya kekuasaan laki-laki. Laki-laki merasa bisa mendapatkan apapun yang mereka inginkan, termasuk ingin memuaskan nafsu belaka tetapi tanpa melihat apakah perempuan itu mau atau tidak. Sehingga pada kutipan di novel tersebut memperjelas bahwa lebih baik menjadi pelacur daripada terjebak dalam sebuah perkawinan yang nantinya akan menyengsarakan diri mereka sendiri.

Dalam buku tersebut, ia juga mengungkapkan bahwa Konsep kekuasan, dan dominasi laki-laki dalam ranah domistik (keluarga) terlihat dalam ranah perkawinan.

Ia berkata “Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan kepada perempuan dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ketingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan atau dengan pukulan”.

Kini saya sadari bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua perempuan adalah pelacur. Perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum perempuan”.

Di antara karya-karyanya adalah God Dies by the Nile, The Hidden Face of Eve, Two women in Love, Memoirs of a Lady Doctor, Death Ex Minister, The Chant of the Children Circle, Women at Point Zero, A Moment of Truth, dan Little Sympathy. Sementara karangan yang non fiksi adalah sebagai berikut, Women in the Arab, Women and Sex, Women and Psychological Conflict dan Memoirs of Women`s Prison. Karya-karyanya yang sarat dengan gagasan yang radikal, sering menggoyahkan stabilitas masyarakat dan membuat gusar penguasa baik sekuler maupun agama pada waktu itu.

Dan buku berjudul Women dan Sex (1972) adalah buku yang membuat Nawal dimasukkan ke dalam daftar hitam. Buku ini memaparkan data-data konkret pengecilan dan penyiksaan para perempuan di pedesaan Mesir. Dan membuat kalangan garis keras marah, dan menganggap darahnya halal.

Sebagai dokter dan aktivis hak asasi manusia, ia juga pernah menentang pemotongan alat kelamin anak laki-laki. Ia percaya bahwa anak laki-laki maupun perempuan pantas mendapat perlindungan dari sunatan alat kelamin.

Nawal El-Saadawi adalah pendiri dan pimpinan Asosiasi Solidaritas perempuan Arab (Arab Women’s Solidarity Assoiation). Ia juga pendiri Asosiasi untuk hak-hak asasi Arab (The Arab Assotiation for Human Rights. Ia banyak memperjuangkan tentang hak kaum perempuan melalui berbagai tulisannya. Ia melawan berbagai bentuk penzaliman terhadap kaum perempuan yang mengatasnamakan adat dan agama.

Tentu saja membaca karya-karya Nawal el Saadawi sebagai seorang feminis, muslimah dan pejuang hak kaum perempuan butuh hati dan otak yang jernih. Bahwa apa yang dikemukakan oleh Nawal adalah sebuah gagasan yang boleh disetujui dan boleh tidak.

Leave a Response