Syekh Yasin al-Fadani memiliki nama lengkap Abu al-Fayd, Muhammad Yasin bin Muhammad ‘Isa bin Udik al-Fadani al-Makki al-Syafi‘i. Ulama Mekah yang nenek moyangnya berasal dari Padang Sumatera Barat, Indonesia, ini lahir di Misfalah Mekah pada Selasa, 27 Sya’ban 1337 H/1917 M. (‘Umar Abdul Jabbar, Koran Al-Bilad 24/11/1379 H/20/5/1990 M) atau 1335 H/1915 M, (Mahmud/ Tasynif.) kata Syekh Mahmuıd al-Masri inilah yang benar.

Ulama pengarang kitab Arba’un al-Buldaniyyah ini dikenal luas ilmunya. Suatu hal yang membawa harum namanya terukir dengan tinta emas di Timur Tengah. Syekh Ali Jum’ah menyebut Syekh Yasin Musnid ad-Dunya.

Sementara Sayyid Segaf bin Muhammad as-Segaf menjuluki beliau sebagai Suyutiyyu Zamanihi (Imam Suyuti pada zamannya). Bergelar Musnidud Dunya (ulama ahli sanad dunia), Syekh Yasin menjadi rujukan dalam kajian ilmu hadis.

Syekh Yasin dibesarkan dalam keluarga religius dengan tradisi keilmuan yang kuat. Semasa kecil, ia mendapatkan pendidikan awal dari ayahnya, Muhammad Isa al-Fadani dan pamannya, Mahmud al-Fadani. Dua orang ini berperan dalam membangun pondasi keilmuan Syekh Yasin kecil.

Di usia yang masih belia, ketangkasannya sudah mencapai taraf menghafal matan-matan fan atau cabang-cabang keilmuan Islam. Tatkala remaja, beliau menguasai keilmuan Islam di atas rata-rata teman sebayanya.

Ketangkasan yang membuat beliau digemari bahkan dihormati oleh para gurunya dan juga rekan-rekannya. Seperti seorang ulama hadis bernama Sayyid Abdul Aziz al-Ghumari menjuluki Syekh Yasin sebagai Ulama kebanggaan Haramain (Mekah dan Madinah).

Tidak berhenti di situ, pengembaraan ilmu Syekh Yasin al-Fadani masih berlanjut. Pada tahun 1346 H/ 1928 M beliau melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Saulatiyyah Hindiyyah, selama kurang lebih 7 tahun. Guru-guru beliau selama di Madrasah ash-Shaulatiyah adalah Syekh Mukhtar Utsman Makhdum, Syekh Hasan al-Masysyath dan al-Habib Mushin bin Ali al-Musawa (seorang ulama Mekah yang lahir di Palembang tahun 1323 H/ 1905 M).

Setelah itu, pada tahun 1353 H/ 1935 M, beliau meneruskan pencarian ilmunya di Darul Ulum ad Diniyyah yang didirikan oleh al-Habib Muhsin bin Ali al-Musawa bersama beberapa tokoh Nusantara yang berada di Mekah kala itu. Beliau adalah angkatan pertama Darul Ulum yang kemudian menjadi pengurus Darul Ulum. Beliau berada di sana hingga tamat.

Kepindahan beliau ke Madrasah Darul Ulum bukan tanpa sebab. Konon, ada peristiwa kronik yang menimpa para santri Jawi (sebutan universal santri Nusantara). Terendus usaha diskriminatif atau pelecahan yang dilayangkan oleh salah satu guru Madrasah Saulathiyyah. Bentuk pelecahannya adalah menyobek surat kabar berbahasa Indonesia yang menjadi bahan bacaan mahasiswa Indonesia.

Guru itu mengejek aspirasi nasionalis mahasiswa Indonesia dengan mengatakan “bangsa bodoh yang memakai bahasa seperti itu tak akan bisa meraih kemerdekaan.” Ejekan itu membuat para santri Jawi tidak terima dan geram.

Mereka melayangkan protes keras pada tindakan rasis yang menyinggung santri Asia Tenggara, terutama dari Indonesia. Syekh Yasin melihat sendiri kejadian tersebut, beliau kesal lalu ikut dalam usaha-usaha untuk mendirikan Madrasah terpisah, guna menampung mahasiswa asal Indonesia.

Akhirnya, berdirilah Madrasah Darul Ulum pada 1934, sekitar 120 Santri Jawi pindah ke Madrasah baru itu, termasuk Syekh Yasin sendiri.  Lalu, bersama-sama mereka berniat memajukan Madrasah tersebut, sampai kemashurannya menyaingi Madrasah Shaulathiyyah.

Lepas dari persitiwa tersebut, sembari belajar di Darul Ulum ad Diniyyah, Syekh Yasin tetap ber-talaqqi, sorogan dan bandongan dengan ulama di Mekah, serta ulama yang sedang menunaikan Ibadah Haji. Riwayat lain mengisahkan rasa haus ilmu membuat beliau mendatangi ulama terkemuka Timur Tengah secara umum, seperti Yaman, Mesir, Syiria, Kuwait dan lainnya.

Kemudian, Syekh Yasin menetap di Mekah. Di sini ia mengajar berbagai macam disiplin ilmu di Masjidil Haram dan Darul Ulum ad-Diniyyah. Beliau pernah menjabat sebagai Mudir atau Kepala Sekolah keempat Madrasah Darul Ulum pada tahun 1384-1410 H atau 1964-1990 M. Selain itu, beliau menjadi perintis didirikannya sebuah Madrasah Banat (Sekolah Putri) pertama di kota Mekah bahkan di Saudi Arabia.

Signifikansi Syekh Yasin dalam pembaruan Islam di Nusantara pada khususnya, dan di dunia Islam pada umumnya, terlihat dari banyaknya karya yang beliau telurkan. Ada 97 kitab karya Syekh Yasin yang sudah terkodifikasi dengan baik.

Di antaranya, 9 kitab tentang ilmu hadis, 25 kitab tentang ilmu fiqh dan ushul fiqh, 36 tentang ilmu falak, dan beberapa cabang ilmu yang lain. Perlu diketahui, kitab beliau yang berjudul al-Fawaıid al-Jaıniyyah dijadikan materi silabus mata kuliah ushul fiqih di Fakultas Syari’ah al-Azhar.

Sementara itu, ada 3 posisi Syekh Yasin dalam konteks ulama hadis abad XX.

Pertama, ia adalah ulama hadis yang memiliki spesifikasi keilmuan hadis yakni dalam bidang sanad. Sehingga tidak heran jika beliau berjuluk Musnidu ad-dunya (pemegang sanad dunia).

Kedua, beliau merupakan Syekhul Kabir bagi ulama hadis di dunia maupun di Nusantara, yang telah melahirkan banyak ulama-ulama ahli hadis atau muhadditsin abad ini.

Ketiga, dalam konteks tradisi penulisan kitab hadis arba’in, beliau menjadi inisiator atas revivalisasi model penulisan hadis arba’in, riwayat empat puluh Syekh.

Menurut Prof Dr Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulamain; Syekh Yasin al-Fadani telah menghidupkan kembali berbagai cabang keilmuan hadis yang banyak dilupakan pelajar Muslim kekinian.

Cabang ilmu hadis yang dimaksud di antaranya adalah Ilmu Isnad. Isnad yang merupakan mata rantai perawi hadis ini sangat penting untuk mengukur kesahihan suatu hadis.

Dalam konteks Isnad ini, banyak ulama mengingatkan urgensitas ilmu tersebut. Misal Ibnu Mubarok (w. 181 H) mengatakan: “Isnad adalah bagian dari agama, jika tidak ada Isnad maka orang akan mengatakan sekehendak hatinya”.

Menurut Imam Nawawi; “Isnad adalah senjara orang mukmin”. Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan; “Orang yang mencari hadis tanpa sanad seperti orang pencari kayu bakar di malam hari. Dimana ketika mengangkut kayu bakar, tidak tahu jika di dalamnya terdapat ular berbisa”.

Pada era sekarang, tradisi ini banyak dilalaikan oleh para terpelajar muslim. Mereka biasanya hanya menyebutkan matan hadis saja, sekalipun menyebutkan sanad, hanya berhenti pada tingkatan sahabat dan perawi yang mentakhrij hadis dari kitab karangannya. Tetapi, oleh Syekh Yasin, mata rantai sanad tetap konsisten disebutkan mulai dari generasi sahabat sampai kepadanya, meskipun dengan harus melewati tiga puluh rijal al-hadis.

Di tangan Syekh Yasin semua sanad hadis itu harus didapatkan secara komprehensif dan sahih. Metode ini diberi nama tahammul hadis (mendapatkan hadis), proses ini dibenarkan apabila melalui cara sama’, ijazah, munawalah, kitabah.

Oleh sebab itu, tidak heran jika Syekh Yasin terus berjuang mendapatkan sanad hadis dengan rihlah haditsiyyah (perjalanan mencari hadis) dari guru-guru hadisnya. Mulai dari mendatangi lembaga pendidikan, halaqah atau kuttab di rumahnya, bahkan dengan melalui surat-menyurat. Untuk itu, pengetahuan akan letak geografi negara (tarjamat al-buldan) sangat diperlukan.

Setelah kehidupan yang dipenuhi dengan ibadah dan pengembaraan intelektualnya. Menjelang Subuh pada malam Jumat, Syekh Yasin al-Fadani, 74 tahun, meninggal dunia, tertanggal 20 Juli 1990/ 28 Dzul Hijjah 1410 H. Seperti yang dilansir Koran Nasional Tempo, Ayah empat anak dan kakek dua cucu itu mengembuskan napas terakhir beberapa saat setelah salat subuh bersama istrinya di pondoknya di Uthaibiyah, 2 km dari Mekkah.(*)

Leave a Response