Judul : Menjadi Sisifus
Penulis : Acep Zamzam Noor
Penerbit : DIVA Press
Cetakan : 2018
Tebal : 352 Halaman
ISBN : 978-602-391-512-5
Menulis puisi bukan aktivitas lazim yang ditekuni oleh banyak orang. Selain harus mengerahkan kekuatan akal, menulis puisi juga memerlukan kreatifitas dan penghayatan yang mendalam. Tiap peristiwa diamati, dirasakan, kemudian diterjemahkan dalam baris-baris berderet kata bermakna. Estetika dan kedalaman pesan berjalan selaras. Meski begitu, kesederhanaan dalam memilih kata juga bukan perkara yang kuno, apalagi jika dianggap mudah.
Nama Acep Zamzam Noor sudah tidak asing lagi di jagat perpuisian nasional. Puisi-puisinya banyak ditemui di berbagai media. Beberapa puisinya juga telah terbit dalam bentuk buku. Namun di bukunya “Menjadi Sisifus” kali ini, kontennya bukan puisi-puisi. Melainkan catatannya di pengantar buku, tulisannya yang dimuat di media, dan catatan di berbagai acara ketika ia menjadi narasumber. Kesemua tulisan ini memiliki maksud yang seragam, yakni menasehati para penyair yang sedang maupun sudah mendalami jagat perpuisian.
Secara umum, buku ini memuat tiga puluh esai dari kurun waktu tahun 1990 sampai 2017. Hanya saja yang disayangkan esai-esainya diurutkan sekenanya. Mungkin lebih baik jika diurutkan berdasarkan tahun esai itu dibuat, sehingga pembaca bisa mudah melihat benang merah pemikirannya.
Ia mengawali nasihatnya dengan memberi tahu bahwa tiap puisi tidak lahir di ruang hampa. Puisi-puisi selalu muncul dari peristiwa tertentu. Namun acapkali peristiwa yang muncul dari lokalitas, kejadian sekitar, dan rutinitas yang dilalui tiap waktu luput untuk dipuisikan. Peristiwa yang sudah lumrah terjadi, sehingga tidak memunculkan kesan mendalam.
Padahal peristiwa seperti itu bisa melahirkan puisi-puisi yang memiliki kedalaman makna. Karena sering disapa, seharusnya penghayatannya pun tidak sekadar ala kadarnya. Meski di satu sisi, kejadian-kejadian seperti terorisme, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, penjajahan dan penindasan juga menarik untuk direnungi dan ditulis melalui baris-baris puisi.
Melalui salah satu esainya di buku itu, Acep Zamzam Noor bernostalgia dengan mengatakan bahwa para penyair yang berkiprah di tahun 1945 maupun 1965 memiliki banyak keuntungan jika dibandingkan penyair yang datang belakangan. Di tahun-tahun tersebut, banyak peristiwa dan tragedi. Puisi di masa tersebut tidak hanya berada di ranah estetika, tapi juga digunakan sebagai alat propaganda kepada masyarakat (hlm. 164) agar bisa lepas dan bebas dari tekanan. Penyair dan puisi mulai punya misi pemberontakan terhadap penguasa yang menindas
Namun ada peristiwa yang menarik saja belum cukup, kata Acep Zamzam Noor. Penyair harus punya kepekaan dan kepedulian (hlm.253) pada sekitar, sesama, dan semesta. Penyair tidak hanya duduk membaca setumpuk buku babon kemudian menulisnya dalam kata indah bermakna, penyair juga harus berkerumun dengan pedagang asongan, dengan bapak becak, dan dengan siapa pun yang keberadaannya tidak digubris oleh banyak orang. Penyair tidak melulu menyanjung yang indah, memberi apresiasi pada yang sudah bagus, dan berpihak pada yang bersih-bersih.
Saya rasa penyair seperti Wiji Thukul dan W.S Rendra yang sampai hari ini nama dan puisinya masih didengung-dengungkan telah mengantongi itu. Ia peka terhadap situasi dan kondisi yang kian hari kian membuat masyarakat kecil menjerit. Ia juga peduli pada nasib bangsa yang semakin berjalannya waktu menuju pada ketidakadilan.
Nah, nasihat terakhir ini yang saya rasa agak sulit untuk ditunaikan. Acep Zamzam Noor benar-benar mewanti-wanti para penyair yang datang sesudahnya untuk terus ajeg, istiqomah, atau konsisten di jalan yang telah dipilihnya. Sebab penyair yang membuahkan puisi berkualitas tidak dilakukan dengan mengedipkan mata. Perlu upaya keras, menguras tenaga, pikiran, dan waktu.
Selain itu, mengingat kepentingan yang sifatnya politis lebih dominan dibanding idealisme untuk menyelamatkan yang lemah. Penyair dengan puisinya berada di posisi sulit. Alih-alih mendapat pujian dan tepuk tangan dari puisi yang dibacakan, justru pencekalan dan intimidasi sampai menghilangkan nyawa akan dilakukan oleh penguasa ketika kritik terlalu tajam dilontarkan. Memihak yang lemah akan disisihkan pelan dan pasti, sedangkan memihak penguasa penghayatannya terhadap idealisme perpuisian dipertaruhkan.
Begitu nasehat Acep Zamzam Noor kepada penyair, merenungi peristiwa di sekitarnya dengan seksama, memiliki rasa peka dan peduli, dan konsisten terhadap jalan yang telah dipilih. Ketiganya saling berkaitan dan berjalan selaras. Saya rasa masa depan kepenyairan dan perpuisian di negeri ini akan moncer jika menunaikan nasehat tersebut. Meski di sisi lain setiap penyair juga memiliki ciri khas sebagai identitas pembedanya.
Buku ini mengingatkan kepada pembaca bahwa penyair dan puisi tidak melulu hiburan dan membual kata-kata semata. Penyair melalui puisinya punya kontribusi untuk merubah dan menggugah realitas yang terjadi hari ini. Terakhir mengutip kalimat dari Acep Zamzam Noor, “bagaimanapun sebuah bangsa tetap membutuhkan bahasa, membutuhkan karya sastra, membutuhkan puisi, cerpen, novel atau esai” (hlm. 118). Ya bangsa tetap butuh puisi. Namun bukan puisi yang melulu romantis. Demikian.